-->

Ads 720 x 90

Pandawa Dadu



Kisah ini menceritakan tentang permainan dadu antara para Kurawa yang diwakili Patih Sangkuni melawan para Pandawa, sehingga Pandawa harus menjalani hukuman buang selama tiga belas tahun. Kisah ini merupakan cikal-bakal Perang Bratayuda.

Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabhrata jilid Sabhaparwa, yang dipadukan dengan rekaman lakon Pandawa Dadu yang dimainkan Ki Manteb Soedharsono, dengan perubahan seperlunya.

Kediri, 18 September 2019

Heri Purwanto

Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, silakan klik di sini

------------------------------ ooo ------------------------------

Dewi Drupadi.

PRABU DURYUDANA SAKIT HATI SETELAH PULANG DARI INDRAPRASTA

Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana memimpin pertemuan dihadap Danghyang Druna, Patih Sangkuni, Adipati Karna, dan Raden Kartawarma. Hari itu Prabu Duryudana tampak sangat marah. Ia masih sakit hati karena dua hal. Yang pertama, ia sangat iri melihat keindahan istana Indraprasta milik para Pandawa yang konon dibangun dengan bantuan Batara Wiswakarma dan Asura Maya. Yang kedua, ia sakit hati karena dihina dan dipermalukan Dewi Drupadi, istri Maharaja Yudistira.

Saat itu sesudah upacara Sesaji Rajasuya berakhir, Prabu Duryudana berjalan-jalan untuk mengamati keindahan istana Indraprasta. Muncul panakawan Petruk yang mengingatkan bahwa di depan ada kolam air. Namun, yang dilihat Prabu Duryudana di depan adalah hamparan permadani. Ia menuduh Petruk sengaja mempermainkannya. Prabu Duryudana terus saja melangkah dan dirinya pun tercebur ke dalam kolam yang dilihatnya sebagai permadani itu. Tiba-tiba Dewi Drupadi muncul dan menghina Prabu Duryudana tidak bisa melihat seperti ayahnya.

Prabu Duryudana sangat marah atas penghinaan ini. Ia pulang ke Kerajaan Hastina, tidak enak makan, tidak enak tidur. Sejak kecil ia selalu merasa sial karena memiliki orang tua yang tunanetra, dan kini kesialannya itu diungkit-ungkit oleh seorang wanita. Andai saja yang menghinanya seorang laki-laki, pasti sudah ia labrak saat itu juga.

Adipati Karna menanggapi cerita tersebut dengan penuh kemarahan. Sebagai senapati Kerajaan Hastina, ia merasa berdosa jika tidak bisa menghukum penghina rajanya. Maka, Adipati Karna pun mohon izin untuk menggempur Kerajaan Amarta saat ini juga. Ia tidak akan kembali jika belum memenggal kepala Dewi Drupadi dan Pandawa Lima, meskipun mereka adalah adik-adiknya sendiri. Patih Sangkuni tidak setuju. Ia punya usulan lain, yaitu penghinaan harus dibalas dengan penghinaan, bukan dengan jalan peperangan.

Prabu Duryudana tertarik pada usulan Patih Sangkuni. Ia ingin melihat para Pandawa dan Dewi Drupadi dihina habis-habisan untuk melampiaskan sakit hatinya. Patih Sangkuni berkata bahwa, ia pernah mengajak Maharaja Yudistira semasa muda bermain dadu. Saat itu terlihat bahwa Maharaja Yudistira sangat menyukai permainan ini. Maka, Patih Sangkuni pun mengusulkan agar Prabu Duryudana mengundang Maharaja Yudistira untuk bermain dadu lagi, pasti tidak akan ditolak. Melalui permainan dadu nanti, Prabu Duryudana bisa merebut Kerajaan Amarta beserta istana Indraprasta dan mempermalukan para Pandawa beserta Dewi Drupadi.

Prabu Duryudana tidak yakin apa benar cara tersebut bisa digunakan untuk mengalahkan para Pandawa. Patih Sangkuni bercerita bahwa dirinya pernah belajar ilmu sihir. Memenangkan permainan dadu adalah perkara mudah baginya. Apalagi dadu yang ia pakai berasal dari tulang ayahnya sendiri, yaitu mendiang Prabu Suwala. Patih Sangkuni juga telah mengadakan upacara memanggil roh ayahnya agar masuk bersatu di dalam dadu tersebut.

Danghyang Druna ngeri mendengar rencana Patih Sangkuni. Ia menyarankan Patih Sangkuni agar membatalkan rencana tersebut, karena mempermalukan para Pandawa melalui perjuadian adalah tindakan licik dan tidak kesatria. Patih Sangkuni balas mengatakan bahwa ini lebih baik daripada menempuh jalur peperangan. Jika menggunakan permainan dadu, maka tidak perlu sampai jatuh korban jiwa. Lagipula jika sampai terjadi perang seperti yang diusulkan Adipati Karna, maka Danghyang Druna akan kehilangan murid, entah itu yang mati para Pandawa ataukah para Kurawa.

