Sesi pertama selesai, nampan kembali dibawa pulang untuk mengambil ingkung dan tumpeng
Suasana dusun Karangasem pagi itu masih dingin dan agak berkabut, tapi sejak subuh mbah Poermi sudah berada di dapur untuk menyiapkan beberapa makanan untuk dibawa ke makam Melikan. Pagi itu memang tepat tanggal 12 sasi Mulud tahun 1945 perhitungan tahun Jawa, yaitu ditetapkannya hari Nyadran Mulud di dusun Karangasem tempat mbah Poermi dan keluarganya tinggal.
Lokasi diadakannya kendurian atau kepungan, atau makan bersama yang dilakukan beberapa kepala keluarga penduduk dusun yang disertai doa tersebut adalah di pemakaman dusun, yaitu yang dikenal dengan nama makam Melikan. Konon nama Melikan ini berasal dari nama pepunden (leluhur yang dituakan) di dusun Karangasem yang dimakamkan di tempat tersebut, yang bernama mbah Melik. Kisah tersebut bersumber dari sesepuh desa yang juga sudah tidak ada lagi, yaitu mbah Karto Turonggo yang dulu tinggal di dekat lokasi pemakaman tersebut. Mbah Karto adalah abdi dalem kraton Kasunanan Surakarta yang bekerja sebagai gamel atau yang mengurusi kuda di kraton. Setelah pensiun menjadi abdi dalem, mbah Karto Turonggo lebih dikenal sebagai orang yang mempunyai kemampuan lebih atau dikenal sebagai paranormal di dusun Karangasem. Dan konon pada suatu hari, mbah Karto menerima ‘wangsit’ tentang keberadaan dan nama pepunden desa tersebut pada masa lalu, yaitu mbah Melik, yang makamnya bersebelahan dengan tempat tinggal mbah Karto. Dan sejak saat itu akhirnya pemakaman yang tadinya hanya berisi dua cungkup makam tersebut diberi nama Melikan, dan digunakan untuk pemakaman desa Karangasem hingga sekarang.
Terlepas dari asal usul nama Melikan yang sudah turun temurun diyakini tersebut, Karangasem sendiri sebenarnya dulunya adalah merupakan lahan perkebunan teh yang luas hingga lereng gunung Merbabu. Perkebunan teh tersebut adalah milik kraton Kasunanan Surakarta pada masa kepemimpinan Paku Buwono XI. Lahan teh tersebut disewakan kepada Belanda pada saat itu, dan penduduk sekitar lereng gunung Merbabu bekerja sebagai buruh petik dan buruh pabrik pengolahan teh di daerah Ampel, Kembang dan Ngadirojo.
Sedangkan tradisi Nyadran di seputar lereng Merbabu ini sudah menjadi tradisi turun temurun, mulai dari desa bagian atas yaitu di desa Pantaran lokasi makam Syech Maulana Malik Ibrahim Maghribi hingga bagian bawah lereng yaitu di desa Karangasem. Dan keunikan yang mendasari kenapa ingkung menjadi istimewa dalam tradisi Nyadran ini adalah, konon pada jaman penjajahan Belanda dulu ada ungkapan yang mengatakan bahwa orang Jawa itu hanya makan daging ayam dua kali dalam hidupnya. Yaitu pada saat ayam peliharaannya mati, dan yang kedua pada saat yang memelihara ayam sakit. Pertama, saat ayamnya mati, pasti ayam tersebut sayang untuk dibuang, dan akan dimasak untuk dijadikan lauk. Kemudian pada saat yang punya ayam sakit, untuk menghibur agar cepat sembuh maka akan dimasakkan ayam sebagai lauknya. Sungguh aneh memang, meskipun itu bukanlah asal usul yang bisa dijamin kebenarannya, namun setidaknya setiap tradisi mempunyai keunikan ceritanya masing-masing.
