Kisah ini menceritakan tentang Arya Gatutkaca yang bertapa di Gunung Argakelasa untuk menagih janji Batara Guru yang pernah diucapkannya dulu.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdo, yang dipadukan dengan rekaman pentas Ki Manteb Soedharsono, dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 19 Januari 2019
Heri Purwanto
Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, silakan klik di sini
Arya Gatutkaca. |
------------------------------ ooo ------------------------------
PRABU DURYUDANA MENDENGAR KABAR ARYA GATUTKACA BERTAPA DI GUNUNG ARGAKELASA
Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana memimpin pertemuan dihadap Danghyang Druna dari Sokalima, Patih Sangkuni dari Plasajenar, Adipati Karna dari Awangga, dan Raden Kartawarma dari Tirtatinalang. Dalam pertemuan itu, Patih Sangkuni melaporkan bahwa Arya Gatutkaca saat ini tengah menduduki bekas padepokan milik Bagawan Bimasuci di Gunung Argakelasa bersama saudara-saudaranya. Patih Sangkuni curiga, Arya Gatutkaca memiliki niat buruk, mengingat Gunung Argakelasa terletak di perbatasan antara Kerajaan Hastina dan Kerajaan Amarta.
Prabu Duryudana langsung percaya pada laporan Patih Sangkuni. Memang beberapa waktu yang lalu Arya Wrekodara menduduki Gunung Argakelasa sebagai brahmana bernama Bagawan Bimasuci, mengajarkan ilmu kasampurnan dan juga memberikan pengobatan kepada masyarakat sekitar. Kini ganti anaknya, yaitu Arya Gatutkaca yang menduduki gunung tersebut. Ia yakin, Arya Gatutkaca pasti sedang mengumpulkan kekuatan untuk memberontak kepada dirinya. Ia yakin, penduduk yang telah ditolong Bagawan Bimasuci pasti merasa berhutang budi dan bisa dengan mudah dihasut Arya Gatutkaca untuk tidak menyukai pemerintah pusat. Hal ini tidak bisa dibiarkan. Prabu Duryudana pun memerintahkan Adipati Karna untuk menangkap Arya Gatutkaca hidup atau mati dengan tuduhan makar.
Adipati Karna meminta Prabu Duryudana agar tidak terburu nafsu. Semua laporan harus diselidiki terlebih dulu, jangan berat sebelah. Danghyang Druna mendukung ucapan Adipati Karna. Gunung Argakelasa adalah batas alam antara Kerajaan Hastina dan Kerajaan Amarta. Kedua negara memiliki hak yang sama untuk menjaga gunung tersebut. Siapa tahu Arya Gatutkaca menduduki Gunung Argakelasa bukan untuk makar, melainkan untuk mengadakan penghijauan, menjaga kelestarian lingkungan, dan sebagainya.
Prabu Duryudana marah menuduh Danghyang Druna dan Adipati Karna tidak tulus mendukung pemerintahannya. Danghyang Druna adalah guru para Pandawa, sedangkan Adipati Karna adalah kakak para Pandawa, sehingga wajar jika mereka memiliki maksud lain. Danghyang Druna dan Adipati Karna meminta maaf. Mereka menyatakan diri tulus mengabdi di Kerajaan Hastina. Segala usul yang mereka ajukan tidak lain adalah untuk kebaikan Prabu Duryudana juga. Tentunya, jangan sampai Prabu Duryudana mendapat malu seperti yang sudah-sudah.
Prabu Duryudana keras kepala tidak peduli pada ucapan keduanya. Yang baik menurut dirinya hanya satu, yaitu bisa mengalahkan para Pandawa beserta anak-anak mereka. Oleh sebab itu, ia pun menegaskan bahwa perintah untuk membubarkan perkumpulan di Gunung Argakelasa adalah wajib dilaksanakan. Adipati Karna tidak bisa membantah lagi. Ia pun berangkat melaksanakan tugas dengan didampingi Patih Sangkuni dan para Kurawa.