Prabu Duryudana berkata bahwa dirinya sudah memutuskan untuk menyetujui usulan Patih Sangkuni, yaitu mengajak para Pandawa bermain dadu. Danghyang Druna dan Adipati Karna boleh tidak setuju, tetapi mereka harus tetap mematuhi karena raja sudah memutuskan demikian. Prabu Duryudana juga meminta agar permainan dadu nanti disaksikan para sesepuh Kerajaan Hastina, yaitu Resiwara Bisma, Prabusepuh Dretarastra, Adipati Yamawidura, dan Resi Krepa. Pokoknya para Pandawa dan Dewi Drupadi harus dipermalukan di hadapan mereka semua.

Danghyang Druna mengingatkan bahwa para Pandawa memiliki penasihat agung, yaitu Prabu Batara Kresna. Bagaimana jika sampai ia menghalangi permainan dadu nanti? Patih Sangkuni menjawab, mengenai Prabu Kresna adalah urusan Danghyang Druna. Prabu Duryudana membenarkan ucapan Patih Sangkuni. Ia meminta Danghyang Druna agar mengerahkan murid-muridnya untuk mengalihkan perhatian Batara Kresna agar tidak mengganggu permainan dadu nanti. Danghyang Druna yang dalam hati tidak setuju terpaksa mematuhi perintah ini.

Setelah dirasa cukup, Prabu Duryudana pun membubarkan pertemuan. Patih Sangkuni dan Danghyang Druna lalu berbagi tugas untuk keberalangsungan acara permainan dadu nanti.

DANGHYANG DRUNA MENGERAHKAN MURID-MURIDNYA

Di paseban luar, Danghyang Druna memanggil murid-muridnya agar maju mendekat. Mereka adalah para raja bekas pengikut Prabu Jarasanda yang bernama Prabu Wiruka, Prabu Wisaka, Prabu Reksaka, Prabu Jayakurda, dan Prabu Surakesti. Setelah Prabu Jarasanda gugur, kelima raja itu menjadi sekutu Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina, serta berguru kepada Danghyang Druna. Kali ini Danghyang Druna meminta bayaran atas pelajaran yang ia berikan, di mana mereka harus berangkat menyerang Kerajaan Dwarawati.

Prabu Wiruka dan kawan-kawan bersenang hati karena ini adalah peluang bagi mereka untuk membalaskan kematian Prabu Jarasanda, Prabu Sisupala, Prabu Hamsa, dan Prabu Dimbaka. Mereka lalu mohon pamit dan mohon restu kepada Danghyang Druna, kemudian berangkat menuju Kerajaan Dwarawati.

KERAJAAN DWARAWATI DIKEPUNG MUSUH

Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Batara Kresna dihadap Raden Setyaka, Arya Setyaki, dan Patih Udawa. Hadir pula dua putra lainnya yang telah memiliki negeri sendiri, yaitu Adipati Partajumena dan Patih Saranadewa. Setelah meninggalnya Raden Samba, seharusnya yang menjadi pangeran mahkota adalah Raden Partajumena. Namun, Raden Partajumena menolak karena ingin hidup mandiri membangun negeri sendiri. Ia pun berhasil mendirikan sebuah kerajaan kecil yang diberi nama Dadapaksi. Adik kandungnya yang berparas raksasa, yaitu Raden Saranadewa dijadikan sebagai patih, sedangkan dirinya memakai gelar adipati, dan tetap mengakui Kerajaan Dwarawati sebagai atasan.

Demikianlah, karena Adipati Partajumena telah memiliki negeri sendiri, maka hari ini Prabu Batara Kresna melantik putra bungsunya, yaitu Raden Setyaka sebagai pangeran mahota Kerajaan Dwarawati. Pelantikan ini juga disaksikan oleh Prabu Baladewa yang datang berkunjung dari Kerajaan Mandura.

Prabu Kresna kemudian berbicara kepada Prabu Baladewa, Arya Setyaki, dan yang lain, bahwa tadi malam dirinya bermimpi melihat Kerajaan Amarta diterjang banjir bandang (tsunami) yang menenggelamkan kelima Pandawa dan Dewi Drupadi. Namun, mereka kemudian berhasil muncul kembali ke permukaan. Prabu Kresna mendapat firasat bahwa para Pandawa akan mendapat musibah besar, namun mampu untuk bertahan. Untuk itu, ia berniat mengunjungi mereka di Kerajaan Amarta.

Tiba-tiba ada laporan bahwa Kerajaan Dwarawati diserang musuh dari segala penjuru. Mereka adalah para raja yang berniat membalas dendam atas kematian Prabu Jarasanda raja Magada. Prabu Kresna segera memerintahkan Arya Setyaki untuk memimpin pasukan menghadapi serangan tersebut. Prabu Baladewa tanpa diminta langsung memerintahkan pasukan Mandura untuk membantu.

Maka, terjadilah pertempuran di Kerajaan Dwarawati. Gabungan pasukan Dwarawati dan Mandura bertempur menghadapi pasukan lima raja yang dikirim Danghyang Druna. Untuk sementara, Prabu Kresna harus menunda keberangkatannya menuju Kerajaan Amarta.

ADIPATI YAMAWIDURA MEMBAWA UNDANGAN KE KERAJAAN AMARTA

Sementara itu di Kerajaan Amarta, Maharaja Yudistira dan adik-adiknya menerima kunjungan Adipati Yamawidura dari Pagombakan. Kedatangan sang paman adalah untuk menyampaikan surat dari Prabusepuh Dretarastra, yang mengundang Maharaja Yudistira dan permaisuri Dewi Drupadi beserta keempat Pandawa lainnya untuk menghadiri acara permainan dadu dalam rangka syukuran hari kelahiran Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina. Maharaja Yudistira menerima undangan tersebut dengan senang hati dan menyatakan bersedia untuk datang.

Arya Wrekodara heran mengapa Prabu Duryudana mengadakan pesta syukuran hari kelahiran, bukankah hari kelahiran antara dirinya dengan Prabu Duryudana hanya selisih satu hari saja, dan seharusnya itu sudah lewat? Maharaja Yudistira melarang Arya Wrekodara berburuk sangka. Ia pun bercerita tentang kisah kelahiran mereka. Kala itu Dewi Gandari istri Prabu Dretarastra sudah lebih dulu mengandung, namun sampai dua tahun belum juga melahirkan. Dewi Kunti yang mengandung belakangan ternyata lebih dulu melahirkan Maharaja Yudistira. Konon Dewi Gandari sangat marah karena didahului dan ia pun memukuli perutnya sendiri supaya si janin segera lahir. Ternyata yang keluar dari kandungannya bukan bayi, melainkan segumpal daging hidup. Bagawan Abyasa datang dan memecah daging tersebut menjadi seratus potong, lalu memasukkannya masing-masing ke dalam kuali.

Beberapa waktu kemudian, Dewi Kunti melahirkan Arya Wrekodara dalam keadaan terbungkus. Esok harinya, salah satu pecahan daging yang dilahirkan Dewi Gandari berubah menjadi bayi normal, yaitu Prabu Duryudana. Jadi, memang benar bayi Prabu Duryudana keluar dari kuali selisih sehari dengan lahirnya Arya Wrekodara, namun kelahirannya ke dunia dalam wujud daging hidup adalah sesudah lahirnya Maharaja Yudistira. Mungkin yang akan dirayakan Prabu Duryudana adalah kelahirannya yang pertama tersebut. Maka itu, Maharaja Yudistira melarang Arya Wrekodara berburuk sangka, apalagi yang mengundang mereka adalah Prabusepuh Dretarastra.

Raden Arjuna ikut bicara. Ia mengingatkan Maharaja Yudistira atas peristiwa Balai Sigala-gala. Saat itu Prabu Dretarastra telah diperalat Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni untuk mencelakakan para Pandawa. Prabu Dretarastra adalah orang yang memerintahkan para Pandawa dan Dewi Kunti untuk bermalam di Balai Sigala-gala yang kemudian dibakar. Untungnya, Adipati Yamawidura telah memohon bantuan kepada sang mertua, yaitu Resi Landakseta untuk membuatkan terowongan bawah tanah, sehingga para Pandawa dan sang ibu bisa selamat. Apalagi kali ini undangannya adalah bermain dadu, tentunya penuh dengan rekayasa dan tipu muslihat di dalamnya.

Adipati Yamawidura membenarkan ucapan Arya Wrekodara dan Raden Arjuna. Dirinya mengaku didesak oleh Prabusepuh Dretarastra untuk mengantarkan surat undangan ke Kerajaan Amarta. Bagaimanapun juga para Pandawa dan Dewi Drupadi harus menghadiri permainan dadu di acara syukuran tersebut. Sepertinya Adipati Yamawidura sengaja dikirim agar para Pandawa segan menolak. Namun, hari ini ia justru menasihati Maharaja Yudistira agar tidak menghadiri undangan mencurigakan tersebut.

Maharaja Yudistira menolak nasihat sang paman. Ia telah menyatakan dirinya akan menghadiri undangan ini dan tidak akan menarik kembali ucapannya. Sama sekali ia tidak pernah menaruh curiga kepada Prabusepuh Dretarastra yang sudah dianggap sebagai pengganti ayah kandungnya. Dewi Drupadi sebagai istri juga menyatakan ikut menemani, begitu pula si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa. Arya Wrekodara dan Raden Arjuna tidak tega kalau sampai mereka dicelakai para Kurawa. Maka, keduanya pun menyatakan ikut berangkat.

Adipati Yamawidura sudah hafal watak Maharaja Yudistira dan ia tidak bisa mencegah lagi. Maka, mereka pun bersama-sama berangkat menuju Kerajaan Hastina.

