Kisah ini menceritakan kelahiran Bambang Sakri putra Bambang Satrukem dan Dewi Nilawati yang darinya kelak akan menurunkan Pandawa dan Kurawa. Kisah dilanjutkan dengan perkawinan dua putra Resi Manumanasa yang lain, yaitu Bambang Sriati dengan sepupunya yang bernama Dewi Prawita, serta Bambang Manumadewa dengan bidadari bernama Batari Ardani.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 27 Maret 2015
Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------
EMPU PURBAGENI MENJADI KEPALA PEMBUAT SENJATA DI WIRATA
Prabu Basukesti di Kerajaan Wirata dihadap Patih Jayaloka, Resi Suganda, dan para punggawa. Tidak lama kemudian datanglah Empu Dewayasa bersama putranya, yaitu Empu Purbageni. Ikut pula di belakang mereka seorang empu muda, bernama Empu Prawa. Empu Dewayasa menjelaskan bahwa Empu Prawa ini adalah keponakannya, yaitu putra mendiang Empu Kanomayasa dengan Dewi Kaniraras, yang juga telah diambil sebagai menantu pula, yaitu dinikahkan dengan Dewi Marapi, adik Empu Purbageni.
Kedatangan Empu Dewayasa adalah untuk mengajukan pengunduran dirinya sebagai kepala pembuat senjata di Kerajaan Wirata karena usianya yang sudah semakin tua, serta memohon agar jabatan itu dapat diisi oleh Empu Purbageni. Setelah mempertimbangkannya, Prabu Basukesti pun mengabulkan permohonan Empu Dewayasa tersebut. Maka, dengan disaksikan para hadirin, Sang Prabu melantik Empu Purbageni sebagai kepala pembuat senjata yang baru, dan Empu Prawa sebagai pendampingnya.
PRABU BASUKESTI MEMBANGUN HUTAN PERBURUAN
Setelah pelantikan Empu Purbageni tersebut, Prabu Basukesti memerintahkan Patih Jayaloka untuk membangun hutan perburuan di empat penjuru Kerajaan Wirata sebagai tempat tamasya dan olah raga. Hutan perburuan di sebelah utara hendaknya diberi nama Utarakanda, yang sebelah timur hendaknya diberi nama Purwakanda, yang sebelah selatan hendaknya diberi nama Daksinakanda, dan yang di sebelah barat hendaknya diberi nama Pracimakanda.
Patih Jayaloka dan para punggawa pun berangkat melaksanakan perintah Prabu Basukesti. Mereka menebang pepohonan yang dianggap tidak perlu, serta menangkapi hewan-hewan untuk kepentingan Prabu Basukesti berburu kelak. Banyak sekali binatang yang lari ketakutan menuju ke tempat dua orang yang sedang bertapa. Mereka adalah ayah dan anak, bernama Resi Kuswala dan Bambang Daneswara.
Resi Kuswala ini seorang pendeta sakti dari tanah seberang yang menguasai ilmu sihir. Ia sesungguhnya adalah titisan Prabu Cingkaradewa (alias Sri Maharaja Purwacandra raja Medang Kamulan) yang terlahir kembali sebagai manusia. Selain memiliki seorang putra bernama Bambang Daneswara, ia juga memiliki dua orang murid bernama Ditya Citradana (berwujud raksasa) dan Putut Margana (berwujud manusia).
Melihat hewan-hewan yang berlarian tersebut, Resi Kuswala merasa kasihan lalu mengubah wujud mereka menjadi manusia agar dapat membalas dendam kepada orang-orang Wirata. Hewan-hewan yang telah berubah menjadi manusia itu kemudian diberi nama Indramarkata, Kalayaksa, Gajah Barigu, Garuda Urna, dan Naga Wiswana. Mereka lalu berangkat menyerang Patih Jayaloka dan kawan-kawan.
Terjadilah pertempuran sengit di hutan tersebut. Karena jumlah orang-orang Wirata jauh lebih banyak, Resi Kuswala pun mengajak para pengikutnya itu mundur menyelamatkan diri.
LAHIRNYA BAMBANG SAKRI
Di Padepokan Saptaarga, Resi Manumanasa sedang berbahagia karena telah lahir cucu pertamanya, yaitu putra Bambang Satrukem dan Dewi Nilawati, yang diberi nama Bambang Sakri. Putut Supalawa dan Janggan Smara diperintahkan untuk membagi-bagikan derma kepada masyarakat pedesaan di sekitar Gunung Saptaarga sebagai ungkapan rasa syukur Resi Manumanasa.
Beberapa hari kemudian, Empu Dewayasa datang berkunjung ke Gunung Saptaarga menemui Resi Manumanasa. Mereka pun beramah-tamah melepas kerinduan. Empu Dewayasa lalu membicarakan kisah masa lalu saat Dewi Kaniraras (kakak sulung Resi Manumanasa) menikah dengan Prabu Durapati dan diboyong ke Kerjaan Duhyapura di Tanah Hindustan. Saat itu Empu Dewayasa meminta supaya putra-putri Dewi Kaniraras dari perkawinan dengan mendiang Empu Kanomayasa, yaitu Raden Prawa dan Dewi Prawita, tidak usah dibawa serta. Keduanya lalu diasuh sendiri oleh Empu Dewayasa di Tanah Jawa. Setelah dewasa, mereka pun dicarikan jodoh pula. Raden Prawa dinikahkan dengan Dewi Marapi, putri Empu Dewayasa, sedangkan Dewi Prawita sampai saat ini belum menemukan laki-laki yang pantas, padahal usianya sudah mencapai tiga puluh tahun.
Kedatangan Empu Dewayasa ke Gunung Saptaarga ini adalah untuk melamar salah satu putra Resi Manumanasa sebagai suami Dewi Prawita. Karena si putra sulung, yaitu Bambang Satrukem telah menikah dengan Dewi Nilawati, maka Resi Manumanasa pun menawarkan Bambang Sriati saja yang menikah dengan Dewi Prawita.
Empu Dewayasa menerima tawaran tersebut dengan senang hati. Bambang Sriati sendiri juga menyatakan bersedia menikah dengan Dewi Prawita, meskipun calon istrinya itu berusia sepuluh tahun lebih tua daripada dirinya.
Setelah persiapan dirasa cukup, Resi Manumanasa pun merestui kepergian Bambang Sriati bersama Empu Dewayasa. Ia juga memerintahkan si putra bungsu, yaitu Bambang Manumadewa agar ikut mengantarkan kepergian kakaknya menuju Kerajaan Wirata.
BAMBANG MANUMADEWA MERUWAT DUA RAKSASA
Di tengah perjalanan, rombongan Empu Dewayasa itu dihadang sepasang raksasa laki-laki dan perempuan bernama Murtadaka dan Murtadewi. Raksasa dan raksasi itu berniat menangkap Bambang Sriati untuk dijadikan mangsa.
Bambang Manumadewa maju untuk melindungi sang kakak dari ancaman raksasa dan raksasi tersebut. Terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Bambang Manumadewa lama-lama merasa terdesak, namun untungnya sebelum berangkat tadi ia sempat mendapat pinjaman panah Sarotama dari kakak sulungnya, yaitu Bambang Satrukem. Dengan melepaskan panah pusaka tersebut, Raksasa Murtadaka dan Murtadewi berhasil ditewaskan.
Secara ajaib, mayat raksasa dan raksasi itu musnah kemudian berubah menjadi bidadara dan bidadari, bernama Batara Ardana dan Batari Ardini. Keduanya berterima kasih kepada Bambang Manumadewa yang telah membebaskan diri mereka dari kutukan, serta memohon untuk diterima mengabdi. Bambang Manumadewa tidak berani menerima pengabdian mereka dan mempersilakan keduanya supaya mengabdi kepada sang ayah saja, yaitu Resi Manumanasa.
Setelah mendapat keputusan demikian, Batara Ardana dan Batari Ardini pun mohon pamit berangkat ke Gunung Saptaarga.