PASUKAN HASTINA DISAMBUT ANAK-ANAK PANDAWA
Di Gunung Argakelasa, Bambang Wisanggeni baru tiba dan disambut para putra Pandawa lainnya, yaitu Arya Antareja, Raden Antasena, dan juga Bambang Irawan. Bambang Wisanggeni bertanya apa benar Arya Gatutkaca mengadakan perkumpulan dan apa tujuan dari perkumpulan tersebut. Arya Antareja menjawab, tujuan Arya Gatutkaca adalah ingin melakukan unjuk rasa kepada Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka yang dulu pernah berjanji akan mengangkat dirinya sebagai raja kahyangan. Namun, unjuk rasa ini tidak dilakukan dengan cara berbuat keributan, melainkan dengan cara melakukan tapa brata di Gunung Argakelasa, yaitu bekas padepokan milik Bagawan Bimasuci.
Bambang Wisanggeni mendukung rencana Arya Gatutkaca. Ia pernah mendengar cerita bahwa dahulu kala Arya Gatutkaca pernah menjadi jago kahyangan melawan amukan Patih Sekipu dan juga menumpas Prabu Kalapracona raja Kiskanda. Atas jasanya itu, Batara Guru menjanjikan akan mengangkat Arya Gatutkaca sebagai raja kahyangan apabila sudah tiba saat yang tepat. Sudah dua puluh tahun lebih peristiwa itu berlalu, namun Batara Guru belum juga menepati janjinya. Bambang Wisanggeni berkata, meskipun Batara Guru adalah pemimpin para dewa, namun Arya Gatutkaca tidak boleh takut menagih janji. Ia siap membantu dan mendukung perjuangan Arya Gatutkaca hingga berhasil.
Tidak lama kemudian datanglah Adipati Karna beserta Patih Sangkuni dan para Kurawa. Mereka datang untuk mengusir Arya Gatutkaca dan anak-anak Pandawa lainnya dari Gunung Argakelasa. Arya Gatutkaca dilarang mengadakan perkumpulan di dalam wilayah Kerajaan Hastina. Bambang Wisanggeni berkata, Gunung Argakelasa terletak di perbatasan antara Kerajaan Hastina dan Amarta, sehingga kedua pihak memiliki hak yang sama atas gunung ini. Oleh sebab itu, para Kurawa tidak berhak membubarkan perkumpulan Arya Gatutkaca.
Adipati Karna hilang kesabaran. Ia pun memerintahkan para Kurawa dan pasukan Hastina untuk mengobrak-abrik Padepokan Argakelasa. Arya Antareja, Raden Antasena, dan Bambang Irawan menghadapi serangan mereka. Pertempuran sengit pun terjadi. Kekuatan pihak Hastina jauh lebih banyak. Bambang Wisanggeni pun mengerahkan kemayan untuk memperdaya musuh. Ia mengajak saudara-saudaranya itu untuk pura-pura kalah dan berlari masuk ke dalam padepokan. Ketika Adipati Karna dan para Kurawa ikut mengejar masuk, tahu-tahu mereka sudah berada di alun-alun Kerajaan Hastina. Para Kurawa terheran-heran, sedangkan Adipati Karna tersenyum senang karena dikalahkan keponakannya dengan cara yang aneh seperti ini.
BATARI DURGA DAN PRABU DEWASRANI MENGHADAP BATARA GURU
Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dihadap Batara Narada dan para dewa lainnya. Mereka membahas tentang penyebab gara-gara yang melanda kahyangan. Batara Narada menjelaskan bahwa gara-gara disebabkan oleh Arya Gatutkaca yang bertapa di Gunung Argakelasa untuk menagih janji Batara Guru yang dulu pernah menyanggupi akan mengangkat dirinya sebagai raja kahyangan. Janji tersebut diucapkan Batara Guru untuk menghargai jasa Arya Gatutkaca yang saat itu berhasil menumpas musuh kahyangan, yaitu Prabu Kalapracona dan Patih Sekipu.
Batara Guru belum sempat menjawab, tiba-tiba datang Batari Durga bersama putranya, yaitu Prabu Dewasrani. Keduanya datang untuk menuntut keadilan. Rupanya mereka telah mendengar kabar bahwa Arya Gatutkaca sedang bertapa di Gunung Argakelasa untuk menagih janji yang pernah diucap Batara Guru dulu, yaitu menjadikan dirinya sebagai raja kahyangan. Prabu Dewasrani merasa ini tidak adil. Dirinya sebagai putra dewa tidak pernah dijanjikan demikian, tapi mengapa Arya Gatutkaca yang hanya seorang manusia biasa bisa mendapatkan keuntungan seperti ini.