PRABU BATARA KRESNA MENYUSUL PARA PANDAWA

Berkat bantuan Prabu Baladewa dan pasukan Mandura, akhirnya musuh yang mengepung Kerajaan Dwarawati dapat ditumpas semuanya. Prabu Batara Kresna lalu mohon pamit berangkat ke Kerajaan Amarta karena ia mendapat firasat buruk atas nasib para Pandawa. Untuk sementara, Kerajaan Dwarawati dititipkan kepada Prabu Baladewa dan Arya Setyaki.

Prabu Kresna pun memacu kereta Jaladara hingga tiba di Kerajaan Amarta. Namun, di sana ia tidak bertemu para Pandawa. Menurut keterangan Patih Tambakganggeng, kelima Pandawa dan Dewi Drupadi telah dijemput Adipati Yamawidura untuk bersama-sama berangkat menuju Kerajaan Hastina.

Mendengar berita itu, Prabu Kresna segera memacu kereta untuk mengejar. Namun, ia dihadang Batara Narada yang tiba-tiba turun dari angkasa. Batara Narada mencegah Prabu Kresna ikut campur, karena ini menyangkut takdir yang harus dijalani para Pandawa.

Prabu Kresna heran takdir apa yang akan menimpa para Pandawa. Batara Narada mengingatkan Prabu Kresna adalah titisan Batara Wisnu, tentunya tidak perlu ragu bahwa para Pandawa ditakdirkan menjadi kaum kesatria penumpas angkara murka. Namun, mereka lebih dulu harus menjalani ujian dari Yang Mahakuasa demi menguatkan hati dan mendewasakan jiwa. Ujian tersebut akan segera datang, dan Prabu Kresna dilarang keras untuk menggagalkannya.

Prabu Kresna memahami ucapan Batara Narada. Ia pun berjanji tidak akan membantu Pandawa Lima, namun ia minta izin untuk mengawasi mereka. Batara Narada mengizinkan Prabu Kresna boleh mengawasi, tapi tidak boleh membantu para Pandawa sama sekali. Prabu Kresna berterima kasih, lalu mohon pamit melanjutkan perjalanan.

MAHARAJA YUDISTIRA MENERIMA TANTANGAN BERMAIN DADU

Adipati Yamawidura, Maharaja Yudistira, dan para Pandawa lainnya telah tiba di Kerajaan Hastina, sedangkan Dewi Drupadi masuk ke dalam kamar tamu karena sedang datang bulan. Mereka pun disambut oleh Prabu Duryudana yang didampingi Prabusepuh Dretarastra dan Patih Sangkuni. Juga terlihat ada Resiwara Bisma, Danghyang Druna, dan Resi Krepa di belakang mereka.

Prabusepuh Dretarastra berkata bahwa hari ini Prabu Duryudana mengadakan pesta syukuran hari kelahirannya. Ia sengaja mengundang semua kerabat, dan tentunya para Pandawa. Dalam acara kali ini, Prabu Duryudana ingin mengajak Maharaja Yudistira untuk bermain dadu, demi mengenang masa kecil para Pandawa dan Kurawa yang sering main bersama.

Maharaja Yudistira menerima dengan senang hati. Prabu Duryudana berkata bahwa Patih Sangkuni yang akan mewakili dirinya sebagai pelempar dadu. Adipati Yamawidura bertanya, mengapa harus diwakili Patih Sangkuni? Mengapa Prabu Duryudana tidak bermain sendiri sebagai pemimpin Kurawa melawan Maharaja Yudistira sebagai pemimpin Pandawa?

Prabu Duryudana geram mendengar pertanyaan sang paman. Ia pura-pura mogok hendak membatalkan permainan. Maharaja Yudistira yang tidak suka melihat orang lain kecewa segera mengatakan bahwa dirinya bersedia menghadapi Patih Sangkuni sebagai wakil Kurawa. Prabu Duryudana gembira mendengar pihak lawan masuk ke dalam perangkapnya.

PATIH SANGKUNI BERMAIN SIHIR

Patih Sangkuni duduk didampingi Prabu Duryudana, Arya Dursasana, dan Adipati Karna. Mereka berhadapan melawan Maharaja Yudistira yang duduk bersama keempat Pandawa lainnya. Permainan dadu pun dimulai. Mula-mula mereka bertaruh kecil-kecilan, yaitu perhiasan dan uang yang mereka bawa. Untuk babak pertama dimenangkan Maharaja Yudistira.

Prabu Duryudana terlihat kecewa kepada Patih Sangkuni. Namun, ia tidak tahu kalau Patih Sangkuni sengaja memberi angin kepada para Pandawa agar mereka lengah. Pada babak kedua, Patih Sangkuni mulai menggunakan ilmu sihirnya. Dadu yang ia buat dari tulang mendiang Prabu Suwala telah diisi dengan mantra sihir. Berapa pun yang angka yang ia minta selalu muncul, seolah dadu tersebut bisa diajak bicara.

