-->

Ads 720 x 90

Basukesti Wisuda

Kisah ini menceritakan kematian Prabu Basumurti setelah merusak pohon keramat Kayu Sriputa. Raden Basukesti lalu dilantik menjadi raja Wirata yang baru, membuat Prabu Hastimurti raja Gajahoya merasa kecewa. Kisah dilanjutkan dengan pernikahan kedua Prabu Basukesti dengan Dewi Sugandi untuk mendapatkan keturunan. Kisah ditutup dengan pertempuran antara Kerajaan Wirata melawan Kerajaan Duhyapura, di mana Prabu Dwapara raja Duhyapura kalah dan berlindung kepada Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.


Kediri, 21 Maret 2015

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------


PRABU BASUMURTI BERBURU DAN BERDERMA

Pada suatu hari Prabu Basumurti raja Wirata pergi berburu ke Hutan Pandeki, dengan didampingi Raden Basukesti, Raden Basunanda, dan Patih Jatikanda. Setelah puas mendapatkan banyak hewan buruan, mereka tidak langsung pulang ke istana, karena Prabu Basumurti berniat membagi-bagikan derma kepada masyarakat pedesaan.

Demikianlah, sesampainya di pedesaan, para prajurit membagi-bagikan uang dan makanan. Para penduduk pun berduyun-duyun memperebutkannya. Mereka rela berdesak-desakan demi mendapatkan sedekah pemberian Sang Prabu. Akan tetapi, ada seorang laki-laki yang tidak ikut memperebutkan sedekah, tetapi duduk diam menghadap sebatang pohon. Prabu Basumurti heran melihat orang itu dan segera mengutus Raden Basukesti untuk menanyainya.

Raden Basukesti mendekati orang itu dan bertanya kepadanya, mengapa tidak ikut menerima sedekah dari raja? Orang itu mengaku bernama Cantrik Janaloka dan pohon keramat yang ditungguinya bernama pohon Kayu Sriputa. Menurut keyakinan orang itu, arwah gurunya yang bernama Ajar Ariloka telah bersatu ke dalam pohon tersebut, sehingga menunggui pohon Kayu Sriputa baginya jauh lebih mulia daripada berbaris memperebutkan harta sedekah. Apalagi cara Prabu Basumurti membagi-bagikan sedekah terlihat sangat angkuh dan ingin dipuji, bukan dilandasi rasa tulus ikhlas dari hati.

PRABU BASUMURTI MENINGGAL DUNIA

Raden Basukesti lalu melapor kepada Prabu Basumurti tentang apa yang disampaikan Cantrik Janaloka. Prabu Basumurti sangat tersinggung melihat ada seorang warga desa yang lebih takut kepada pohon daripada raja. Ia lalu melemparkan Pedang Candrahasa (pusaka peninggalan Sri Maharaja Purwacandra) ke arah pohon Kayu Sriputa. Seketika pohon keramat itu pun terpotong menjadi dua dan roboh ke tanah. Akan tetapi, setelah mengambil kembali pusakanya, Prabu Basumurti merasa tidak enak badan dan segera mengajak para pengikutnya pulang.

Sesampainya di istana Wirata, keadaan Prabu Basumurti bertambah parah. Setelah dirawat beberapa hari, nyawanya justru tak tertolong lagi. Raja Wirata itu pun meninggal dunia.

Berita kematian Prabu Basumurti telah diterima oleh putra tunggalnya, yaitu Prabu Hastimurti di Kerajaan Gajahoya. Ia pun buru-buru pergi ke Wirata bersama istri dan iparnya, yaitu Dewi Basundari dan Patih Basundara, untuk menghadiri pemakaman sang ayah.

PRABU BASUKESTI MENJADI RAJA WIRATA

Setelah masa berkabung usai, para pembesar Kerajaan Wirata, antara lain Resi Brahmanaweda, Resi Brahmanakestu, Raden Basukesti, Raden Basunanda, Patih Jatikanda, dan Resi Wakiswara bermusyawarah. Mereka akhirnya sepakat menyerahkan takhta kepada Raden Basukesti, kecuali Raden Basunanda yang menyatakan Prabu Hastimurti lebih berhak atas takhta tersebut. Namun demikian, suara terbanyak tetap menghendaki Raden Basukesti sebagai raja Wirata, karena Prabu Hastimurti telah membangun kerajaan bernama Gajahoya dan hidup mandiri di sana.

Mendengar keputusan tersebut, Prabu Hastimurti sangat kecewa dan pulang tanpa pamit. Meskipun dulu ia pernah berkata kepada mendiang ayahnya tentang keinginannya untuk hidup mandiri dengan membangun kerajaan sendiri, namun dalam hati ia juga berharap bisa menjadi raja Wirata. Tak disangka, setelah sang ayah meninggal, takhta Kerajaan Wirata justru jatuh ke tangan pamannya.

