Kisah ini menceritakan Raden Kaniyasa mendirikan Padepokan Ratawu di Gunung Saptaarga dan memakai gelar Resi Manumanasa, sedangkan kedua adiknya, yaitu Raden Manonbawa dan Raden Paridarma membuka sebuah pedukuhan di Tanah Gandara, pemberian Prabu Basupati. Kisah ini juga menceritakan awal pertemuan Resi Manumanasa dengan Danghyang Smarasanta yang kelak terkenal dengan sebutan Kyai Semar.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra dengan sedikit pengembangan.
DEWI BRAHMANEKI MEMINTA TANAH UNTUK ANAK-ANAKNYA
Prabu Basupati di Kerajaan Wirata dihadap Patih Wakiswara, Raden Basumurti, Raden Basukesti, dan Raden Basunanda. Tidak lama kemudian hadir pula Dewi Brahmaneki bersama ketiga putranya, yaitu Raden Kaniyasa, Raden Manonbawa, dan Raden Paridarma. Dewi Brahmaneki mengaku tadi malam bermimpi didatangi arwah suaminya, yaitu Prabu Parikenan yang memberikan wasiat supaya para putra hidup mandiri dan tidak lagi bersantai di istana Wirata. Untuk itu, Dewi Brahmaneki pun meminta sebidang tanah kepada Prabu Basupati sebagai tempat tinggal ketiga putranya dan supaya mereka menjadikannya lahan bercocok tanam.
Prabu Basupati mengabulkan permintaan adiknya tersebut. Ia lalu memberikan tanah bekas milik Arya Gandara kepada Raden Kaniyasa bersaudara. Adapun Arya Gandara tidak lain adalah punggawa Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Sri Maharaja Purwacandra yang sudah lama meninggal dunia. Karena tidak memiliki keturunan, tanah tempat tinggalnya pun tiada yang mewarisi pula. Akibatnya, tanah itu sekarang tak terawat lagi dan banyak ditumbuhi tanaman liar.
Dewi Brahmaneki menerima pemberian kakaknya itu dengan senang hati. Setelah dirasa cukup, Raden Kaniyasa, Raden Manonbawa, dan Raden Paridarma mohon doa restu kemudian berangkat menuju Tanah Gandara. Prabu Basupati pun memerintahkan Arya Darmaruci memimpin sejumlah prajurit untuk mengawal ketiga keponakannya itu.
RADEN KANIYASA MENGALAHKAN PRABU RAMBANA
Baru saja rombongan Raden Kaniyasa meninggalkan kota Wirata, mereka langsung bertemu pasukan raksasa dari Kerajaan Pringgadani yang dipimpin Prabu Rambana, putra Prabu Kuramba. Kedatangan pasukan raksasa itu ke Kerajaan Wirata adalah untuk membalaskan kematian Prabu Kuramba yang dulu tewas di tangan Raden Kaniyasa pada saat menyerang Kahyangan Suralaya.
Maka, terjadilah pertempuran antara rombongan dari Wirata itu melawan para raksasa Pringgadani. Prabu Rambana sendiri masih sangat muda namun memiliki ilmu kesaktian yang lumayan tinggi. Sejak kematian ayahnya, ia banyak belajar kepada Resi Saniwara dan Patih Saswamertyu. Dalam pertempuran kali ini pun, Raden Manonbawa, Raden Paridarma, dan Arya Darmaruci tidak mampu mengalahkannya. Namun demikian, kesaktian Raden Kaniyasa ternyata masih berada di atas raja raksasa itu. Setelah bertarung sengit, Raden Kaniyasa akhirnya berhasil meringkus Prabu Rambana, sekaligus beserta Resi Saniwara dan Patih Saswamertyu.
Raden Kaniyasa dan Arya Darmaruci lalu menghadapkan para raksasa itu kepada Prabu Basupati di istana Wirata. Prabu Basupati bersedia mengampuni nyawa mereka asalkan Prabu Rambana menyatakan kesetiaan kepada Kerajaan Wirata. Prabu Rambana menurut dan ia pun mengucapkan sumpah setia di hadapan Prabu Basupati dan para punggawanya. Prabu Basupati sangat berkenan mendengarnya. Ia lalu membebaskan Prabu Rambana dan mengizinkannya pulang kembali ke Kerajaan Pringgadani.
RADEN KANIYASA BERGURU KEPADA BATARA WISNU
Setelah keadaan aman, Raden Kaniyasa dan rombongannya kembali melanjutkan perjalanan menuju Tanah Gandara. Sesampainya di sana, tiba-tiba hujan deras turun selama beberapa hari. Banjir bandang pun melanda daerah itu, membuat sebagian prajurit Wirata hanyut entah ke mana.
Raden Manonbawa, Raden Paridarma, dan Arya Darmaruci juga ikut hanyut terbawa arus banjir. Dengan susah payah Raden Kaniyasa berenang untuk menangkap dan melemparkan tubuh mereka ke atas pohon tinggi. Akan tetapi, ia sendiri justru hanyut dan tak sempat menyelamatkan diri.
Pada saat itulah muncul Batara Wisnu yang turun dari angkasa untuk menolong Raden Kaniyasa lalu membawanya terbang, hingga akhirnya mendarat di Gunung Saptaarga. Di puncak gunung tersebut, Batara Wisnu mengangkat Raden Kaniyasa sebagai murid dan mengajarinya berbagai macam ilmu pengetahuan dan kesaktian.
Setelah dirasa cukup, Batara Wisnu memerintahkan Raden Kaniyasa untuk bertapa mencapai kesempurnaan diri di Gunung Saptaarga, dan mengganti namanya menjadi Resi Manumanasa. Batara Wisnu meramalkan kelak akan ada leluhur para dewa yang akan datang mengajarkan ilmu kesempurnaan kepadanya. Sementara itu, urusan membuka Tanah Gandara biarlah dilanjutkan oleh Raden Manonbawa dan Raden Paridarma saja.
RADEN MANONBAWA DAN RADEN PARIDARMA MEMBUKA PEDUKUHAN GANDARA
Saat itu banjir telah surut dan Batara Wisnu datang ke Tanah Gandara menemui Raden Manonbawa, Raden Paridarma, dan Arya Darmaruci yang sedang menangisi nasib kakak mereka. Batara Wisnu mengabarkan bahwa Raden Kaniyasa selamat dari banjir bandang dan saat ini telah menjadi pertapa di Gunung Saptaarga. Raden Manonbawa dan yang lain lega mendengarnya serta berniat menyusul ke sana. Namun, Batara Wisnu melarang dan menyarankan agar mereka tetap melanjutkan kegiatan membuka Tanah Gandara menjadi pedukuhan.
Raden Manonbawa dan Raden Paridarma mematuhi saran Batara Wisnu tersebut. Mereka lalu bergotong royong membuka Tanah Gandara dengan dibantu Arya Darmaruci dan para prajurit Wirata.
RESI MANUMANASA MEMBUKA PADEPOKAN RATAWU
Sementara itu, Raden Kaniyasa menelusuri Gunung Saptaarga yang memiliki tujuh puncak untuk mencari tempat yang cocok sebagai pertapaan. Saat menelusuri puncak demi puncak, Raden Kaniyasa melihat ada seberkas cahaya teja tegak lurus ke angkasa. Setelah didekati ternyata cahaya teja itu memancar keluar dari tubuh seekor wanara berbulu putih bersih yang sedang bertapa. Wanara putih itu terbangun dan menyambut kedatangan Raden Kaniyasa. Ia mengaku bernama Kapi Supalawa, putra Batara Bayu yang bertapa ingin mendapatkan kesempurnaan hidup. Menurut petunjuk dari ayahnya, Kapi Supalawa akan mencapai cita-cita tersebut apabila mengabdi kepada keturunan Batara Brahma yang bernama Raden Kaniyasa.