Satu persatu harta yang dipertaruhkan Maharaja Yudistira pun berpindah tangan menjadi milik Prabu Duryudana. Melihat itu, Adipati Yamawidura tampil dan mengusulkan agar permainan dihentikan saja, karena pihak Pandawa sudah kehabisan bekal. Namun, Prabu Duryudana tidak bersedia. Ia mengajak Maharaja Yudistira tetap bermain, karena harta kekayaan para Pandawa yang ada di istana Indraprasta masih banyak. Meskipun tidak dibawa, tapi itu bisa untuk dipertaruhkan.

Maharaja Yudistira tidak ingin melihat tuan rumah kecewa. Ia pun mempertaruhkan harta yang ada di istana Indraprasta. Namun, satu persatu lenyap menjadi milik Prabu Duryudana karena kepandaian Patih Sangkuni melempar dadu. Hingga akhirnya istana Indraprasta juga dipertaruhkan, dan kemudian jatuh pula ke pihak lawan.

MAHARAJA YUDISTIRA MEMPERTARUHKAN ADIK-ADIKNYA

Maharaja Yudistira mengaku kalah dan dirinya sudah tidak punya apa-apa lagi. Prabu Duryudana berkata, Maharaja Yudistira masih memiliki empat orang adik yang setia. Mereka tentunya bisa dipertaruhkan. Jika Maharaja Yudistira menang pada babak selanjutnya, maka istana Indraprasta beserta isinya akan dikembalikan lagi.

Adipati Yamawidura bangkit kembali meminta agar permainan dihentikan. Prabu Duryudana menyuruh pamannya itu diam. Seorang adipati tidak berhak memerintah raja. Prabusepuh Dretarastra tampak manggut-manggut, pertanda ia membenarkan ucapan Prabu Duryudana.

Maharaja Yudistira terpancing ucapan Prabu Duryudana. Ia pun mempertaruhkan Raden Sadewa. Namun, Raden Sadewa jatuh pula ke pihak lawan. Yang kedua, ia mempertaruhkan Raden Nakula. Patih Sangkuni dengan ilmu sihirnya lagi-lagi dapat merebut Raden Nakula menjadi milik Prabu Duryudana.

Prabu Duryudana tertawa senang dan berjanji akan menjadikan si kembar sebagai budak adik kesayangannya, yaitu Arya Dursasana. Ia lalu menantang Maharaja Yudistira untuk mempertaruhkan adik yang lain. Maharaja Yudistira pun mempertaruhkan Raden Arjuna. Patih Sangkuni kembali melemparkan dadu dan Raden Arjuna pun menjadi milik Prabu Duryudana.

Prabu Duryudana lalu menantang Maharaja Yudistira untuk mempertaruhkan Arya Wrekodara. Maharaja Yudistira setuju dan ia pun mempertaruhkan adik keduanya itu. Lagi-lagi Patih Sangkuni berhasil mengendalikan lemparan dadunya, dan Arya Wrekodara pun jatuh ke tangan Prabu Duryudana.

Prabu Duryudana tertawa gembira melihat Arya Wrekodara yang sejak kecil menjadi musuh bebuyutannya, kini berubah menjadi budak yang harus melayani dirinya. Resiwara Bisma tidak tahan lagi. Ia meminta Prabusepuh Dretarastra untuk menghentikan permainan gila ini. Prabusepuh Dretarastra hanya diam saja, seolah merestui Prabu Duryudana agar terus bermain. Resiwara Bisma sangat marah karena ucapannya tidak diperhatikan, namun ia tidak tega untuk meninggalkan para Pandawa dalam keadaan seperti ini.

Prabu Duryudana kembali mendesak Maharaja Yudistira untuk melanjutkan permainan. Maharaja Yudistira tidak punya pilihan lain. Ia pun mempertaruhkan dirinya sendiri. Patih Sangkuni kembali beraksi. Kali ini ia berhasil merenggut kemerdekaan Maharaja Yudistira. Prabu Duryudana tertawa senang. Ia tidak sudi mendengar gelar Maharaja Yudistira diucapkan. Mulai saat ini, gelar itu harus dibuang dan kembali memakai nama Prabu Puntadewa saja.

PRABU PUNTADEWA MEMPERTARUHKAN DEWI DRUPADI

Prabu Puntadewa bersedia melepas gelar maharaja yang ia peroleh saat Sesaji Rajasuya. Ia pun meminta agar permainan dadu dihentikan, karena ia sudah tidak punya apa-apa lagi. Bahkan, ia dan keempat adiknya sudah resmi menjadi budak para Kurawa.

Prabu Duryudana mengingatkan bahwa Prabu Puntadewa masih memiliki seorang istri yang cantik tetapi sombong, bernama Dewi Drupadi. Mendengar itu Arya Wrekodara dan Raden Arjuna bangkit hendak melabrak Prabu Duryudana, namun dicegah Prabu Puntadewa.

