Kisah ini menceritakan Prabu Basumurti membantu kakak sepupunya, yang bernama Raden Surata putra Prabu Oya sehingga bisa mendapatkan hak atas takhta Kerajaan Malawa. Kisah dilanjutkan dengan Raden Basukesti melakukan tapa rame dan juga pernikahan Raden Basusena putra Prabu Basumurti. Raden Basusena lalu dilantik menjadi raja Gajahoya, begelar Prabu Hastimurti. Dari tokoh inilah kelak lahir raja-raja Kerajaan Hastina.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 17 Maret 2015
Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------
PRABU BASUMURTI MENOLONG RADEN SURATA DARI MALAWA
Prabu Basumurti di Kerajaan Wirata dihadap Patih Jatikanda (ipar), Resi Wakiswara (paman istri), Raden Basunanda (adik), dan Raden Basusena (putra). Ketika mereka sedang membicarakan masalah pemerintahan, tiba-tiba datang Raden Basukesti yang disertai seorang laki-laki bernama Raden Surata. Pertama-tama Raden Basukesti meminta maaf karena dirinya datang terlambat dalam menghadiri pertemuan. Ini karena di rumahnya tiba-tiba datang seorang tamu bernama Raden Surata tersebut, yang mengaku berasal dari Kerajaan Malawa di Tanah Hindustan, dan masih cucu mendiang Prabu Sri Mahapunggung raja Purwacarita terdahulu.
Prabu Basumurti merasa ragu, mengapa Prabu Sri Mahapunggung bisa memiliki cucu yang tinggal di Tanah Hindustan? Ditambah lagi penampilan Raden Surata yang compang-camping, membuat Prabu Basumurti merasa ragu. Raden Surata pun bercerita bahwa ia adalah putra Prabu Oya, sedangkan Prabu Oya adalah putra Prabu Sri Mahapunggung yang pada saat dilahirkan berwujud seekor gajah putih.
Prabu Basumurti seketika teringat mendiang ayahnya (Prabu Basupati) pernah bercerita tentang sepupunya, yaitu putra Prabu Sri Mahapunggung yang berwujud gajah putih dan diasuh oleh Begawan Rukmawati di Gunung Mahendra. Gajah putih itu kemudian bertapa di Bukit Oya sehingga dikenal dengan sebutan Gajah Oya. Pada suatu hari Prabu Basupati saat masih muda dan bernama Raden Brahmaneka pernah berselisih dengan Gajah Oya karena melindungi seorang bidadari, bernama Batari Indradi. Tanpa sengaja, Raden Brahmaneka menemukan sebatang anak panah dan melemparkannya ke arah Gajah Oya. Secara ajaib, Gajah Oya berubah wujud menjadi laki-laki tampan namun tubuhnya terlempar entah ke mana. Raden Brahmaneka lalu menikahi Batari Indradi, yang kemudian dari perkawinan itu lahirlah Prabu Basumurti.
Raden Surata menyambung cerita Prabu Basumurti tersebut, bahwa Gajah Oya setelah teruwat menjadi manusia lalu bertemu Prabu Aywana raja Malawa yang datang ke Tanah Jawa bersama putrinya, bernama Dewi Hoyi. Gajah Oya lalu diganti namanya menjadi Raden Oya dan dinikahkan dengan Dewi Hoyi tersebut. Mereka hidup berumah tangga di Kerajaan Malawa, dan dari perkawinan itu lahirlah Raden Surata.
Setelah Prabu Aywana meninggal, takhta Kerajaan Malawa diserahkan kepada Raden Oya, yang bergelar Prabu Oya. Beberapa tahun kemudian, Prabu Oya dan Dewi Hoyi meninggal bersamaan. Takhta Kerajaan Malawa harusnya diwarisi oleh Raden Surata selaku putra tunggal mereka, tetapi hal itu ditentang oleh Patih Pratana yang mengatakan bahwa Raden Surata tidak berhak menjadi raja. Alasannya ialah Prabu Oya merupakan pendatang dari Jawa, sehingga bisa menjadi raja Malawa hanya karena mewakili istrinya. Setelah Dewi Hoyi dan Prabu Oya meninggal, maka Raden Surata yang berdarah campuran itu tidak berhak duduk di atas takhta Kerajaan Malawa.
Patih Pratana sangat pandai menghasut rakyat Malawa, sehingga dirinya bisa merebut takhta kerajaan dan bergelar Prabu Pratana. Tidak hanya itu, Prabu Pratana juga berusaha membunuh Raden Surata dan istrinya yang bernama Dewi Sarati. Merasa dalam bahaya, Raden Surata pun Dewi Sarati mengungsi ke Kerajaan Timpuru, yaitu negeri kelahiran istrinya itu. Dewi Sarati sendiri sedang mengandung dan sangat tertekan perasaannya. Sesampainya di Kerajaan Timpuru, ia pun meninggal dunia setelah melahirkan seorang putra, yang diberi nama Raden Asrama.