PERNIKAHAN BAMBANG SRIATI DAN DEWI PRAWITA
Rombongan Empu Dewayasa telah sampai di Kerajaan Wirata. Prabu Basukesti ikut bersuka cita mendengar rencana pernikahan antara Dewi Prawita dengan Bambang Sriati. Ia pun memberikan sumbangan besar dan mempersilakan pernikahan itu agar diselenggarakan di rumah Patih Jayaloka saja, karena lebih besar daripada rumah Empu Dewayasa.
Maka, pada hari yang ditentukan diselenggarakanlah upacara pernikahan antara Bambang Sriati dengan Dewi Prawita di kepatihan. Tidak lama kemudian terdengar laporan bahwa Resi Kuswala dan Bambang Daneswara beserta para pengikut mereka mengadakan kekacauan di pedesaan wilayah Kerajaan Wirata. Prabu Basukesti pun memerintahkan para punggawa untuk menumpas para pengacau tersebut. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang mampu menghadapi ilmu sihir Resi Kuswala.
Prabu Basukesti teringat bahwa ayahnya (Prabu Basupati) telah meninggalkan warisan pusaka berupa Sela Timpuru. Dengan bersenjatakan batu ajaib tersebut, Prabu Basukesti berangkat menuju medan pertempuran dan berhasil membunuh Resi Kuswala. Melihat ayahnya tewas, Bambang Daneswara ketakutan dan melarikan diri beserta sisa-sisa pengikutnya yang masih hidup.
PERNIKAHAN BAMBANG MANUMADEWA DENGAN BATARI ARDINI
Satu bulan kemudian, Empu Dewayasa mengantarkan Bambang Sriati dan Dewi Prawita berkunjung ke Gunung Saptaarga. Bambang Manumadewa ikut serta sekaligus pulang ke tempat sang ayah. Sesampainya di sana, mereka pun disambut Resi Manumanasa, Bambang Satrukem, dan Dewi Nilawati dengan suka cita.
Bambang Manumadewa terkejut melihat Batara Ardana dan Batari Ardini benar-benar mengabdi di Gunung Saptaarga sebagaimana yang dulu ia sarankan. Resi Manumanasa sendiri tidak berani menerima pengabdian bidadara dan bidadari itu, tetapi berniat mengambil Batari Ardini sebagai menantu, yaitu dinikahkan dengan Bambang Manumadewa.
Bambang Manumadewa dan Batari Ardini mematuhi keputusan Resi Manumanasa tersebut. Maka, diadakanlah upacara pernikahan sederhana di Gunung Saptaarga untuk mereka berdua. Mengenai Batara Ardana, Resi Manumanasa mempersilakannya kembali ke kahyangan. Namun, Batara Ardana menolak karena ia belum membalas budi atas jasa Bambang Manumadewa yang telah meruwatnya dari kutukan. Maka, Resi Manumanasa lalu minta dibuatkan sebuah kereta kencana. Batara Ardana menyanggupi. Setelah kereta tercipta, ia pun mohon pamit kembali ke kahyangan.
BAMBANG SRIATI MENGABDI DI KERAJAAN WIRATA
Setelah beberapa waktu tinggal di Gunung Saptaarga, Empu Dewayasa pun mohon pamit kepada Resi Manumanasa untuk pulang ke Kerajaan Wirata. Ia juga memintakan izin untuk Bambang Sriati dan Dewi Prawita agar mereka hidup berumah tangga di kota Wirata saja. Bambang Sriati sendiri juga ingin mengabdi kepada Prabu Basukesti sebagai punggawa kerajaan.
Resi Manumanasa mengabulkan permohonan izin tersebut. Ia lalu memberikan sejumlah nasihat kepada Bambang Sriati sebagai bekalnya mengabdi kelak.
Demikianlah, Bambang Sriati dan Dewi Prawita beserta Empu Dewayasa telah kembali ke Kerajaan Wirata. Bambang Sriati pun diterima sebagai punggawa kerajaan, dengan bergelar Arya Sriati.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
kembali ke : daftar isi
Posting Komentar
Posting Komentar
- Tuangkan saran maupun kritik dan jangan meninggalkan Spam.
- Berkomentarlah dengan bijak sesuai dengan konten yang tersedia.
- Tidak Boleh Promosi