Raden Kaniyasa menerima pengabdian Kapi Supalawa. Mereka berdua lalu membangun sebuah pertapaan di bekas tempat Kapi Supalawa bertapa tadi, dan diberi nama Padepokan Ratawu. Sesuai nasihat Batara Wisnu, Raden Kaniyasa pun mengganti namanya menjadi Resi Manumanasa, sedangkan Kapi Supalawa diganti gelarnya menjadi Putut Supalawa.
RESI MANUMANASA MENDAPAT ILMU DARI SANGHYANG PADAWENANG
Setelah membangun padepokan, Resi Manumanasa pun mulai bertapa untuk meraih kesempurnaan hidup. Setelah beberapa hari terlewati, Batara Indra dan para penghuni Kahyangan Suralaya merasa gerah terkena hawa gaib yang dipancarkan olehnya. Batara Indra lalu menurunkan hujan deras disertai angin badai dan petir menyambar-nyambar di puncak Gunung Saptaarga, namun tidak berhasil membangunkan Resi Manumanasa.
Batara Indra lalu mencoba cara halus, yaitu mengirim ketujuh bidadari unggulan untuk menggoda Resi Manumanasa. Ketujuh bidadari itu ialah Batari Supraba, Batari Wilotama, Batari Warsiki, Batari Surendra, Batari Irim-irim, Batari Gagarmayang, dan Batari Tunjungbiru. Mereka mendarat di Padepokan Ratawu dan berusaha dengan segala cara untuk membuyarkan ketekunan Resi Manumanasa. Akan tetapi, ketujuh bidadari itu justru terlempar kembali ke Kahyangan Suralaya akibat hawa gaib yang dipancarkan Sang Resi.
Tidak lama kemudian, datanglah leluhur para dewa, yaitu Sanghyang Padawenang yang mendarat di Gunung Saptaarga. Resi Manumanasa mendapat firasat dan segera terbangun dari tapanya untuk kemudian menyembah penuh hormat kepada Sanghyang Padawenang.
Kedatangan Sanghyang Padawenang adalah untuk memberikan anugerah ilmu kesempurnaan hidup kepada Resi Manumanasa. Setelah Resi Manumanasa menamatkan segala pelajaran, Sanghyang Padawenang berpesan bahwa tidak lama lagi akan ada seorang putranya yang datang bergabung di Gunung Saptaarga. Putranya itu tidak lain adalah Batara Ismaya (kakak Batara Guru) yang selama ini tinggal di Alam Sunyaruri.
Setelah berpesan demikian, Sanghyang Padawenang lalu kembali ke Kahyangan Awang-Awang Kumitir.
RESI MANUMANASA BERTEMU KYAI SMARASANTA
Beberapa hari kemudian, Resi Manumanasa melihat seorang laki-laki bertubuh pendek bulat sedang berlari mendaki puncak Gunung Saptaarga karena dikejar dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Resi Manumanasa segera memberikan pertolongan. Ia melepaskan dua anak panah untuk melumpuhkan kedua harimau tersebut. Tak disangka, begitu terkena panah, kedua harimau itu musnah dan berubah wujud menjadi dua orang bidadari yang mengaku bernama Batari Kanistri dan Batari Kaniraras.
Sementara itu, laki-laki bertubuh pendek bulat tadi mengaku bernama Kyai Smarasanta yang menyatakan ingin mengabdi di Padepokan Ratawu. Akan tetapi, Resi Manumanasa yakin bahwa laki-laki ini sesungguhnya adalah Batara Ismaya, putra Sanghyang Padawenang yang selama ini tinggal di Alam Sunyaruri. Awal mula Batara Ismaya berubah wujud menjadi gemuk pendek dan buruk rupa seperti itu adalah akibat berlomba menelan gunung bersama Batara Antaga ratusan tahun yang lalu.
Kyai Smarasanta akhirnya berterus terang bahwa dirinya memang perwujudan Batara Ismaya. Ia menjelaskan tentang kedatangannya ke Gunung Saptaarga ini adalah untuk menjalankan perintah Sanghyang Padawenang supaya dirinya mengabdi kepada Resi Manumanasa. Sementara itu, Batara Antaga (kakaknya) juga telah mendapat perintah untuk mengabdi kepada para raja di negeri seberang.
Kyai Smarasanta lalu menjelaskan bahwa kedua bidadari bernama Batari Kanistri dan Batari Kaniraras adalah putri Batara Hira, keturunan Sanghyang Caturkaneka yang secara tidak sengaja melakukan kesalahan, sehingga mendapat kutukan menjadi sepasang harimau merah dan putih. Pada suatu hari, kedua harimau itu menghadang Kyai Smarasanta yang sedang dalam perjalanan menuju Gunung Saptaarga. Kyai Smarasanta mengetahui kalau mereka sesungguhnya adalah bidadari yang terkena kutukan dan salah satunya akan menjadi jodoh Resi Manumanasa. Maka, ia pun pura-pura ketakutan dan berlari mendaki Gunung Saptaarga supaya kedua harimau itu mengejarnya dan bisa bertemu Resi Manumanasa.
Kini kedua harimau tersebut telah teruwat oleh panah Resi Manumanasa dan kembali menjadi bidadari. Mereka pun menyatakan tunduk terhadap segala keputusan Resi Manumanasa. Resi Manumanasa sendiri tidak berani menganggap Kyai Smarasanta sebagai abdi dan lebih suka menjadikannya sebagai saudara tua. Maka, ia pun memilih Batari Kaniraras sebagai istri, sedangkan Batari Kanistri hendaknya menjadi istri Kyai Smarasanta.
Maka, diadakanlah pernikahan ganda di Gunung Saptaarga tersebut. Karena nama Batari Kaniraras sama persis dengan nama kakak sulungnya, maka Resi Manumanasa pun memanggil istrinya itu dengan sebutan baru, yaitu Dewi Retnawati. Sementara itu, Kyai Smarasanta juga mengganti nama Batari Kanistri menjadi Dewi Kenastren, supaya lebih mudah disebut.
Sejak saat itu, Kyai Smarasanta tinggal di Gunung Saptaarga sebagai pengurus rumah tangga Padepokan Ratawu, dan mengganti namanya menjadi Janggan Smara.
DEWI BRAHMANEKI MENGUNJUNGI GUNUNG SAPTAARGA
Pada suatu hari, Dewi Brahmaneki datang ke Gunung Saptaarga untuk menjenguk Resi Manumanasa dan berkenalan dengan menantu barunya, yaitu Dewi Retnawati. Setelah beramah tamah dan melepas kerinduan, Dewi Brahmaneki lalu menceritakan keadaan di Kerajaan Wirata. Saat ini Resi Brahmastungkara di Gilingwesi dan Resi Wrigu di Medangkawuri (Wirata lama) telah meninggal dunia. Kedudukan mereka lalu digantikan oleh menantu masing-masing, yaitu Arya Darmaruci menduduki Padepokan Gilingwesi, bergelar Resi Darmaruci, serta Arya Suganda menduduki Padepokan Medangkawuri, bergelar Resi Suganda.
Dewi Brahmaneki juga mengabarkan bahwa beberapa hari lagi Prabu Basupati akan melangsungkan pernikahan untuk putra kedua dan ketiganya, yaitu Raden Basukesti dan Raden Basunanda. Rupanya Prabu Basupati hendak berbesan dengan adik iparnya, yaitu Arya Awangga yang memiliki tiga orang putri bernama Dewi Pancawati, Dewi Sukawati, dan Dewi Dwarawati. Raden Basukesti akan dinikahkan dengan Dewi Pancawati, sedangkan Raden Basunanda dinikahkan dengan Dewi Sukawati. Untuk itu, Dewi Brahmaneki pun menyampaikan pula undangan Prabu Basupati kepada Resi Manumanasa supaya berkumpul di Kerajaan Wirata menghadiri pernikahan tersebut.