Batara Guru menjawab, ini bukan soal untung rugi. Arya Gatutkaca pernah berjasa menumpas musuh kahyangan lebih dari dua puluh tahun silam. Saat itu Batara Guru pernah berjanji akan mengangkat Arya Gatutkaca sebagai raja kahyangan apabila sudah tiba waktu yang tepat. Batara Narada ikut berkata, di mana ia menegaskan bahwa janji adalah hutang, dan hutang wajib dilunasi.
Batari Durga membantah perkataan Batara Narada. Menurut pendapatnya, janji seorang pemimpin boleh dilanggar apabila janji tersebut dapat menyebabkan kerugian. Jika Arya Gatutkaca diizinkan menjadi raja kahyangan, maka semua manusia akan ikut-ikutan minta dijadikan raja kahyangan. Jika hal itu sampai terjadi, maka wibawa para dewa akan mengalami kemerosotan. Itulah sebabnya, Batari Durga datang untuk memohon agar Batara Guru membatalkan janji melantik Arya Gatutkaca sebagai raja kahyangan.
Batara Guru setuju pada usulan Batari Durga. Ia pun mempersilakan Batari Durga entah bagaimana caranya untuk membubarkan Padepokan Argakelasa agar Arya Gatutkaca tidak lagi bertapa di sana. Batari Durga menyatakan bersedia. Ia lalu mohon pamit berangkat bersama Prabu Dewasrani.
ARYA GATUTKACA DIJEMPUT PRABU KRESNA
Sementara itu di Gunung Argakelasa, Raden Abimanyu dan para panakawan datang menyusul Arya Gatutkaca. Mendengar adik kesayangannya tiba, Arya Gatutkaca segera keluar dari ruang samadi untuk menyambut Raden Abimanyu. Ia pun terkejut bercampur gembira mengetahui Bambang Wisanggeni ternyata hadir lebih dulu dan telah berjasa mengusir orang-orang Hastina menggunakan ilmu kemayan.
Bambang Wisanggeni dan Raden Abimanyu datang untuk menyatakan dukungan mereka atas perjuangan Arya Gatutkaca, yaitu menagih janji kepada Batara Guru. Bambang Wisanggeni berpesan, apa pun yang terjadi jangan sampai Arya Gatutkaca pergi meninggalkan Gunung Argakelasa.
Tidak lama kemudian datanglah Prabu Kresna di padepokan tersebut. Arya Gatutkaca dan yang lain segera menyambut dengan penuh penghormatan. Prabu Kresna hari itu datang untuk menjemput pulang Arya Gatutkaca karena ayahnya, yaitu Arya Wrekodara sedang sakit keras. Siang malam Arya Wrekodara hanya berbaring di tempat tidur dan memanggil-manggil nama Arya Gatutkaca seorang.
Arya Gatutkaca gemetar mendengar berita ini. Ia pun menyatakan hendak pulang ke Kerajaan Amarta, dan membatalkan tapa-bratanya di Gunung Argakelasa. Bambang Wisanggeni mencegah, karena bagaimanapun juga Arya Gatutkaca tidak boleh pergi meninggalkan padepokan. Jika Arya Gatutkaca sampai meninggalkan Gunung Argakelasa, maka rencana menagih janji Batara Guru akan mengalami kegagalan.
Arya Gatutkaca tidak peduli lagi dengan janji dewata. Sekarang ini yang paling penting baginya adalah kesembuhan sang ayah. Apalah gunanya menjadi raja kahyangan, apabila penyakit ayah kandungnya semakin bertambah parah.
Raden Antasena ikut bicara. Ia mendukung ucapan Bambang Wisanggeni agar Arya Gatutkaca tidak pulang ke Kerajaan Amarta. Apabila benar ayah mereka sedang sakit, tentunya Prabu Kresna bisa mengobati menggunakan Kembang Wijayakusuma, tidak perlu susah payah menyusul ke Gunung Argakelasa.
Prabu Kresna menjawab, keampuhan Kembang Wijayakusuma tergantung semangat si sakit. Masalahnya, yang menjadi sumber semangat Arya Wrekodara hanyalah kepulangan Arya Gatutkaca. Meskipun diobati berkali-kali menggunakan Kembang Wijayakusuma, tetap saja tidak ada hasilnya apabila Arya Wrekodara hanya merindukan Arya Gatutkaca melulu.
Arya Gatutkaca merasa bimbang. Ia lalu meminta pendapat para saudara lainnya. Arya Antareja, Raden Abimanyu, dan Bambang Irawan menyarankan agar Arya Gatutkaca pulang saja, demi kesembuhan orang tua. Soal bertapa bisa dilanjutkan lain waktu. Arya Gatutkaca merasa mendapat pendukung. Ia pun menyatakan ikut Prabu Kresna pulang ke Kerajaan Amarta.
Bambang Wisanggeni merasa kecewa. Ia lalu pamit pulang dengan ditemani Raden Antasena. Prabu Kresna tidak peduli pada sikap mereka berdua. Tanpa banyak bicara, ia segera menggandeng tangan Arya Gatutkaca dan membawanya melesat pergi meninggalkan Padepokan Argakelasa. Arya Antareja, Raden Abimanyu, dan Bambang Irawan heran melihat kejadian ini. Mereka pun bergegas menyusul kepergian Prabu Kresna dan Arya Gatutkaca menuju Kerajaan Amarta.
ARYA GATUTKACA DIANIAYA PRABU NAGAPRAKOSA
Prabu Kresna menggandeng tangan Arya Gatutkaca berjalan cepat meninggalkan Gunung Argakelasa. Arya Gatutkaca heran karena jalur yang ditempuh ternyata bukan menuju Kerajaan Amarta. Ia pun berontak melepaskan diri dari cengkeraman Prabu Kresna. Ternyata Prabu Kresna yang menjemputnya adalah penjelmaan Batari Durga, yang ingin menggagalkan dirinya supaya tidak menjadi raja kahyangan.
Arya Gatutkaca berkata, dirinya lebih baik dibunuh daripada dibohongi seperti ini. Batari Durga menjawab, urusan membunuh Arya Gatutkaca akan diserahkan kepada Prabu Dewasrani dan pasukannya saja. Tiba-tiba muncul seorang raja raksasa yang mengaku bernama Prabu Nagaprakosa. Ia datang untuk mewakili Batari Durga membunuh Arya Gatutkaca, tidak perlu diserahkan kepada Prabu Dewasrani.
Batari Durga bertanya ada dendam apa sehingga Prabu Nagaprakosa ingin membunuh Arya Gatutkaca. Prabu Nagaprakosa menjawab, dirinya adalah adik seperguruan Prabu Kalapracona yang dulu mati dibunuh Arya Gatutkaca. Dendam di hatinya kepada Arya Gatutkaca sangat besar tidak terukur. Itu sebabnya, Batari Durga tidak perlu mengotori tangan dengan percikan darah Arya Gatutkaca.
Batari Durga merasa senang mendengar penuturan Prabu Nagaprakosa. Arya Gatutkaca lalu diserahkannya kepada raja raksasa tersebut. Prabu Nagaprakosa menerima dengan senang hati. Ia pun menghajar Arya Gatutkaca bertubi-tubi hingga jatuh pingsan. Dengan segenap kekuatan, Prabu Nagaprakosa lalu melemparkan tubuh Arya Gatutkaca hingga jatuh entah ke mana.
ARYA GATUTKACA DIHADAPKAN KEPADA BATARA GURU
Tubuh Arya Gatutkaca ternyata jatuh di kaki Gunung Jamurdipa. Kebetulan Batara Narada lewat di situ setelah ia kecewa atas sikap Batara Guru dalam pertemuan tadi. Melihat Arya Gatutkaca tergeletak pingsan, ia pun mendatangi pemuda itu dan menyembuhkan lukanya.
Arya Gatutkaca bangun dari pingsan dan segera menyembah Batara Narada. Batara Narada merasa prihatin dan segera mengajak Arya Gatutkaca naik ke Kahyangan Jonggringsalaka, menghadap kepada Batara Guru.