Nyadran bagi masyarakat dusun Karangasem yang jelas merupakan momen yang ditunggu-tunggu, pada hari tersebut yang paling utama selain kendurian untuk memanjatkan doa-doa untuk keselamatan dan ampunan bagi para leluhur dimakam desa, bentuk silaturahmi dengan saling mengunjungi dan gotong royong dalam menyiapkannya menjadi sangat penting melebihi meriahnya lebaran. Perbedaan dengan tradisi lebaran adalah, dalam silaturahmi Nyadran, tidak hanya orang yang lebih muda saja yang berkunjung ke orang yang dituakan, tapi orang yang lebih tua atau dituakan juga bisa mendatangi rumah orang yang lebih muda untuk sekedar ngobrol atau menikmati suguhan yang disiapkan oleh tuan rumah.
Bagi warga desa yang menjalankan tradisi Nyadran, mereka akan berperan sebagai tuan rumah, dan warga desa lain yang pelaksanaan Nyadrannya di waktu yang berbeda, akan datang sebagai tamu dan menikmati suguhan walaupun hanya sedikit sebagai syarat atau penghormatan kepada tuan rumah. Bahkan terkadang satu orang bisa minum teh panas manis hingga lima puluh gelas, atau makan beberapa kali, karena mereka berkeliling bertamu ke beberapa rumah dalam satu hari tersebut. Inilah keunikan dalam tradisi Nyadran yang sangat diwarnai bentuk dari kasih sayang yang sebenarnya, kerukunan dan gotong royong yang masih sangat kuat ini terbentuk berkat kesetiaan mereka menjalankan tradisi yang mereka warisi.
Begitu juga dengan mbah Poermi, mbah Wiryo, pak Darmo, Ratno, Pak Slamet dan mungkin hingga generasi mereka berikutnya nanti. Yang mereka jalani sekarang sebenarnya merupakan sebuah tradisi yang turun temurun mereka warisi dan akan tetap demikian maknanya bila anak cucu mereka meneruskan di kelak kemudian hari. Sebuah kerukunan dan gotong royong dalam kebersamaan kehidupan masyarakat desa yang diwarnai dengan kasih sayang dan kesederhanaan di dalamnya. Salam Kratonpedia.
Sejak subuh mbah Poermi kembali menyiapkan masakan untuk Nyadran
Kucing kesayangan mbah Poermi masih setia menemani
Menikmati teh di dapur untuk memulai aktifitas pagi hari
Setelah semua masakan sudah siap, mbah Poermi menyiapkan air panas untuk mandi
Makanan kecil dan buah yang akan di bawa ke acara Nyadran sudah siap di nampan
Mbah Wiryo sudah tidak mampu lagi datang ke makam untuk kenduri
Setiap kepala keluarga membawa nampan berisi makanan untuk acara minum teh dan tahlilan
Menunggu kedatangan warga lain ke lokasi kenduri
Silaturahmi Ratno (tengah) dan warga dusun Karangasem yang diwarnai canda tawa
Hanya kaum laki-laki yang hadir dalam tahlilan dan acara minum teh pagi di lokasi acara Nyadran
Tahlilan dipimpin seorang ulama dusun untuk mendoakan leluhur mereka
Menikmati makanan yang dibawa dalam kebersamaan dan berbagi dengan yang tidak mampu
Para laki-laki kembali ke makam membawa ingkung untuk acara kepungan (makan bersama)
Slamet Widodo anak pertama mbah Poermi membawa ingkung menuju lokasi kepungan
Ratusan ingkung dan tumpeng nasi gurih dalam kemeriahan Nyadran Mulud
Menunggu saatnya pembacaan doa sebelum makan bersama
Kepungan adalah istilah untuk acara makan bersama dalam tradisi Nyadran
Berkumpul antar generasi dalam kepungan Nyadran
Hanya kaum perempuan yang masih usia anak-anak yang terlihat di lokasi makan bersama
Selesai makan bersama, sisa ingkung dan tumpeng dibawa pulang
Usai tahlilan di makam, tamupun mulai berdatangan
Makan dengan lauk kerupuk udang, terik daging, srundeng dan masakan mbah Poermi lainnya
Suasana rumah pak Darmo yang selalu ramai dengan tamu saat Nyadran
Menu Nyadran di rumah pak Darmo, siap menjamu tamu yang datang
(teks dan foto : Wd Asmara/Kratonpedia)
Wah bagus sekali budayanya.
BalasHapus