Prabu Puntadewa sudah kehilangan kemerdekaan, maka ia tidak berani mempertaruhkan Dewi Drupadi. Prabu Duryudana berkata bahwa, meskipun Prabu Puntadewa sudah kehilangan kemerdekaan, tetapi hubungan suami-istri tidaklah putus. Prabu Puntadewa masih berhak untuk mempertaruhkan istrinya. Apalagi kalau babak ini sampai dimenangkan olehnya, maka seluruh Pandawa akan dibebaskan, dan Kerajaan Amarta beserta istana Indraprasta akan dikembalikan pula.

Prabu Puntadewa merasa kasihan pada nasib adik-adiknya yang menjadi budak karena perbuatannya. Maka, ia pun bersedia mempertaruhkan Dewi Drupadi. Patih Sangkuni kembali melempar dadu. Lagi-lagi ia menang dan Dewi Drupadi pun menjadi milik Prabu Duryudana.

Prabu Duryudana khawatir Adipati Karna bangkit melindungi Dewi Drupadi yang merupakan adik iparnya. Maka, ia pun mengungkit-ungkit peristiwa masa lalu saat sayembara memanah di Kerajaan Pancala, yaitu ketika Adipati Karna dihina Dewi Drupadi sebagai anak kusir yang tidak tahu diri karena berani melamar seorang putri raja. Adipati Karna terpancing amarahnya karena teringat peristiwa tersebut. Ia pun berkata bahwa Dewi Drupadi memang sangat cantik tetapi mulutnya kasar seperti wanita murahan.

Ucapan Adipati Karna membuat Raden Arjuna bangkit dan mengucapkan sumpah. Meskipun mereka bersaudara, namun kelak dirinya akan membunuh Adipati Karna dalam pertempuran. Mendengar sumpah tersebut, Prabu Duryudana marah dan menyuruh Raden Arjuna duduk kembali. Seorang budak dilarang bicara tanpa izin majikan. Prabu Puntadewa segera merangkul Raden Arjuna untuk menyabarkannya.

Sementara itu, Resiwara Bisma, Adipati Yamawidura, dan Resi Krepa hanya bisa tertunduk karena mereka tidak mampu menghentikan kegilaan ini. Danghyang Druna juga menyesal telah terlibat dalam penyusunan rencana permainan dadu tersebut.

DEWI DRUPADI DIPERMALUKAN DI DEPAN UMUM

Prabu Duryudana tertawa senang karena Dewi Drupadi yang pernah menghina dirinya, kini menjadi budak para Kurawa. Ia pun memerintahkan Arya Dursasana menyeret wanita itu untuk dihadirkan di tempat permainan dadu. Arya Dursasana berangkat segera. Ia mendatangi Dewi Drupadi yang beristirahat di kamar tamu karena sedang datang bulan.

Dewi Drupadi heran mendengar dirinya telah dipertaruhkan. Arya Dursasana tidak peduli. Ia langsung menjambak rambut iparnya tersebut dan menariknya agar ikut dengannya. Dewi Drupadi meronta kesakitan, namun Arya Dursasana justru mempercepat langkah kakinya. Dewi Drupadi yang seorang wanita tidak mampu mengikuti langkah Arya Dursasana yang lebih lebar. Ia pun terjatuh di lantai dengan rambut masih dijambak Arya Dursasana.

Tanpa ampun, Arya Dursasana tetap menjambak dan menyeret Dewi Drupadi di lantai hingga akhirnya mereka sampai di tempat perjudian. Semua orang terkejut dan tertunduk malu bercampur marah, terutama para Pandawa. Hanya Prabu Duryudana dan para Kurawa yang tertawa menyaksikan pemandangan ini.

Dewi Drupadi bertanya mengapa dirinya dipertaruhkan. Apakah memang budaya Kerajaan Hastina menganggap wanita sebagai benda yang bisa diperjualbelikan? Resiwara Bisma dan Adipati Yamawidura tertunduk malu tidak bisa menjawab. Prabu Puntadewa dan para Pandawa hanya bisa tertunduk lesu, karena mereka sudah menjadi budak yang tidak memiliki hak untuk bicara.

Ternyata tidak semua Kurawa tertawa menyaksikan pemandangan itu. Raden Durmagati adalah satu-satunya yang diam tidak ikut bergembira. Ia melangkah maju dan meminta kepada Prabu Duryudana agar membebaskan Dewi Drupadi. Raden Durmagati berkata bahwa perbuatan Arya Dursasana yang menjambak dan menyeret Dewi Drupadi akan mencoreng nama baik Kerajaan Hastina di mata dunia.

Raden Durmagati memang Kurawa yang unik. Tubuhnya pendek gemuk, wajahnya buruk rupa, penampilannya lugu seperti anak kecil, namun berpikiran bijaksana. Tidak jarang ia berani mengkritik Patih Sangkuni apabila merencanakan kejahatan untuk para Pandawa. Namun, kritikannya hanya dianggap sebagai angin lalu. Tak disangka, kini ia berani melawan Prabu Duryudana di depan umum. Prabu Duryudana sangat marah dan memerintahkan Raden Kartawarma untuk meringkus Raden Durmagati dan membawanya kembali duduk.

Prabu Duryudana teringat pada ucapan Adipati Karna tadi, bahwa Dewi Drupadi berwajah cantik tetapi mulutnya kasar seperti wanita murahan. Arya Dursasana pun diperintahkan untuk melucuti pakaian Dewi Drupadi. Seorang wanita murahan tidak perlu ditutupi pakaian. Nanti apabila sudah telanjang, maka Dewi Drupadi hendak dipangku di atas paha Prabu Duryudana.

Arya Wrekodara marah mendengarnya. Ia bersumpah akan meremukkan paha Prabu Duryudana dan meminum darah Arya Dursasana apabila berani mempermalukan Dewi Drupadi. Prabu Duryudana tidak peduli dan tetap memerintahkan Arya Dursasana untuk segera bertindak.

Arya Dursasana dengan beringas menarik ujung kain yang dipakai Dewi Drupadi. Meskipun berusaha menahannya, namun kekuatan Dewi Drupadi jauh di bawah Arya Dursasana yang berbadan gemuk tinggi besar. Ia melihat para Pandawa sudah tertunduk lesu dan tidak bisa berbuat apa-apa. Maka, satu-satunya yang bisa diharapkan hanyalah Prabu Batara Kresna. Dewi Drupadi pun memanggil kakak iparnya itu agar datang menolong.

PRABU BATARA KRESNA MENOLONG DEWI DRUPADI

Prabu Batara Kresna sebenarnya sudah hadir di Kerajaan Hastina sejak tadi, namun ia menggunakan Aji Panglimunan sehingga tidak seorang pun bisa melihat kehadirannya. Karena sudah berjanji di hadapan Batara Narada, maka ia pun diam saja tidak menolong para Pandawa yang dilanda kesusahan.

Namun, kali ini Dewi Drupadi hendak ditelanjangi di depan umum, tidak mungkin Prabu Kresna menutup mata begitu saja. Lagipula ia hanya berjanji tidak akan membantu para Pandawa, sedangkan Dewi Drupadi tidak ia sebutkan dalam janji tersebut. Maka, ia merasa tidak melanggar janji apabila turun tangan membantu adik iparnya tersebut.

Prabu Kresna masih tetap menggunakan Aji Panglimunan, namun dari tangannya keluar kain yang menyambung kepada kain yang dikenakan Dewi Drupadi. Hal itu membuat kain yang dikenakan Dewi Drupadi tidak bisa habis. Arya Dursasana sampai kelelahan menarik kain tersebut namun Dewi Drupadi tidak juga terlihat telanjang. Akhirnya, Arya Dursasana pun jatuh terduduk kehabisan tenaga, sedangkan kain yang ia tarik sudah bertumpuk menggunung setinggi tubuhnya. Dewi Drupadi tetap berpakaian dan ia pun jatuh ke lantai dicekam rasa sedih tak terperikan.

Dewi Drupadi menangis telah dipermalukan di istana mertua. Sebagai menantu dirinya tidak dihargai dan dianggap sebagai benda tak bernyawa. Pada saat itulah muncul Dewi Gandari dan Dewi Kunti mendatanginya. Dewi Kunti segera memeluk tubuh menantunya itu, sedangkan Dewi Gandari melabrak Prabu Duryudana, anaknya sendiri.

PERMAINAN DADU DIULANG KEMBALI

Dewi Gandari memaki Prabu Duryudana dan Arya Dursasana sebagai manusia tak berbudi yang tidak punya tata krama. Prabu Duryudana heran karena selama ini sang ibu selalu mendukung keinginannya, tapi mengapa kali ini justru melabrak dirinya. Dewi Gandari berkata, dirinya memang selalu mendukung Prabu Duryudana, tapi tidak untuk kali ini. Bagaimanapun juga Dewi Gandari dan Dewi Drupadi sama-sama wanita. Menghina satu orang wanita berarti sama dengan menghina semua wanita di dunia. Menghina Dewi Drupadi berarti sama dengan menghina Dewi Gandari. Kali ini Dewi Gandari benar-benar marah. Ia meminta permainan gila ini dibatalkan, dan semua harta benda milik Pandawa harus dikembalikan. Para Pandawa juga harus dibebaskan, tidak boleh lagi menjadi budak para Kurawa.

Prabu Duryudana ingin membantah, namun seumur hidup ia selalu menyayangi ibunya tersebut. Patih Sangkuni mendapat akal. Ia bersedia mengembalikan semua milik Pandawa, namun mengusulkan agar permainan tetap dilanjutkan. Kali ini bentuk taruhannya berbeda, bukan lagi harta benda, tetapi hukuman buang.