Sesampainya di sana, mereka melihat Batara Guru sedang duduk dihadap para dewa lainnya. Batara Narada segera menyampaikan isi hatinya yang kecewa atas sikap Batara Guru yang terlalu berat sebelah, lebih mementingkan laporan Batari Durga dan Prabu Dewasrani daripada menjaga martabat sendiri. Kini Arya Gatutkaca telah hadir di Kahyangan Jonggringsalaka. Daripada pemuda ini mati dibunuh Batari Durga, mungkin lebih baik mati dibunuh Batara Guru saja.
BATARA GURU MENEPATI JANJINYA KEPADA ARYA GATUTKACA
Arya Gatutkaca maju mendekat. Ia menyerahkan lehernya untuk dipenggal Batara Guru. Batara Guru mengangkat pusaka trisula dan mengarahkannya ke dada Arya Gatutkaca. Namun, pusaka tersebut lalu dialihkan ke pundak Arya Gatutkaca sebagai pertanda bahwa Batara Guru hendak memberikan restu, bukan hendak membunuhnya.
Batara Narada dan para dewa lainnya heran bercampur lega. Batara Guru menjelaskan bahwa ia hanya pura-pura mengabulkan permintaan Batari Durga. Sesungguhnya ini semua hanyalah ujian untuk kesungguhan hati Arya Gatutkaca. Karena Arya Gatutkaca tidak mengindahkan pesan Bambang Wisanggeni, maka ia pun mendapatkan luka karena dianiaya Prabu Nagaprakosa. Anggap saja luka-luka tersebut sebagai pengalaman agar kelak Arya Gatutkaca lebih waspada dan berhati-hati dalam bertindak.
Mengenai janji yang pernah diucapkan dulu, sama sekali Batara Guru tidak lupa. Ia menyatakan hari ini adalah hari yang tepat untuk melantik Arya Gatutkaca sebagai raja kahyangan. Arya Gatutkaca lalu diberi mahkota dan didudukkan di atas takhta yang selama ini ia duduki.
Arya Gatutkaca duduk sejenak di atas takhta tersebut, kemudian ia turun dan bersimpuh menyembah Batara Guru. Arya Gatutkaca lalu mendudukkan Batara Guru kembali ke atas takhta kahyangan. Batara Guru heran mengapa Arya Gatutkaca menolak anugerah yang ia berikan. Arya Gatutkaca menjawab, dirinya sama sekali tidak menolak. Tujuannya bertapa di Gunung Argakelasa adalah untuk mengingatkan Batara Guru akan janji terdahulu. Ia sama sekali tidak berniat serakah, namun hanya ingin menjaga nama baik Batara Guru sebagai pemimpin para dewa. Kini Batara Guru telah terbukti menepati janjinya dengan mengangkat Arya Gatutkaca sebagai raja kahyangan. Arya Gatutkaca merasa dirinya sudah cukup menduduki takhta kahyangan walaupun hanya beberapa detik saja. Baginya, yang paling penting adalah Batara Guru sudah menepati janji dan menjaga wibawa selaku pemimpin para dewa.
Batara Guru merasa terharu melihat watak Arya Gatutkaca yang luhur budi. Ia pun memberikan anugerah baru, yaitu mengangkat Arya Gatutkaca sebagai putra, dengan memberinya julukan Prabu Guruhandaya. Arya Gatutkaca merasa tersanjung dan kembali menyembah Batara Guru.
ROMBONGAN ARYA ANTAREJA BERTEMU PRABU KRESNA YANG ASLI
Sementara itu, Arya Antareja, Raden Abimanyu, dan Bambang Irawan sedang dalam perjalanan menyusul Arya Gatutkaca pulang ke Kerajaan Amarta. Di tengah jalan mereka bertemu Prabu Kresna yang berjalan bersama Arya Wrekodara dan Raden Arjuna. Arya Antareja dan yang lain segera menyembah, dan mereka pun merasa senang melihat Arya Wrekodara telah sembuh dari penyakit berkat kepulangan Arya Gatutkaca.
Arya Wrekodara tidak paham atas perkataan Arya Antareja. Ia merasa selama ini sehat-sehat saja dan tidak terserang penyakit. Arya Antareja pun bercerita bahwa Prabu Kresna telah datang ke Gunung Argakelasa menjemput pulang Arya Gatutkaca dengan alasan Arya Wrekodara sakit keras. Prabu Kresna tersenyum dan menjelaskan dirinya tidak pernah pergi ke Gunung Argakelasa. Justru hari ini ia berniat mengunjungi Arya Gatutkaca bersama Arya Wrekodara dan Raden Arjuna.