Prabu Rasika raja Timpuru sangat marah bercampur sedih atas apa yang telah dialami anak dan menantunya. Ia pun memimpin pasukan dengan didampingi Patih Reksaka, menyerang Kerajaan Malawa untuk menuntut hak Raden Surata. Akan tetapi, pihak lawan terlalu kuat sehingga Prabu Rasika dan Patih Reksaka dapat dipukul mundur dan pulang membawa kekalahan. Prabu Rasika lalu menyarankan supaya Raden Surata meminta bantuan kepada sepupunya yang saat ini menjadi penguasa tunggal di Tanah Jawa, bernama Prabu Basumurti raja Wirata. Prabu Rasika menjelaskan bahwa Raden Surata adalah cucu Prabu Sri Mahapunggung, sedangkan Prabu Basumurti adalah cucu Prabu Basurata. Adapun Prabu Sri Mahapunggung dan Prabu Basurata adalah sama-sama putra Batara Wisnu.
Prabu Basumurti sangat terharu mendengar kisah menyedihkan yang dialami Raden Surata. Ia pun memanggil Raden Surata dengan sebutan “kakak” dan menjamunya dengan penuh penghormatan di istana Wirata. Jika dulu Raden Brahmaneka dan Gajah Oya pernah berselisih, maka tiba saatnya kini anak-anak mereka memperbaiki hubungan dan saling mempererat persaudaraan.
Prabu Basumurti lalu memerintahkan Raden Basukesti dan Raden Basunanda untuk memimpin pasukan Wirata, membantu Raden Surata mendapatkan kembali haknya atas takhta Kerajaan Malawa.
PASUKAN WIRATA MENGALAHKAN KERAJAAN MALAWA
Raden Basukesti dan Raden Basunanda memimpin pasukan Wirata berlayar menuju Tanah Hindustan dengan Raden Surata sebagai penunjuk jalan. Sesampainya di sana, Prabu Rasika dan pasukan Timpuru menggabungkan diri untuk kemudian bersama-sama menyerang Kerajaan Malawa.
Prabu Pratana memimpin pasukan Malawa menghadapi serangan gabungan tersebut. Perang besar pun terjadi. Setelah bertempur seharian, Raden Basukesti akhirnya berhasil menangkap Prabu Pratana.
Para penghuni istana Kerajaan Malawa ternyata tidak semuanya mendukung kepemimpinan Prabu Pratana. Ada sebagian di antara mereka bahkan memiliki bukti bahwa kematian Prabu Oya dan Dewi Hoyi secara bersamaan adalah karena diracun oleh Prabu Pratana yang kala itu menjabat sebagai patih.
Kini, para pembesar Kerajaan Malawa sepakat menyerahkan takhta kepada Raden Surata selaku putra tunggal Prabu Oya dan Dewi Hoyi. Setelah dilantik, Raden Surata pun bergelar Prabu Surata. Ia memimpin persidangan yang akhirnya menjatuhkan hukuman mati kepada Prabu Pratana.
RADEN BASUKESTI MENJALANI TAPA RAME
Prabu Surata sangat berterima kasih kepada kedua sepupunya, yaitu Raden Basukesti dan Raden Basunanda yang telah membantunya mendapatkan kembali hak atas takhta Kerajaan Malawa. Setelah mendapatkan perjamuan dan berbagai macam hadiah, Raden Basukesti dan Raden Basunanda pun mohon pamit kembali ke Kerajaan Wirata bersama pasukan mereka.
Dalam perjalanan pulang, Raden Basukesti sering melamun memikirkan cincin permata Manikwara yang dulu diterimanya dari Batara Mahadewa. Konon, dengan memilliki cincin tersebut, Raden Basukesti dapat menjadi raja Wirata. Tentu saja hal ini membuatnya bingung. Bagaimana mungkin ia bisa menjadi raja, padahal Prabu Basumurti telah memiliki seorang putra sebagai ahli waris, yaitu Raden Basusena? Raden Basukesti lama-lama khawatir jika terlalu memikirkan takhta Kerajaan Wirata, bisa-bisa dirinya akan memberontak seperti yang telah dilakukan Patih Pratana di Kerajaan Malawa.
Karena takut hatinya tergoda untuk memberontak, maka begitu sampai di Pulau Jawa, Raden Basukesti tidak langsung pulang ke Wirata, tetapi memisahkan diri dari rombongan dengan ditemani dua abdi kesayangannya saja, yaitu Indu dan Sindu. Mereka bertiga lalu menyamar menjadi pengembara, sedangkan Raden Basunanda memimpin rombongan kembali ke Wirata untuk melaporkan kemenangan kepada Prabu Basumurti.
