Petikan Kisah Pewayangan "Satriya Sungging Sela Gumuling"
Kocap kacarita, dikisahkan Pangeran Rahadyan Seta putra mahkota dari Kerajaan Wiratha harus kabur ke hutan karena diusir dan hampir dibunuh oleh ayahnya sendiri yaitu Sang Prabu Durgandana. Ayah dan anak itu sebelumnya telah berselisih paham tentang pernikahan yang harus segera dilaksanakan oleh puteranya. Kekerasan hati Pangeran Seta yang menolak untuk segera menikah telah membuat murka Ayahnya. Dalam pelariannya, kini Sang Pangeran berdiam diri dalam sepi, di sebuah hutan jauh dari Negara Wiratha. Ia hendak meredam rasa amarah dan kesedihan yang berkecamuk di hatinya dengan melakukan laku tapa atau bersemedi. Pangeran Rahadyan Seta menemukan sebuah gundukan besar menyerupai batu di bawah sebuah pohon beringin putih nan sangat besar, di situlah ia melakukan pertapaannya untuk mengadukan keresahan hatinya kepada Sang Dewata.
Ditengah keheningannya bersemedi, tiba-tiba batu tempat Pangeran Seta duduk, tampak bergerak-gerak. Ternyata yang dikira batu besar oleh Pangeran Seta itu, tak lain adalah seekor kerbau yang sedang bersemedi juga. Kerbau itu bernama Mahesa Lawung yang berarti kerbau jantan nan liar. Mahesa Lawung marah-marah karena merasa dilecehkan, dijadikan alas duduk dan bersemedi oleh Pangeran Seta. Terjadi percekcokkan yang berakhir dengan perkelahian antara Pangeran RahadyanSeta dengan Mahesa Lawung. Mahesa Lawung kalah berhadapan dengan senjata sakti Sang Pangeran yaitu Pusaka Kyai Gada Wesi Putih. Dalam kekalahannya, muncullah wujud asli dari Mahesa Lawung yang sebenarnya adalah Sang Hyang Sambu, putra dari Bathara Guru. Melihat hal tersebut, Pangeran Rahadyan Seta langsung sujud menyembah dan meminta maaf atas kelancangan sikapnya. Sang Hyang Sambu ternyata hanya memberi ujian terhadap laku tapa brata dari Sang Pangeran. Ia lalu memberikan petunjuk untuk mengatasi segala keresahan hati Pangeran Rahadyan Seta melalui pesan yang akan tertatah di sebuah batu yang bernama Sela Gumuling. Dalam petunjuknya tersebut, Sang Pangeran akan menikah dengan Dewi Kanekawati, puteri Bathara Naradayang pernah turun ke dunia menyamar sebagai raja bernama Kanekanata.
Memasuki alas Krendhowahono
Para abdi dalem membawakan aneka sesaji
Kisah Mahesa Lawung di Alas Krendhowahono
Dalam Kisah pewayangan, setiap kali para Ksatria hendak menunaikan tugas mulia atau sedang mencari jawaban atas permasalahan hidupnya, ketika mereka melintasi hutan belantara pasti akan mendapat hadangan dari hewan buas jadi-jadian dan para Buto atau raksasa penunggu hutan tersebut. Hutan belantara adalah simbol dari gelap dan ruwetnya alam pikiran manusia, dimana sering timbul godaan hawa nafsu yang disimbolkan hewan buas serta raksasa, yang akan menggagalkan niat-niat baik dalam diri manusia. Pemaknaan inilah yang menjiwai dari Upacara Mahesa Lawung yang digelar secara rutin oleh Kraton Kasunanan Surakarta. Upacara Mahesa Lawung diadakan 40 hari setelah Grebeg Maulud di sebuah hutan yang bernama Alas Krendhowahono. Hutan sebelah utara Kota Solo yang terletak di Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, ini dikenal oleh masyarakat sebagai tempat angker dengan mitos Bethari Durga sebagai penunggunya. Hutan Krendhowahono mempunyai sebuah petilasan yang penting yaitu Watu Gilang dimana Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegara sering bertemu ditempat itu untuk membicarakan strategi dalam menghadapi peperangan dengan pihak Belanda. Konon, menurut penuturan warga di sekitar hutan, Ir Soekarno presiden pertama Republik Indonesia sering menyepi dan bersemedi di hutan tersebut.