Arya Antareja, Raden Abimanyu, dan Bambang Irawan kebingungan mendengarnya. Kini mereka baru sadar bahwa ucapan Bambang Wisanggeni terbukti benar. Tiba-tiba datang Prabu Nagaprakosa mengatakan bahwa yang menjemput Arya Gatutkaca adalah Prabu Kresna palsu, dan saat ini Arya Gatutkaca pun sudah ia bunuh.
ARYA GATUTKACA MENGALAHKAN PRABU NAGAPRAKOSA
Arya Wrekodara marah dan langsung menerjang Prabu Nagaprakosa. Terjadilah pertarungan di antara mereka. Ternyata Prabu Nagaprakosa ini sangat tangguh sesuai dengan namanya. Arya Wrekodara pun merasa kesulitan untuk mengalahkan raja raksasa tersebut.
Tiba-tiba dari angkasa meluncur turun Arya Gatutkaca menerjang Prabu Nagaprakosa. Keduanya kembali bertarung untuk menyelesaikan permasalahan di antara mereka. Pertarungan ini berlangsung sangat seru, hingga akhirnya Prabu Nagaprakosa jatuh terjungkal akibat terkena Aji Brajamusti di tangan Arya Gatutkaca.
Sungguh ajaib, tubuh Prabu Nagaprakosa musnah dan berubah menjadi Batara Anantaboga. Melihat itu, Prabu Kresna, Raden Arjuna, Arya Antareja, dan yang lain segera menyampaikan sembah hormat kepadanya.
Batara Anantaboga pun bercerita bahwa dirinya menyamar sebagai raja raksasa adalah untuk merebut Arya Gatutkaca dari tangan Batari Durga yang menjelma sebagai Prabu Kresna palsu. Batara Anantaboga pura-pura menjadi Prabu Nagaprakosa dan menghajar Arya Gatutkaca. Tujuannya adalah supaya Arya Gatutkaca pingsan dan jangan sampai dibunuh Batari Durga beserta pasukannya. Setelah pingsan, tubuh Arya Gatutkaca dilempar Batara Anantaboga, dan tentu saja diarahkan supaya jatuh di Gunung Jamurdipa. Sesuai rencana, Arya Gatutkaca lalu ditemukan Batara Narada dan dibawa menghadap kepada Batara Guru.
Arya Antareja sangat berterima kasih karena sang kakek telah menolong adiknya dari tangan jahat Batari Durga. Batara Anantaboga berkata bahwa Arya Gatutkaca juga cucunya, tidak berbeda dengan Arya Antareja. Setelah dirasa cukup, ia pun pamit undur diri kembali ke Kahyangan Saptapratala.
Tidak lama kemudian, datanglah Prabu Dewasrani dan pasukannya meminta Arya Gatutkaca agar melepas gelar sebagai putra angkat Batara Guru. Melihat itu, Raden Arjuna segera maju menerjang Prabu Dewasrani, sedangkan Arya Wrekodara dan Arya Antareja menumpas pasukan Nusarukmi. Prabu Dewasrani terdesak dan segera mengajak sisa-sisa prajuritnya mundur melarikan diri.
Prabu Kresna bersyukur peristiwa ini berakhir dengan baik. Ia lalu mengajak mereka semua kembali ke Kerajaan Amarta untuk melapor kepada Prabu Puntadewa.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
Catatan : Dalam rekaman pentas Ki Manteb Soedharsono, nama raja raksasa penjelmaan Batara Anantaboga adalah Prabu Nagabaginda. Dalam kisah di atas saya ganti menjadi Prabu Nagaprakosa supaya tidak rancu dengan lakon Antareja Lahir.
Untuk kisah Arya Gatutkaca menumpas Prabu Kalapracona dan Patih Sekipu bisa dibaca di sini.
Posting Komentar
Posting Komentar
- Tuangkan saran maupun kritik dan jangan meninggalkan Spam.
- Berkomentarlah dengan bijak sesuai dengan konten yang tersedia.
- Tidak Boleh Promosi