Raden Basukesti yang menyamar sebagai pengembara itu lalu menjalani tapa rame untuk mengumpulkan kebaikan dan mengusir pikiran jahat. Tapa rame adalah kegiatan memberikan pertolongan kepada siapa saja yang sedang membutuhkan bantuan. Tidak hanya menolong orang yang masih hidup, Raden Basukesti dan kedua abdinya juga menguburkan mayat yang mereka temui di jalanan. Bahkan, mereka bertiga tidak hanya menguburkan mayat manusia, tapi juga bangkai-bangkai binatang, serta membersihkan segala sampah yang mereka temukan.
Setelah satu tahun lamanya berkelana, pada suatu hari Raden Basukesti bertemu Patih Jatikanda di jalan yang mengaku diutus Prabu Basumurti untuk mencari dan menjemputnya pulang. Patih Jatikanda menjelaskan bahwa Prabu Basumurti hendak berbesan dengan Raden Basunanda, yaitu melalui pernikahan antara Raden Basusena dengan Dewi Basundari. Karena upacara perkawinan mereka akan segera diselenggarakan tidak lama lagi, maka Prabu Basumurti pun mengutus Patih Jatikanda untuk mencari Raden Basukesti dan membawanya pulang ke Wirata. Patih Jatikanda mengaku telah mencari Raden Basukesti ke mana-mana hingga akhirnya bisa bertemu di tempat ini.
Raden Basukesti sangat gembira mendengar berita tersebut. Ia pun bergegas pulang bersama Patih Jatikanda ke Kerajaan Wirata untuk menyaksikan pernikahan antara kedua keponakannya tersebut.
PERNIKAHAN RADEN BASUSENA DAN DEWI BASUNDARI
Raden Basusena adalah putra tunggal Prabu Basumurti dengan Dewi Jatiswara (kakak perempuan Patih Jatikanda), sedangkan Dewi Basundari dan adiknya yang bernama Raden Basundara adalah anak Raden Basunanda dengan Dewi Sukawati. Sementara itu, perkawinan Raden Basukesti dan Dewi Pancawati sampai saat ini belum juga dikaruniai seorang pun anak.
Pada hari yang telah ditentukan, dilaksanakanlah upacara pernikahan antara Raden Basusena dengan Dewi Basundari tersebut. Kedua mempelai duduk di pelaminan, di atas pangkuan Raden Basukesti yang menganggap mereka seperti anak sendiri.
RADEN BASUSENA MENDIRIKAN KERAJAAN GAJAHOYA
Pada suatu hari, Raden Basusena berkata kepada ayahnya bahwa ia ingin hidup mandiri seperti pamannya, yaitu Resi Manumanasa yang membangun Padepokan Ratawu di Gunung Saptaarga, ataupun Resi Manonbawa dan Arya Paridarma yang membuka Pedukuhan Gandara. Untuk itu, Raden Basusena pun meminta sebidang tanah kepada sang ayah untuk membangun tempat tinggal sendiri.
Prabu Basumurti merasa senang mendengar keinginan putranya untuk hidup mandiri. Ia pun bercerita bahwa di Desa Wahita terdapat sembilan buah rumah berjajar indah menghadap sebuah telaga jernih yang dulu dibangun oleh Gajah Oya, atas permintaan Dewi Indradi. Karena Raden Basusena adalah cucu Dewi Indradi, maka ia pun berhak mewarisi kesembilan rumah indah tersebut.
Raden Basusena sangat senang dan berterima kasih kepada Prabu Basumurti. Ia lalu mohon pamit berangkat dengan ditemani Dewi Basundari dan Raden Basundara untuk pergi ke Desa Wahita di mana sembilan rumah indah berdiri di sana.
Beberapa bulan kemudian, Raden Basusena telah selesai membangun sebuah istana megah dengan cara menyatukan kesembilan rumah indah tersebut. Bersamaan dengan itu, istrinya juga melahirkan seorang putra. Prabu Basumurti dan Dewi Jatiswara serta Raden Basunanda dan Dewi Sukawati datang berkunjung dan memberi nama cucu mereka itu, Raden Wasanta.
Prabu Basumurti sangat senang melihat istana yang dibangun putranya tersebut, dan mengizinkan Raden Basusena menjadi raja di sana. Karena istana itu dibangun dengan cara menyatukan kesembilan rumah yang dulu didirikan oleh Gajah Oya, maka negeri baru tersebut pun diberi nama Kerajaan Gajahoya.
Raden Basusena dilantik menjadi raja Gajahoya bawahan Wirata dengan memakai gelar Prabu Hastimurti, sedangkan menteri utama dijabat oleh adik iparnya, bergelar Patih Basundara.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
kembali ke : daftar isi
Posting Komentar
Posting Komentar
- Tuangkan saran maupun kritik dan jangan meninggalkan Spam.
- Berkomentarlah dengan bijak sesuai dengan konten yang tersedia.
- Tidak Boleh Promosi