Dewi Gandari penasaran dan bertanya, hukuman buang seperti apa yang hendak diusulkan adiknya. Patih Sangkuni menjawab, apabila babak baru nanti dimenangkan para Pandawa, maka para Kurawa harus menjalani hukuman buang ke hutan selama dua belas tahun, kemudian ditambah hidup menyamar di sebuah negeri selama satu tahun. Apabila ketahuan, maka harus mengulang lagi selama dua belas tahun di hutan dan setahun menyamar, begitu seterusnya. Selama masa pembuangan, maka Kerajaan Hastina harus dititipkan kepada para Pandawa. Sebaliknya, apabila para Pandawa yang kalah, maka mereka harus dibuang dengan cara seperti itu. Selama para Pandawa pergi, maka Kerajaan Amarta untuk sementara harus dititipkan kepada para Kurawa.

Dewi Gandari setuju, yang penting tidak boleh lagi ada perbudakan dan penghinaan terhadap wanita. Prabusepuh Dretarastra juga setuju, sedangkan Resiwara Bisma dan Adipati Yamawidura diam saja karena merasa percuma ikut bicara. Prabu Duryudana juga setuju pada usulan Patih Sangkuni, dan ia pun bertanya bagaimana pendapat para Pandawa.

Prabu Puntadewa merasa tidak punya pilihan lain. Ia pun menerima tantangan tersebut. Patih Sangkuni kembali melempar dadu. Sesuai dugaan, babak yang baru ini lagi-lagi dimenangkan oleh pihak Kurawa.

PARA PANDAWA BERANGKAT KE HUTAN

Prabu Puntadewa, Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa mohon pamit untuk mulai menjalani masa pembuangan di hutan. Sesuai perjanjian, mereka pun menitipkan Kerajaan Amarta kepada Prabu Duryudana. Dewi Kunti dan Dewi Drupadi menyatakan ikut serta. Prabu Puntadewa tidak bersedia karena ini adalah kesalahan dirinya, maka ibu dan istrinya dilarang ikut pergi ke hutan.

Adipati Yamawidura tidak tega melihat kakak iparnya ikut menjalani pembuangan. Ia pun meminta Dewi Kunti untuk tinggal di Kadipaten Pagombakan saja. Prabu Puntadewa dan keempat adiknya ikut memohon agar sang ibu menerima tawaran tersebut. Dewi Kunti akhirnya luluh dan bersedia menerima ajakan Adipati Yamawidura.

Prabu Puntadewa lalu mengajak Dewi Drupadi pulang ke Kerajaan Pancala. Selama para Pandawa menjalani masa pembuangan, Dewi Drupadi akan dititipkan kepada sang ayah, yaitu Prabu Drupada. Mendengar itu, Dewi Drupadi mengancam akan bunuh diri. Ia telah dipermalukan di istana Kerajaan Hastina, maka tidak mungkin pulang ke Kerajaan Pancala dengan membawa aib. Baginya lebih baik mati daripada malu bertemu orang tua. Jika Prabu Puntadewa tidak ingin melihat istrinya bunuh diri, maka sebaiknya diizinkan ikut menemani pergi ke hutan. Bahkan, Dewi Drupadi menyatakan sumpah bahwa dirinya tidak akan menata rambut sebelum keramas darah Arya Dursasana. Aib memalukan ini hanya bisa ditebus dengan nyawa Arya Dursasana.

Pada saat itulah muncul Prabu Kresna menampakkan diri. Ia berkata bahwa ini semua adalah takdir yang harus dijalani para Pandawa dan juga Dewi Drupadi. Kehidupan di hutan jangan dianggap sebagai musibah, tetapi hendaknya menjadi sarana untuk melebur dosa dan mendewasakan jiwa, karena kelak para Pandawa akan menjadi kesatria pinilih yang mendapat tugas dari dewata untuk menumpas angkara murka.

Prabu Puntadewa dan para Pandawa lainnya dapat menerima takdir ini. Dewi Drupadi akhirnya diizinkan untuk ikut serta. Mereka lalu memohon restu dan bersama-sama berangkat menuju Hutan Kamyaka untuk menjalani masa pembuangan selama dua belas tahun.

------------------------------ TANCEB KAYON------------------------------
 

Catatan : Tokoh Kurawa yang membela Drupadi menurut versi Mahabharata bernama Wikarna. Dalam kisah di atas saya ganti menjadi Durmagati karena saya mengikuti sanggit Ki Anom Suroto, bahwa Durmagati adalah anggota Kurawa yang buruk rupa tetapi baik hati, yang sering mengkritik niat jahat Patih Sangkuni.


Untuk kisah Dewi Drupadi menghina Adipati Karna semasa muda bisa dibaca di sini.

Untuk kisah Dewi Drupadi menghina Prabu Duryudana bisa dibaca di sini.





Semoga artikel Pandawa Dadu bisa menambah wawasan bagi sobat mbudayajawa yang mampir kesini, kalau sobat mbudaya jawa mempunyai cerita tentang tradisi, kesenian, budaya yang terdapat di daerah sobat mbudayajawa bisa langsung di kirimkan ke mengenalbudayajawa@gmail.com

Jangan lupa klik tombol di bawah ini untuk share ke teman-teman dan bersama kita lestarikan budaya kita sendiri agar tidak hilang oleh jaman.

Related Posts

There is no other posts in this category.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter