Kota-kota besar bisa memberi kemakmuran materi, tapi tak ada yang menjanjikan rasa damai seperti dalam sebuah kenduri. Inilah sebabnya, negeri kita sekarang terasa gersang, keras, dan agresif.
Kenduri atau kenduren/selametan adalah
tradisi yang sudah turun temurun dari jaman dahulu, yaitu do’a bersama yang di
hadiri para tetangga dan di pimpin oleh pemuka adat atau yang dituakan di
setiap lingkungan, dan yang di sajikan berupa tumpeng, lengkap dengan lauk
pauknya. Tumpeng dan lauknya nantinya di bagi-bagikan kepada yang hadir yang di
sebut carikan ada juga yang menyebut dengan berkat.
Kenduri demi kenduri, di mana para di desa berkumpul,
untuk mengaminkan —memperkuat dengan dukungan doa— segenap cita-cita tetangga,
yang kita anggap cita-cita “kita” juga karena tetangga bukan “mereka”,
melainkan “kita”.
Dalam kenduri tiap orang menjadi “kita”. Kepala desa,
siapa pun dia, apa pun agama dan aliran politiknya, dia itu “kita”. Dan karena
itu maka dia wajib didukung, kelemahannya ditutup, kekurangannya ditambah,
aibnya jangan dibeberkan ke mana-mana karena bukankah aib kepala desa juga aib
“kita”.
Pada dasarnya pesan yang tersirat dalam tiap jenis
kenduri di desa adalah mengkukuhkan makna kekitaan “kita”. Kesatuan sikap dan
cita-cita bersama diteguhkan kembali. Dan bila ada —memang ada saja— keretakan
kecil antara hati dengan hati, maka melalui kenduri persatuan diperketat.
Dengan suapan nasi, bunyi dan isi doa, dan dengan salaman tangan yang tulus,
yang retak itu ditambal dan menjadi utuh kembali.
Kenduri merupakan mekanisme sosial untuk merawat
keutuhan, dengan cara memulihkan keretakan, dan meneguhkan kembali cita-cita
bersama, sekaligus melakukan kontrol sosial atas penyimpangan dari cita-cita
bersama tadi. Kenduri sebagai suatu institusi sosial menampung dan
merepresentasikan banyak kepentingan. Dan tiap “kita”, di sana, menemukan rasa
aman. Dalam kenduri tak ada pihak yang kalah atau dikalahkan. Di sana semua
pihak terhormat. Tiap orang menang, dan bahagia!!.
Manifestasi di lapangan
Tujuan dari kenduren itu sendiri adalah meminta selamat
buat yang didoakan, dan keluarganya. Di beberapa daerah, kenduren itu sendiri
bisa ditemui dengan jenis yang bermacam-macam, seperti:
1. Kenduren
wetonan (wedalan), dinamakan wetonan karena tujuannya untuk selametan pada
hari lahir (weton, jawa) seseorang. Di beberapa tempat, kenduren jenis ini
dilakukan oleh hampir setiap warga, biasanya satu keluarga satu weton yang
dirayakan, yaitu yang paling tua atau dituakan dalam keluarga tersebut.
Kenduren ini di lakukan secara rutinitas setiap selapan hari (1 bulan).
2. Kenduren
munggahan. Kenduren ini menurut cerita tujuannya untuk menaikkan para
leluhur. Beberapa tempat di menybutnya sebagai selamaten
pati, artinya kenduren ini ditujukan sebagai do’a untuk ahli kubur dari
keluarga yang menggelar kenduren tersebut. Bagi sebagaian orang kenduren ini
juga biasanya dikenal sebagai kenduren/selamatan ke-7, ke-40, ke-100 dan
ke-1000 hari wafatnya seseorang.
3. Kenduren
likuran. Kenduren ini dilaksanakan pada tanggal 21 bulan Ramadhan, yang di
maksudkan untuk memperingati Nuzulul Qur’an.
4. Kenduren
badan (lebaran/mudunan). Kenduren ini dilaksanakan pada hari Raya
Idul Fitri, pada tanggal 1 syawal (aboge). Kenduren ini sama seperti
kenduren Likuran, konon hanya tujuannya yang berbeda yaitu untuk menurunkan
leluhur. Yang membedakan hanya, sebelum kenduren badan, biasanya didahului
dengan nyekar ke makam leluhur dari masing-masing keluarga.
5. Kenduren
ujar. Kenduren ini dilakukan oleh keluarga tertentu yang punya maksud atau
tujuan tertentu, atau yang punya ujar/omong atau cita-cita. Kenduren ini
juga sering dilakukan ketika seseorang telah memperoleh anugerah, seperti lulus
sekolah, mendapatkan pekerjaan, naik jabatan dan lain sebagainya.
6. Kenduren
mauludan. Kenduren ini dilakukan pada tanggal 12 bulan Maulud. Dalam sebagian
tradisi kenduren juga dilakukan dilakukan di hari-hari besar Islam.
Kerap kali kita jumpai dalam berbagai kesempatan di
berbagai daerah mengenai ritual kenduri ini berbeda-beda, baik dalam bentuk
nama, pelaksanaan, konsep yang dipakai bahkan menu sajiannya. Namun, dari
kesekian macam ritual tersebut mempunyai nilai subtansi yang sama, yaitu
berdo’a. Baik untuk sang empunya hajat maupun orang lain.
Munajat do’a inilah yang dahulu konon diperoleh dari
dampak keluwesan dan dinamisasi ajaran-ajaran yang dibawah oleh walisongo dalam
menyebarkan dawai-dawai sabda ilahi melalui produk ajaran-Nya, yaitu Iman,
Islam dan Ihsan.
Sublimasi Budaya dan Nilai Ritual Agama
Pengamat budaya dan sejarah Agus Sunyoto
(http://www.antaranews.com) menegaskan bahwa budaya kenduri kematian yang
dilakukan umat Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa bukan karena
pengaruh Hindu atau Budha karena di kedua agama itu tidak ditemukan ajaran
kenduri.
Agus menegaskan bahwa, dalam agama Hindu atau Budha tidak
dikenal kenduri dan tidak pula dikenal peringatan orang mati pada hari ketiga,
ketujuh, ke-40, ke-100 atau ke-1.000. Bahwa catatan sejarah menunjukkan orang
Campa memperingati kematian seseorang pada hari ketiga, ketujuh, ke-40, ke-100
dan ke-1.000. Orang-orang Campa juga menjalankan peringatan khaul, peringatan
hari Assyuro dan maulid Nabi Muhammad SAW.
Dari mencermati fakta tersebut, maka Agus berkeyakinan
tradisi kenduri, termasuk khaul adalah tradisi khas Campa yang jelas-jelas
terpengaruh faham Syi`ah. Demikian juga dengan perayaan 1 dan 10 Syuro,
pembacaan kasidah-kasidah yang memuji-muji Nabi Muhammad menunjukkan
keterkaitan tersebut.
Jika kita mau merunut sejarah, istilah kenduri itu
sendiri jelas-jelas menunjuk kepada pengaruh Syi`ah karena dipungut dari bahasa
Persia, yakni Kanduri yang berarti upacara makan-makan memperingati
Fatimah Az Zahroh, puteri Nabi Muhammad SAW.
Fenomena sublimasi nilai ritual dan budaya ini jika
ditinjau dari aspek sosio-historis adalah dikarenakan munculnya tradisi
kepercayaan di Nusantara ini banyak dipengaruhi oleh pengungsi dari Campa yang
beragama Islam. Peristiwa yang terjadi pada rentang waktu antara tahun 1446
hingga 1471 masehi itu rupanya memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi
terjadinya perubahan sosio-kultural religius di Majapahit khususnya dan di
pulau Jawa pada umumnya.
Hal ini bisa dilacak melalui contoh kebiasaan orang Campa
yang memanggil ibunya dengan sebutan “mak”, sedangkan orang-orang Majapahit
kala itu menyebut “ibu” atau “ra-ina”. Di Surabaya dan sekitarnya, tempat Sunan
Ampel menjadi raja, masyarakat memanggil ibunya dengan sebutan “mak”. Pengaruh
kebiasaan Campa yang lain terlihat pula dalam cara orang memanggil kakaknya
atau yang lebih tua dengan sebutan “kang”, sedangkan orang Majapahit kala itu
memanggil dengan sebutan “raka”. Untuk adik, orang Campa menyebut “adhy”,
sedangkan di Majapahit disebut “rayi”.
Pada dasarnya ada perbedaan diantara pengaruh muslim Cina
dengan Campa di masa-masa akhir kejayaan kerajaan Majapahit atau di era Wali
Songo. Muslim Campa selama proses asimilasi melebur dengan penduduk setempat,
hingga watak Campanya hilang dan berbaur dengan kejawaan. Sedangkan muslim Cina
masih cukup kuat menunjukkan eksistensi kecinaannya sampai beberapa abad.
Posting Komentar
Posting Komentar
- Tuangkan saran maupun kritik dan jangan meninggalkan Spam.
- Berkomentarlah dengan bijak sesuai dengan konten yang tersedia.
- Tidak Boleh Promosi