Raden Basunanda yang tidak setuju dengan pengangkatan Raden Basukesti sebagai raja Wirata pun ikut pindah ke Kerajaan Gajahoya. Prabu Hastimurti menerima kedatangan mertua sekaligus pamannya itu dan mengangkatnya sebagai pandita kerajaan, bergelar Resi Basunanda.

Sementara itu, pada hari yang ditentukan, Raden Basukesti pun dilantik menjadi raja Wirata yang baru, bergelar Prabu Basukesti. Sebagai menteri utama tetap dijabat oleh Patih Jatikanda.

PRABU BASUKESTI MENIKAH LAGI

Pada suatu hari Cantrik Janaloka datang ke istana Wirata menghadap Prabu Basukesti. Ia mengabarkan bahwa setelah Kayu Sriputa ditebang oleh mendiang Prabu Basumurti, arwah Ajar Ariloka lalu berpindah ke dalam diri Prabu Basukesti. Untuk itu, Cantrik Janaloka memohon supaya diterima mengabdi di Kerajaan Wirata. Prabu Basukesti pun menjadikannya sebagai punggawa, bergelar Arya Jayaloka.

Pada suatu hari, Prabu Basukesti mengeluh kepada Arya Jayaloka bahwa sampai hari ini perkawinannya dengan Dewi Pancawati belum juga mendapatkan keturunan. Padahal, adiknya yaitu Raden Basunanda telah memiliki seorang cucu di Kerajaan Gajahoya. Prabu Basukesti meminta tolong kepada Arya Jayaloka bagaimana caranya agar bisa mendapatkan anak. Arya Jayaloka pun mohon pamit untuk pergi ke Gunung Mahendra, untuk meminta petunjuk kepada Begawan Rukmawati.

Begawan Rukmawati di Gunung Mahendra menyambut kedatangan Arya Jayaloka. Mengenai keinginan Prabu Basukesti untuk mendapatkan keturunan, Begawan Rukmawati menjelaskan bahwa Sang Prabu harus menikah lagi karena sang permaisuri Dewi Pancawati mandul. Mengenai siapa yang harus dinikahi sebagai istri kedua, Begawan Rukmawati menyarankan agar Prabu Basukesti meminang putri Resi Suganda di Padepokan Medangkawuri, yang bernama Endang Sugandi. Arya Jayaloka berterima kasih lalu mohon pamit kembali ke Kerajaan Wirata.

Sesampainya di istana, Arya Jayaloka segera menyampaikan petunjuk dari Begawan Rukmawati tersebut kepada Prabu Basukesti. Prabu Basukesti lalu merundingkan hal itu kepada Dewi Pancawati dan ia pun mendapatkan izin untuk menikah lagi.

Maka, Prabu Basukesti pun mengirim lamaran kepada Resi Suganda di Padepokan Medangkawuri. Resi Suganda menerima pinangan tersebut dengan suka cita, dan ini sesuai dengan ramalan Begawan Rukmawati dulu bahwa istrinya, yaitu Ken Raketan akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa. Ramalan itu kini menjadi kenyataan, karena Endang Sugandi akan diperistri oleh Prabu Basukesti, raja Wirata.

Singkat cerita, upacara pernikahan antara Prabu Basukesti dan Endang Sugandi telah dilaksanakan. Setahun kemudian, dari perkawinan itu lahir seorang bayi perempuan, yang diberi nama Dewi Basuwati. Nama tersebut diambil dari nama Begawan Rukmawati, yaitu sang petapa wanita yang telah memberikan petunjuk.

KERAJAAN WIRATA BERPERANG DENGAN KERAJAAN DUHYAPURA


Pada suatu hari Prabu Basukesti menerima laporan bahwa ada sejumlah kapal berbendera asing berlayar dari negeri seberang menuju Tanah Jawa. Sepertinya kapal-kapal tersebut membawa pasukan siap tempur. Prabu Basukesti marah dan segera memerintahkan Patih Jatikanda dan Arya Jayaloka untuk memimpin pasukan menghadapi serangan tersebut.

Pasukan dari tanah seberang itu telah tiba di pelabuhan Kerajaan Wirata. Rupanya mereka berasal dari Kerajaan Duhyapura di Tanah Hindustan, yang dipimpin oleh Prabu Dwapara dan Patih Durbara. Begitu mendarat, mereka segera memerintahkan penyerbuan. Sementara itu, pasukan Wirata yang dipimpin Patih Jatikanda dan Arya Jayaloka juga telah bersiaga untuk menghadapi serangan tersebut.

Maka, terjadilah pertempuran sengit di antara kedua pihak. Setelah lewat tengah hari, pasukan Duhyapura dapat dikalahkan. Patih Durbara tertangkap oleh Arya Jayaloka, sedangkan Prabu Dwapara melarikan diri.

Patih Jatikanda dan Arya Jayaloka lalu menghadapkan Patih Durbara kepada Prabu Basukesti. Prabu Basukesti pun menanyainya mengapa tiba-tiba Kerajaan Duhyapura datang menyerang Kerajaan Wirata. Patih Durbara pun bercerita bahwa rajanya yang bernama Prabu Dwapara masih keturunan Wirata, karena merupakan putra Dewi Kaniraras dari perkawinan kedua dengan Prabu Durapati.

Belasan tahun yang lalu Dewi Kaniraras putri sulung Prabu Parikenan dan Dewi Brahmaneki menjadi janda setelah ditinggal mati suami pertamanya, yaitu Empu Kanomayasa yang mengalami kecelakaan kerja. Dewi Kaniraras lalu menikah lagi dengan Prabu Durapati, dan selanjutnya diboyong ke Kerajaan Duhyapura di Tanah Hindustan. Dari perkawinan itu lahirlah seorang putra yang diberi nama Raden Dwapara. Pada saat putranya itu berusia lima belas tahun, Prabu Durapati meninggal dunia.

Raden Dwapara pun naik takhta dalam usia yang masih remaja menggantikan sang ayah, dengan bergelar Prabu Dwapara. Setahun kemudian Dewi Kaniraras meninggal pula dan ia sempat bercerita tentang tanah kelahirannya di Pulau Jawa. Menjelang kematiannya, Dewi Kaniraras berwasiat supaya Prabu Dwapara menyambung kekeluargaan dengan Kerajaan Wirata.

Akan tetapi, Prabu Dwapara yang masih muda belia itu memiliki pikiran yang mudah panas. Bukannya melaksanakan wasiat sang ibu, ia justru ingin menaklukkan Kerajaan Wirata dan menjadikan Tanah Jawa sebagai jajahan Kerajaan Duhyapura.

Demikianlah, Prabu Dwapara lalu memimpin pasukan untuk menyerang Kerajaan Wirata, namun pada akhirnya justru mengalami kekalahan. Entah bagaimana nasib Prabu Dwapara saat ini, tidak diketahui dengan pasti. Patih Durbara mengakhiri ceritanya dan ia siap menerima hukuman. Akan tetapi, Prabu Basukesti membebaskannya dan memberikan bekal secukupnya untuk perjalanan pulang kembali ke Kerajaan Duhyapura.

Patih Durbara sangat berterima kasih lalu mohon pamit kembali ke Tanah Hindustan dengan sisa-sisa pasukannya yang masih hidup.

PRABU DWAPARA MENGABDI KEPADA RESI MANUMANASA

Sementara itu, Prabu Dwapara yang meloloskan diri dari pertempuran tadi akhirnya tersesat sampai ke Gunung Saptaarga. Di gunung itu ia bertemu ketiga putra Resi Manumanasa yang telah tumbuh remaja, yaitu Bambang Satrukem, Bambang Sriati, dan Bambang Manumadewa. Terjadilah kesalahpahaman di antara mereka karena sikap Prabu Dwapara yang sombong, sehingga berlanjut dengan sebuah perkelahian.

Bambang Satrukem akhirnya bisa meringkus Prabu Dwapara dan menyerahkannya kepada sang ayah. Resi Manumanasa yang berpandangan tajam dapat mengetahui kalau raja Duhyapura ini masih keponakannya sendiri, yaitu putra Dewi Kaniraras dari perkawinan kedua dengan Prabu Durapati. Prabu Dwapara yang pada dasarnya ingin mencari perlindungan dari kejaran pasukan Wirata segera menyembah penuh hormat kepada pamannya tersebut. Ia lalu memohon supaya diizinkan tinggal di Padepokan Saptaarga.

Resi Manumanasa mengabulkan permintaan tersebut. Ia lalu mengangkat Prabu Dwapara sebagai murid, dengan nama baru, yaitu Wasi Dwapara.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


kembali ke : daftar isi





Semoga artikel Basukesti Wisuda bisa menambah wawasan bagi sobat mbudayajawa yang mampir kesini, kalau sobat mbudaya jawa mempunyai cerita tentang tradisi, kesenian, budaya yang terdapat di daerah sobat mbudayajawa bisa langsung di kirimkan ke mengenalbudayajawa@gmail.com

Jangan lupa klik tombol di bawah ini untuk share ke teman-teman dan bersama kita lestarikan budaya kita sendiri agar tidak hilang oleh jaman.

Related Posts

There is no other posts in this category.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter