-->

Ads 720 x 90

TRADISI TAWUR DI DESA BONGAS MAJALENGKA

TRADISI TAWUR DI DESA BONGAS MAJALENGKA
Oleh : Siti Mugi Rahayu

Mudik adalah saat di mana semua perasaan rindu akan meruah jadi bahagia


Lebaran ini saya tidak mudik sebelum hari raya melainkan malam lebaran pertama. Berhubung jadwal Lebaran sekarang adalah berkumpul di rumah orang tua saya di Bogor, maka mudik ke Majalengkanya harus diundur. Setelah berdiskusi mengenai waktu keberangkatan, akhirnya kami putuskan untuk berangkat dini hari.
Pukul 03.00 pagi, dengan sisa kantuk yang masih menggelayut, mobil berangkat dari Bekasi menuju Desa Bongas Kulon Majalengka. Benar saja, jalanan memang sepi. Kami mengambil jalan via Sadang, Majelangka, Jatiwangi seperti biasa. Pukul 08.00 pagi sudah sampai rumah buyut. Wiih.. Cuma 5 jam plus dua kali istirahat. Jadi teringat lebaran lima tahun lalu, kami menghabiskan waktu seharian di jalanan. Pergi sehabis sahur dan sampai ketika bedug maghrib. Sungguh pengalaman mudik yang melelahkan, tapi banyak orang yang bilang, “kalau mudik ga macet, ga seru...”.

Tahun kemarin, hari pertama lebaran di kampung, suasana begitu meriah. Berkeliling kampung bersilaturahmi kepada sanak saudara, dan pada para orang tua yang masih ada. Sepertinya tahun inipun tetap sama. Lebaran selalu meriah di manapun.

Biasanya, sore harinya, giliran berziarah ke kubur kakek nenek. Terus terang, saya selalu merasa amazing kalau ziarah ke komplek pemakanan-pemakaman di daerah sini. Pemandangan yang berbeda dengan di Bogor, kampung halaman saya.

Setiap lebaran hari pertama sampai kurang lebih hari ke empat, di mana orang-orang masih ramai berziarah, saya menemukan banyak sekali anak-anak dan orang dewasa, bahkan orang tua, baik laki-laki ataupun perempuan di sekitar pemakaman. Jumlahnya bisa sampai seratus orang. Wow. Mereka duduk-duduk di atas makam. Awalnya saya mengira mereka juga peziarah sama seperti saya. Ternyata, bukan.

Jadi, di sini rupanya ada budaya tawur. Bukan tawuran. Tawur ini kalau dalam bahasa Bogor mungkin nyawer. Para peziarah selalu menyempatkan diri membawa koin-koin recehan semua nominal. Ada seratus rupiah, dua ratus rupiah, lima ratus rupiah, bahkan seribu rupiah.
Selesai berziarah, para peziarah ini memanggil kumpulan anak-anak tadi menuju ke arahnya. Sontak saja, puluhan anak-anak kecil tersebut berlarian melewati makam, tak peduli menginjak-injak nisan, menuju panggilan peziarah.

Suasana jadi riuh ketika peziarah melemparkan uang recehan. Wuih, anak-anak dan orang tua berebut tak kenal usia. Mereka mengumpulkan koin demi koin yang dilempar dengan penuh antusias. “Di dieu bu, di dieu…” seru mereka (di sini bu.. di sini). Tabrak kiri kanan. Bahkan ada yang saling berbenturan kepala satu dengan yang lain.

Hmmm… pantas penampilan pengumpul koin tawur ini begitu kumuh. Mereka bergelut mengumpulkan recehan dari pagi hingga petang di areal pemakaman yang kering kerontang dan padat. Menginjak-injak makam yang lain hingga batu batanya terlepas. Jumlah mereka banyak karena memang jumlah peziarahpun melimpah di musim ziarah ini. Jika saja ada lima peziarah dalam waktu bersamaan dan jumlah pengumpul koin dua puluh orang per makam maka orang-orang yang tersebut bisa sampai seratus orang.
Mereka berlari dari makam di sebelah utara ke selatan lalu ke timur dan seterusnya.





Terus terang saya agak keberatan dengan budaya yang satu ini. Bisa dibayangkan, kebiasaan ini menimbulkan sikap mengemis yang luar biasa. Bedanya dengan pengemis jalanan adalah mereka harus agak berjuang berebut uang recehan. Tidak ada baiknya sama sekali. Mereka berharap banyak dari para peziarah tanpa harus bekerja. Pengemis musiman ini bahkan merusak makam-makam yang ada karena injakannya.

Sebuah potret yang hanya menunjukkan kemiskinan warga sekitar pemakaman. Tidak ada penjual bunga, pedagang makanan, atau minuman. Hanya para pencari koin yang memadati makam. Padahal, padatnya peziarah kubur bisa diakali dengan membuka kios bunga atau warung minuman ringan sebagai bentuk bisnis yang lebih baik.Kalau saja warga bisa memberikan pendidikan yang lebih baik, sebaiknya mulai menghentikan budaya tawur ini.
Lebaran hari kedua kali inipun sama. Budaya tawur masih ada dan seperti biasa, menginjak-injak makam orang lain demi recehan. Angga, seorang anak yang sempat saya tanya tentang jumlah penghasilan dalam sehari ketika lebaran menjawab,” kadang-kadang dapet dua puluh ribu, kadang lebih”. Hmm... bisa lebih loh. Kalau orang yang datang berziarah memakai mobil konon jumlah recehan yang dilemparpun lebih banyak.



Seorang anak menangis karena terinjak-injak rekannya. Tulang-tulang mungilnya membentur batu-batu tua pemakaman. Sementara teman-temannya tak peduli karena uang yang digaur terlalu banyak yang meminati. Orang-orang tuapun terlihat antusias dalam gerombolan bocah pemungut receh.

Budaya ini masih terus ada hingga sekarang karena memang masyarakat sekitar masih menganggap kegiatan ini perlu dan tidak masalah. Sebagian menganggap berbagi receh adalah sedekah dan membuat senang anak-anak dan warga sekitar. Hmmm... mungkin inilah warna kampung sini ya?
Hari ketiga mudik, jadwalnya pulang kota. Biar tidak kena macet arus balik bagaimana? Akhirnya, diputuskan kembali untuk pulang ke Bekasi dengan waktu yang kurang lebih sama, dini hari. Walhasil, pukul 04.00 dengan suasana ngantuk yang lebih terasa berat karena siang tadi habis berwisata alam, kami berangkat ke Bekasi. Tahu tidak, sampai di Bekasi pukul 8 pagi. Hmmm... alhamdulillah banget ya.

@bongas kulon - majalengka

Semoga artikel TRADISI TAWUR DI DESA BONGAS MAJALENGKA bisa menambah wawasan bagi sobat mbudayajawa yang mampir kesini, kalau sobat mbudaya jawa mempunyai cerita tentang tradisi, kesenian, budaya yang terdapat di daerah sobat mbudayajawa bisa langsung di kirimkan ke mengenalbudayajawa@gmail.com

Jangan lupa klik tombol di bawah ini untuk share ke teman-teman dan bersama kita lestarikan budaya kita sendiri agar tidak hilang oleh jaman.

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter