Bulan Syura punya makna 
yang sangat berarti bagi sebagian orang jawa. Salah satu tradisi yang kerap 
dilakukan di bulan Muharram ini adalah memandikan pusaka. Sebab bagi pandangan 
sebagian wong Jowo, benda-benda pun dianggap memiliki jiwa. Oleh karena itu, 
benda-benda itu harus diperlakukan istimewa yang nyaris sama seperti manusia itu 
sendiri. Karena itu benda-benda milik Keraton Yogyakarta seperti kereta, 
gamelan, maupun pusaka, semuanya memiliki nama seperti manusia. Ada Kiai 
Sangkelat, Kiai Nagasasra (keris), Kiai Guntur Madu (gamelan), ada pula Kanjeng 
Nyai Jimat dan Kyai Puspakamanik (kereta).
Di Keraton Yogyakarta, 
benda-benda itu selalu dicuci yang diistilahkan dengan nama ”dijamasi” pada 
bulan Sura (Muharam) dan selalu pada hari istimewa Jumat Kliwon atau Selasa 
Kliwon. Cara jamasan itu sendiri juga khas. Semua yang terlibat dalam ritual itu 
harus mengenakan pakaian adat Jawa peranakan. Mereka, semuanya laki-laki, 
mengenakan kain panjang, surjan, dan penutup kepala 
blangkon.
Seperti pada satu sura 
kali ini sebuah kereta dijamasi. Kereta ini dibuat pada tahun 1750-an, semasa 
pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, diberi nama Kanjeng Nyai Jimat. Kereta 
itu menjadi tunggangan Sultan Hamengku Buwono I – III. Kereta itulah yang setiap 
bulan Sura selalu dijamasi karena dianggap sebagai kereta cikal-bakal kereta 
lainnya. Kereta ini berbentuk anggun, bergaya kereta kerajaan-kerajaan Eropa, 
beroda empat, dua buah yang besar di belakang, dan dua buah di depan agak kecil, 
diperkirakan ditarik oleh enam sampai delapan kuda. Sebuah simbol kewibawaan 
seorang raja. Kereta yang penuh ukiran itu sendiri memiliki pintu dan atap 
sehingga mirip mobil.
 Kereta itu tersimpan 
di dalam Museum Kereta Keraton Yogyakarta. Di sana ada sekitar selusin kereta 
yang sebagian besar masih bisa digunakan. Setiap Kanjeng Nyai Jimat dijamasi, 
”ia” selalu ditemani oleh salah sebuah kereta lain yang dipilih secara 
bergantian setiap tahunnya.
Kereta itu tersimpan 
di dalam Museum Kereta Keraton Yogyakarta. Di sana ada sekitar selusin kereta 
yang sebagian besar masih bisa digunakan. Setiap Kanjeng Nyai Jimat dijamasi, 
”ia” selalu ditemani oleh salah sebuah kereta lain yang dipilih secara 
bergantian setiap tahunnya.
Setelah itu giliran Kyai Puspakamanik, sebuah kereta 
hadiah dari Kerajaan Belanda yang dibuat pada tahun 1901. Kereta itu menjadi 
tumpangan para pangeran pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII. Jamasan 
dipimpin oleh Kanjeng Raden Tumenggung Kudadiningrat, seorang pejabat keraton 
yang khusus menangani masalah perawatan kereta.
Ketika proses pencucian 
kereta memiliki nilai ritual magis religius. Ratusan orang yang menyaksikan 
jamasan itu berebut bekas air cucian kereta dengan cara menampung aliran air 
dari badan kereta. Air bekas cucian itu dimasukkan ke dalam botol bekas air 
kemasan maupun jerigen. Tak ayal l agi, masyarakat yang berebut air itu pun 
menjadi ikut berbasah-basah. Air bekas cucian ini dipercaya, semua benda dari 
keraton itu memiliki tuah yang sakti sebab benda-benda ini adalah milik orang 
sakti. Oleh karena itu dengan membawa air ini, masyarakat berharap, keluarganya 
menjadi sakti. Artinya, sehat wal afiat.
agi, masyarakat yang berebut air itu pun 
menjadi ikut berbasah-basah. Air bekas cucian ini dipercaya, semua benda dari 
keraton itu memiliki tuah yang sakti sebab benda-benda ini adalah milik orang 
sakti. Oleh karena itu dengan membawa air ini, masyarakat berharap, keluarganya 
menjadi sakti. Artinya, sehat wal afiat.
Sebenarnya, di samping jamasan kereta, di dalam keraton 
juga ada jamasan pusaka. Akan tetapi, jamasan 
pusaka itu tidak boleh dilihat oleh umum. Misteri jamasan pusaka itu sendiri 
akhirnya memang tinggal misteri yang dipelihara turun-temurun. Semisteri pusaka 
yang dipercayai memiliki kekuatan supra natural itu 
sendiri.
 agi, masyarakat yang berebut air itu pun 
menjadi ikut berbasah-basah. Air bekas cucian ini dipercaya, semua benda dari 
keraton itu memiliki tuah yang sakti sebab benda-benda ini adalah milik orang 
sakti. Oleh karena itu dengan membawa air ini, masyarakat berharap, keluarganya 
menjadi sakti. Artinya, sehat wal afiat.
agi, masyarakat yang berebut air itu pun 
menjadi ikut berbasah-basah. Air bekas cucian ini dipercaya, semua benda dari 
keraton itu memiliki tuah yang sakti sebab benda-benda ini adalah milik orang 
sakti. Oleh karena itu dengan membawa air ini, masyarakat berharap, keluarganya 
menjadi sakti. Artinya, sehat wal afiat.
Sumber :



 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Posting Komentar
Posting Komentar
- Tuangkan saran maupun kritik dan jangan meninggalkan Spam.
- Berkomentarlah dengan bijak sesuai dengan konten yang tersedia.
- Tidak Boleh Promosi