Maka, esok harinya Dewi Brahmaneki pun turun gunung bersama Resi Manumanasa dan Dewi Retnawati. Mereka singgah pula di Pedukuhan Gandara, mengajak serta Raden Manonbawa dan Raden Paridarma untuk kemudian bersama-sama menuju ke Kerajaan Wirata.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 07 Maret 2015
Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------
Resi Manumanasa |
DEWI BRAHMANEKI MEMINTA TANAH UNTUK ANAK-ANAKNYA
Prabu Basupati di Kerajaan Wirata dihadap Patih Wakiswara, Raden Basumurti, Raden Basukesti, dan Raden Basunanda. Tidak lama kemudian hadir pula Dewi Brahmaneki bersama ketiga putranya, yaitu Raden Kaniyasa, Raden Manonbawa, dan Raden Paridarma. Dewi Brahmaneki mengaku tadi malam bermimpi didatangi arwah suaminya, yaitu Prabu Parikenan yang memberikan wasiat supaya para putra hidup mandiri dan tidak lagi bersantai di istana Wirata. Untuk itu, Dewi Brahmaneki pun meminta sebidang tanah kepada Prabu Basupati sebagai tempat tinggal ketiga putranya dan supaya mereka menjadikannya lahan bercocok tanam.
Prabu Basupati mengabulkan permintaan adiknya tersebut. Ia lalu memberikan tanah bekas milik Arya Gandara kepada Raden Kaniyasa bersaudara. Adapun Arya Gandara tidak lain adalah punggawa Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Sri Maharaja Purwacandra yang sudah lama meninggal dunia. Karena tidak memiliki keturunan, tanah tempat tinggalnya pun tiada yang mewarisi pula. Akibatnya, tanah itu sekarang tak terawat lagi dan banyak ditumbuhi tanaman liar.
Dewi Brahmaneki menerima pemberian kakaknya itu dengan senang hati. Setelah dirasa cukup, Raden Kaniyasa, Raden Manonbawa, dan Raden Paridarma mohon doa restu kemudian berangkat menuju Tanah Gandara. Prabu Basupati pun memerintahkan Arya Darmaruci memimpin sejumlah prajurit untuk mengawal ketiga keponakannya itu.
RADEN KANIYASA MENGALAHKAN PRABU RAMBANA
Baru saja rombongan Raden Kaniyasa meninggalkan kota Wirata, mereka langsung bertemu pasukan raksasa dari Kerajaan Pringgadani yang dipimpin Prabu Rambana, putra Prabu Kuramba. Kedatangan pasukan raksasa itu ke Kerajaan Wirata adalah untuk membalaskan kematian Prabu Kuramba yang dulu tewas di tangan Raden Kaniyasa pada saat menyerang Kahyangan Suralaya.
Maka, terjadilah pertempuran antara rombongan dari Wirata itu melawan para raksasa Pringgadani. Prabu Rambana sendiri masih sangat muda namun memiliki ilmu kesaktian yang lumayan tinggi. Sejak kematian ayahnya, ia banyak belajar kepada Resi Saniwara dan Patih Saswamertyu. Dalam pertempuran kali ini pun, Raden Manonbawa, Raden Paridarma, dan Arya Darmaruci tidak mampu mengalahkannya. Namun demikian, kesaktian Raden Kaniyasa ternyata masih berada di atas raja raksasa itu. Setelah bertarung sengit, Raden Kaniyasa akhirnya berhasil meringkus Prabu Rambana, sekaligus beserta Resi Saniwara dan Patih Saswamertyu.
Raden Kaniyasa dan Arya Darmaruci lalu menghadapkan para raksasa itu kepada Prabu Basupati di istana Wirata. Prabu Basupati bersedia mengampuni nyawa mereka asalkan Prabu Rambana menyatakan kesetiaan kepada Kerajaan Wirata. Prabu Rambana menurut dan ia pun mengucapkan sumpah setia di hadapan Prabu Basupati dan para punggawanya. Prabu Basupati sangat berkenan mendengarnya. Ia lalu membebaskan Prabu Rambana dan mengizinkannya pulang kembali ke Kerajaan Pringgadani.
RADEN KANIYASA BERGURU KEPADA BATARA WISNU
Setelah keadaan aman, Raden Kaniyasa dan rombongannya kembali melanjutkan perjalanan menuju Tanah Gandara. Sesampainya di sana, tiba-tiba hujan deras turun selama beberapa hari. Banjir bandang pun melanda daerah itu, membuat sebagian prajurit Wirata hanyut entah ke mana.
Raden Manonbawa, Raden Paridarma, dan Arya Darmaruci juga ikut hanyut terbawa arus banjir. Dengan susah payah Raden Kaniyasa berenang untuk menangkap dan melemparkan tubuh mereka ke atas pohon tinggi. Akan tetapi, ia sendiri justru hanyut dan tak sempat menyelamatkan diri.
Pada saat itulah muncul Batara Wisnu yang turun dari angkasa untuk menolong Raden Kaniyasa lalu membawanya terbang, hingga akhirnya mendarat di Gunung Saptaarga. Di puncak gunung tersebut, Batara Wisnu mengangkat Raden Kaniyasa sebagai murid dan mengajarinya berbagai macam ilmu pengetahuan dan kesaktian.
Setelah dirasa cukup, Batara Wisnu memerintahkan Raden Kaniyasa untuk bertapa mencapai kesempurnaan diri di Gunung Saptaarga, dan mengganti namanya menjadi Resi Manumanasa. Batara Wisnu meramalkan kelak akan ada leluhur para dewa yang akan datang mengajarkan ilmu kesempurnaan kepadanya. Sementara itu, urusan membuka Tanah Gandara biarlah dilanjutkan oleh Raden Manonbawa dan Raden Paridarma saja.
RADEN MANONBAWA DAN RADEN PARIDARMA MEMBUKA PEDUKUHAN GANDARA
Saat itu banjir telah surut dan Batara Wisnu datang ke Tanah Gandara menemui Raden Manonbawa, Raden Paridarma, dan Arya Darmaruci yang sedang menangisi nasib kakak mereka. Batara Wisnu mengabarkan bahwa Raden Kaniyasa selamat dari banjir bandang dan saat ini telah menjadi pertapa di Gunung Saptaarga. Raden Manonbawa dan yang lain lega mendengarnya serta berniat menyusul ke sana. Namun, Batara Wisnu melarang dan menyarankan agar mereka tetap melanjutkan kegiatan membuka Tanah Gandara menjadi pedukuhan.
Raden Manonbawa dan Raden Paridarma mematuhi saran Batara Wisnu tersebut. Mereka lalu bergotong royong membuka Tanah Gandara dengan dibantu Arya Darmaruci dan para prajurit Wirata.
RESI MANUMANASA MEMBUKA PADEPOKAN RATAWU
Sementara itu, Raden Kaniyasa menelusuri Gunung Saptaarga yang memiliki tujuh puncak untuk mencari tempat yang cocok sebagai pertapaan. Saat menelusuri puncak demi puncak, Raden Kaniyasa melihat ada seberkas cahaya teja tegak lurus ke angkasa. Setelah didekati ternyata cahaya teja itu memancar keluar dari tubuh seekor wanara berbulu putih bersih yang sedang bertapa. Wanara putih itu terbangun dan menyambut kedatangan Raden Kaniyasa. Ia mengaku bernama Kapi Supalawa, putra Batara Bayu yang bertapa ingin mendapatkan kesempurnaan hidup. Menurut petunjuk dari ayahnya, Kapi Supalawa akan mencapai cita-cita tersebut apabila mengabdi kepada keturunan Batara Brahma yang bernama Raden Kaniyasa.
Raden Kaniyasa menerima pengabdian Kapi Supalawa. Mereka berdua lalu membangun sebuah pertapaan di bekas tempat Kapi Supalawa bertapa tadi, dan diberi nama Padepokan Ratawu. Sesuai nasihat Batara Wisnu, Raden Kaniyasa pun mengganti namanya menjadi Resi Manumanasa, sedangkan Kapi Supalawa diganti gelarnya menjadi Putut Supalawa.
RESI MANUMANASA MENDAPAT ILMU DARI SANGHYANG PADAWENANG
Setelah membangun padepokan, Resi Manumanasa pun mulai bertapa untuk meraih kesempurnaan hidup. Setelah beberapa hari terlewati, Batara Indra dan para penghuni Kahyangan Suralaya merasa gerah terkena hawa gaib yang dipancarkan olehnya. Batara Indra lalu menurunkan hujan deras disertai angin badai dan petir menyambar-nyambar di puncak Gunung Saptaarga, namun tidak berhasil membangunkan Resi Manumanasa.
Batara Indra lalu mencoba cara halus, yaitu mengirim ketujuh bidadari unggulan untuk menggoda Resi Manumanasa. Ketujuh bidadari itu ialah Batari Supraba, Batari Wilotama, Batari Warsiki, Batari Surendra, Batari Irim-irim, Batari Gagarmayang, dan Batari Tunjungbiru. Mereka mendarat di Padepokan Ratawu dan berusaha dengan segala cara untuk membuyarkan ketekunan Resi Manumanasa. Akan tetapi, ketujuh bidadari itu justru terlempar kembali ke Kahyangan Suralaya akibat hawa gaib yang dipancarkan Sang Resi.
Tidak lama kemudian, datanglah leluhur para dewa, yaitu Sanghyang Padawenang yang mendarat di Gunung Saptaarga. Resi Manumanasa mendapat firasat dan segera terbangun dari tapanya untuk kemudian menyembah penuh hormat kepada Sanghyang Padawenang.
Kedatangan Sanghyang Padawenang adalah untuk memberikan anugerah ilmu kesempurnaan hidup kepada Resi Manumanasa. Setelah Resi Manumanasa menamatkan segala pelajaran, Sanghyang Padawenang berpesan bahwa tidak lama lagi akan ada seorang putranya yang datang bergabung di Gunung Saptaarga. Putranya itu tidak lain adalah Batara Ismaya (kakak Batara Guru) yang selama ini tinggal di Alam Sunyaruri.
Setelah berpesan demikian, Sanghyang Padawenang lalu kembali ke Kahyangan Awang-Awang Kumitir.
RESI MANUMANASA BERTEMU KYAI SMARASANTA
Beberapa hari kemudian, Resi Manumanasa melihat seorang laki-laki bertubuh pendek bulat sedang berlari mendaki puncak Gunung Saptaarga karena dikejar dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Resi Manumanasa segera memberikan pertolongan. Ia melepaskan dua anak panah untuk melumpuhkan kedua harimau tersebut. Tak disangka, begitu terkena panah, kedua harimau itu musnah dan berubah wujud menjadi dua orang bidadari yang mengaku bernama Batari Kanistri dan Batari Kaniraras.
Sementara itu, laki-laki bertubuh pendek bulat tadi mengaku bernama Kyai Smarasanta yang menyatakan ingin mengabdi di Padepokan Ratawu. Akan tetapi, Resi Manumanasa yakin bahwa laki-laki ini sesungguhnya adalah Batara Ismaya, putra Sanghyang Padawenang yang selama ini tinggal di Alam Sunyaruri. Awal mula Batara Ismaya berubah wujud menjadi gemuk pendek dan buruk rupa seperti itu adalah akibat berlomba menelan gunung bersama Batara Antaga ratusan tahun yang lalu.
Kyai Smarasanta akhirnya berterus terang bahwa dirinya memang perwujudan Batara Ismaya. Ia menjelaskan tentang kedatangannya ke Gunung Saptaarga ini adalah untuk menjalankan perintah Sanghyang Padawenang supaya dirinya mengabdi kepada Resi Manumanasa. Sementara itu, Batara Antaga (kakaknya) juga telah mendapat perintah untuk mengabdi kepada para raja di negeri seberang.
Kyai Smarasanta lalu menjelaskan bahwa kedua bidadari bernama Batari Kanistri dan Batari Kaniraras adalah putri Batara Hira, keturunan Sanghyang Caturkaneka yang secara tidak sengaja melakukan kesalahan, sehingga mendapat kutukan menjadi sepasang harimau merah dan putih. Pada suatu hari, kedua harimau itu menghadang Kyai Smarasanta yang sedang dalam perjalanan menuju Gunung Saptaarga. Kyai Smarasanta mengetahui kalau mereka sesungguhnya adalah bidadari yang terkena kutukan dan salah satunya akan menjadi jodoh Resi Manumanasa. Maka, ia pun pura-pura ketakutan dan berlari mendaki Gunung Saptaarga supaya kedua harimau itu mengejarnya dan bisa bertemu Resi Manumanasa.
Kini kedua harimau tersebut telah teruwat oleh panah Resi Manumanasa dan kembali menjadi bidadari. Mereka pun menyatakan tunduk terhadap segala keputusan Resi Manumanasa. Resi Manumanasa sendiri tidak berani menganggap Kyai Smarasanta sebagai abdi dan lebih suka menjadikannya sebagai saudara tua. Maka, ia pun memilih Batari Kaniraras sebagai istri, sedangkan Batari Kanistri hendaknya menjadi istri Kyai Smarasanta.
Maka, diadakanlah pernikahan ganda di Gunung Saptaarga tersebut. Karena nama Batari Kaniraras sama persis dengan nama kakak sulungnya, maka Resi Manumanasa pun memanggil istrinya itu dengan sebutan baru, yaitu Dewi Retnawati. Sementara itu, Kyai Smarasanta juga mengganti nama Batari Kanistri menjadi Dewi Kenastren, supaya lebih mudah disebut.
Sejak saat itu, Kyai Smarasanta tinggal di Gunung Saptaarga sebagai pengurus rumah tangga Padepokan Ratawu, dan mengganti namanya menjadi Janggan Smara.
DEWI BRAHMANEKI MENGUNJUNGI GUNUNG SAPTAARGA
Pada suatu hari, Dewi Brahmaneki datang ke Gunung Saptaarga untuk menjenguk Resi Manumanasa dan berkenalan dengan menantu barunya, yaitu Dewi Retnawati. Setelah beramah tamah dan melepas kerinduan, Dewi Brahmaneki lalu menceritakan keadaan di Kerajaan Wirata. Saat ini Resi Brahmastungkara di Gilingwesi dan Resi Wrigu di Medangkawuri (Wirata lama) telah meninggal dunia. Kedudukan mereka lalu digantikan oleh menantu masing-masing, yaitu Arya Darmaruci menduduki Padepokan Gilingwesi, bergelar Resi Darmaruci, serta Arya Suganda menduduki Padepokan Medangkawuri, bergelar Resi Suganda.
Dewi Brahmaneki juga mengabarkan bahwa beberapa hari lagi Prabu Basupati akan melangsungkan pernikahan untuk putra kedua dan ketiganya, yaitu Raden Basukesti dan Raden Basunanda. Rupanya Prabu Basupati hendak berbesan dengan adik iparnya, yaitu Arya Awangga yang memiliki tiga orang putri bernama Dewi Pancawati, Dewi Sukawati, dan Dewi Dwarawati. Raden Basukesti akan dinikahkan dengan Dewi Pancawati, sedangkan Raden Basunanda dinikahkan dengan Dewi Sukawati. Untuk itu, Dewi Brahmaneki pun menyampaikan pula undangan Prabu Basupati kepada Resi Manumanasa supaya berkumpul di Kerajaan Wirata menghadiri pernikahan tersebut.
Maka, esok harinya Dewi Brahmaneki pun turun gunung bersama Resi Manumanasa dan Dewi Retnawati. Mereka singgah pula di Pedukuhan Gandara, mengajak serta Raden Manonbawa dan Raden Paridarma untuk kemudian bersama-sama menuju ke Kerajaan Wirata.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
kembali ke : daftar isi
Posting Komentar
Posting Komentar
- Tuangkan saran maupun kritik dan jangan meninggalkan Spam.
- Berkomentarlah dengan bijak sesuai dengan konten yang tersedia.
- Tidak Boleh Promosi