Upacara Mahesa Lawung merupakan upacara yang sudah turun-temurun yang muncul di lembaran sejarah tanah Jawa pada zaman Dinasti Syailendra-Sanjaya yang tampak dalam arca Durgamahesasuramandini. Dengan bergantinya era kerajaan Hindu-Budha menjadi Kerajaan Islam, maka Upacara Mahesa Lawung juga dikemas dengan doa-doa bernafaskan Islam. Upacara Mahesa Lawung diawali dengan menata semua sesaji dan perlengkapan upacara di Bangsal Sitihinggil Kraton Kasunanan Surakarta, lalu semua peserta upacara melakukan doa bersama di sana. Setelah itu rombongan menuju ke Hutan Krendhawahono untuk melanjutkan ritual yang menjadi puncak Upacara Mahesa Lawung. Sesampai di tengah hutan, sesaji diletakkan di puncak sebuah punden yang berada di bawah pohon beringin besar. Sesaji yang paling utama adalah potongan kepala kerbau yang dibungkus dalam kain kafan. Selain itu terdapat berbagai macam sesaji seperti aneka bunga, ayam ingkung, kelapa muda, serta aneka serangga, binatang melata dan binatang berbisa, yang sering disebut dengan "Sesaji Kutu-kutu Walang Atogo".
Asap kemenyan mulai menyebarkan wanginya keseluruh pelosok hutan dan doa-doa kembali dilantunkan. Pemimpin upacara mulai mendaraskan doa dan disambut peserta upacara dengan mengucapkan kata "rahayu". Satu persatu kerabat Kraton Kasunanan Surakarta naik ke atas punden untuk meyampaikan doa pribadi masing-masing. Beberapa Sentono dan Abdi dalem juga bergiliran untuk berdoa di atas punden. Setelah selesai upacara, kepala kerbau tersebut dikuburkan ditempat tersebut dan sesaji yang lain dibagi-bagikan kepada para peserta upacara.
Doa dalam Upacara Mahesa Lawung adalah doa-doa untuk memohon keselamatan kepada Tuhan agar dijauhkan dari mara bahaya dan bencana. Permohonan ini tidaklah sebatas kata, tapi dimaknai dengan keberanian untuk bersesaji atau berkorban. Upacara Mahesa Lawung adalah sebuah gambaran dari tekad untuk membunuh sifat-sifat "kerbau" dalam hati manusia dan menguburkannya dalam-dalam. Kerbau merupakan penggambaran dari sifat-sifat buruk manusia seperti kebodohan, kemalasan dan sikap acuh tak acuh terhadap sekitar. Dengan keberanian untuk mengorbankan sifat-sifat buruk tersebut, diharapkan muncullah hubungan baik dari segala unsur semesta ini, baik hubungan antara manusia dengan sesamanya, dengan alamnya, maupun dengan Tuhan Sang Penguasa alam ini, demi mewujudkan kehidupan yang lebih baik, sejahtera dan dijauhkan dari bencana. Salam Kratonpedia.
Kain kafan putih ini berisi sesaji berupa potongan kepala kerbau
Mimimpin Doa
Setelah upacara selesai, sesaji dibagi-bagikan
Siap menjaga kelancaran jalannya upacara
(teks dan foto : Stefanus Ajie/Kratonpedia)
Posting Komentar
Posting Komentar
- Tuangkan saran maupun kritik dan jangan meninggalkan Spam.
- Berkomentarlah dengan bijak sesuai dengan konten yang tersedia.
- Tidak Boleh Promosi