Upacara Ngabekten adalah upacara yang dilaksanakan setiap bulan Syawal di keraton Yogyakarta. Upacara Ngabekten sungkeman ini terdiri dari dua bagian yang terpisah yang diperuntukkan untuk abdi dalem kakung atau abdi dalem laki-laki dan untuk abdi dalem perempuan atau abdi dalem putri. Para peserta upacara terdiri dari keluarga sang patriarch Jawa, Hamengku Buwono ke-10 sendiri, abdi dalem keraton, para pejabat „masyarakat“ seperti para bupati dan para walikota beserta istri-istri yang bersangkutan.
Salah seorang wartawan* yang memberitakan mengenai jalannya upacara ini, menyatakan bahwa upacara ini adalah sesuatu yang „sakral“. Hal ini tersirat lewat judul artikel yang ditulisnya „Upacara Ngabekten dilaksanakan dengan sakral“. Tidaklah keliru ketika wartawan tersebut menyatakan bahwa upacara tersebut adalah „sakral“. „Kesakralan“ ini tersirat lewat jalannya upacara itu sendiri. Heningnya upacara dengan tidak adanya gending Jawa yang dimainkan, laku dhodok (berjalan jongkok dengan cara beringsut), upacara yang dilaksanakan dengan perlahan adalah termasuk simbolisasi dari „kesakralan“ ini.
„Sakral“ tentu saja adalah sesuatu yang
nisbi, sesuatu yang relatif. Hal yang sakral bagi suatu kelompok orang
atau dalam suatu kebudayaan, belum tentu merupakan hal yang „sakral“
bagi kelompok orang atau kebudayaan yang lain. Dalam hal ini, upacara
ngabekten adalah „sakral“ bagi sang patriarch Jawa, bagi para abdi dalem baik perempuan maupun laki-laki, dan bagi masyarakat Jawa pada umumnya. Hari Raya Nyepi misalnya, adalah sesuatu yang „sakral“ bagi kelompok budaya yang sering disebut sebagai Hindu Bali atau Hindu versi masyarakat Bali. Demikian pula halnya dengan upacara-upacara, ritus-ritus ataupun prosesi-prosesi yang berkenaan dengan kelompok masyarakat atau satuan kebudayaan lainnya.
Sakral adalah kata sifat yang merupakan peng-Indonesia-an dari kata yang berasal dari bahasa Belanda yaitu „sacrale“. Kata „sacrale“ ini sendiri berasal dari kata dalam bahasa Latin „sacer“
yang berarti „suci“ atau „untuk tujuan-tujuan keagamaan“. Jadi, upacara
ini adalah „sakral“ atau „suci“ atau „untuk tujuan keagamaan“ daripada
masyarakat Jawa. Oleh karenanya, bagi masyarakat Jawa pada umumnya, bagi
para pelaku upacara serta bagi Hamengku Buwono sendiri, upacara menyembah raja jawa atau sang patriarch jawa dengan jalan „laku dhodok“ ini adalah „sakral“, „suci“ atau sesuatu yang penting „untuk tujuan keagamaan“.
Jika benar demikian, apakah sebenarnya
yang disucikan atau agama daripada masyarakat Jawa itu? Jika kita telaah
lebih lanjut, sang patriarch Jawa, yang sering dipanggil „Sri Sultan“ Hamengku Buwono X, atau „Sultan“ Hamengku Buwono X
saja, adalah pusat daripada seluruh upacara ini. Dengan demikian,
dialah yang sebenarnya mewakili apa yang „disucikan“ atau penting „untuk
tujuan keagamaan“ itu. Seluruh tahapan dalam upacara ini melambangkan
konsep „kesucian“ dan „keagamaan“ dalam masyarakat Jawa, dengan sang
Sultan atau sang patriarch Jawa sebagai pusat dan perlambang daripada
„kesucian“, „sesuatu yang disucikan“ atau „keagamaan“ itu.
Pertanyaan mengenai apakah sebenarnya agama atau roh yang menjiwai masyarakat Jawa tersebut bisa dipahami dari „sakralnya“ jalannya upacara yang terdiri dari laku dhodhok dan mencium lutut sang patriarch tertinggi
dalam masyarakat Jawa yang dikenal sebagai „Sri Sultan“ Hamengku Buwono
X ini. Dari tata cara upacara, sebenarnya telah jelas sekali apa
„agama“ atau „yang disucikan“ oleh masyarakat Jawa itu. Sesuatu yang
„disucikan“ oleh masyarakat Jawa itu bernama kekuasaan, karena “sang Sultan” adalah sang patriarch tertinggi atau pemegang kekuasaan tertinggi pada masyarakat Jawa. Seluruh tahapan dalam upacara Ngabekten sungkeman melambangkan pernyataan ketertundukan atas kekuasaan sang patriarch Jawa
terhadap seluruh peserta upacara ini. Upacara ini juga melambangkan
pemujaan dari sang patriarch Jawa sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
dalam keluarga (baca: keluarga patriarkal), di dalam keraton dan di dalam masyarakat.
Kekuasaan serta ritual penyembahan sang patriarch Jawa adalah inti daripada agama atau sesuatu yang disucikan oleh masyarakat Jawa. Agama masyarakat Jawa ini berasal dari pandangan hidup Hindu dari daerah yang disebut India sekarang ini yang juga memberlakukan hal yang sama terhadap para raja-rajanya. Agama kekuasaan ini juga pernah berlaku di masa Mesir Kuno di mana para Fir’aun (para patriarch Mesir Kuno) disembah sebagai „Tuhan“, „seseorang yang suci“, „seseorang yang berasal dari langit“ ataupun „seseorang yang mempunyai kekuatan langit“.
Hal yang sama juga berlaku di belahan dunia lainnya yang berpahamkan
atau beragamakan kekuasaan seperti pada kekaisaran Romaw,
kerajaan-kerajaan Eropa ataupun kekaisaran Cina.
Pengaruh Islam atas kerajaan atau wilayah kekuasaan daripada sang patriarch Jawa, Hamengku Buwono ke-10 ini boleh dikatakan tidak menyentuh hal-hal yang hakiki dari ajaran Islam itu sendiri. Dengan kata lain, paham ke-Islam-an daripada sang patriarch Jawa ini hanyalah terbatas pada hal-hal luar saja seperti dipakainya gelar Sultan, diadakannya upacara penyembahan sang patriarch
pada saat perayaan keagamaan daripada umat Islam dan lain sebagainya.
Hal ini menjelaskan mengapa sampai kini masih ada ungkapan mengenai
„standar yang berbeda“ daripada „agama Islam“ atau paham ke-Islam-an daripada masyarakat Jawa.
Posting Komentar
Posting Komentar
- Tuangkan saran maupun kritik dan jangan meninggalkan Spam.
- Berkomentarlah dengan bijak sesuai dengan konten yang tersedia.
- Tidak Boleh Promosi