Kisah ini menceritakan perkawinan Raden Parikenan putra Prabu Brahmasatapa dengan Dewi Brahmaneki adik Prabu Basupati. Dari perkawinan ini kelak akan lahir Resi Manumanasa, yaitu pendiri Padepokan Saptaarga, atau leluhur para Pandawa dan Kurawa.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
PRABU BRAHMASATAPA MEMBAHAS PERKAWINAN RADEN PARIKENAN
Prabu Brahmasatapa di Kerajaan Gilingwesi dihadap Patih Brahmasadana, Arya Brahmastuti, Arya Brahmayana, Arya Brahmanasidi, dan Arya Brahamanakestu. Mereka sedang membicarakan rencana pernikahan Raden Parikenan yang saat ini sudah berumur dua puluh tahun. Setahun yang lalu, Prabu Brahamasatapa berkunjung ke Kerajaan Wirata untuk melayat meninggalnya Begawan Wasubrata (Prabu Basurata). Pada saat itulah ia tertarik melihat adik Prabu Basupati, yaitu Dewi Brahmaneki dan berterus terang ingin mengambilnya sebagai menantu, yaitu dinikahkan dengan Raden Parikenan jika kelak masa berkabung telah usai. Akan tetapi, Prabu Basupati agak bimbang menanggapi lamaran tersebut. Jika ditinjau secara usia, Raden Parikenan dan Dewi Brahmaneki memang sebaya. Namun, jika ditinjau secara silsilah, Raden Parikenan masih terhitung keponakan Dewi Brahmaneki. Prabu Basupati takut mendapat murka para dewa, sehingga ia pun mengajukan syarat yaitu pihak pengantin pria harus dapat menghadirkan pohon Jayandaru dan Dewandaru dari Kahyangan Suralaya untuk memayungi kedua mempelai, serta upacara pernikahan mereka nanti harus diiringi tetabuhan Gamelan Lokananta milik Batara Indra. Jika Batara Indra bersedia meminjamkannya, itu berarti dewata telah merestui pernikahan antara bibi dan keponakan tersebut.
Kini, waktu setahun telah terlewati dan masa berkabung pun telah usai. Prabu Brahmasatapa merasa sudah tiba saatnya untuk menikahkan Raden Parikenan dengan Dewi Brahmaneki. Akan tetapi, saat ini Raden Parikenan sedang pergi meninggalkan istana entah ke mana. Oleh sebab itu, Prabu Brahmasatapa pun mengutus Raden Suganda putra Arya Brahmanakestu untuk berangkat mencarinya.
PASUKAN MEDANG SINDULA MENGEPUNG KERAJAAN GILINGWESI
Setelah Raden Suganda berangkat, tiba-tiba datang Patih Swalacala dari Kerajaan Medang Sindula menghadap Prabu Brahmasatapa untuk menyampaikan surat dari rajanya yang baru, yaitu Prabu Swaladara. Prabu Brahmasatapa teringat kalau Patih Swalacala ini adalah pengikut Prabu Siwalata, yaitu cucu Batara Kala yang dulu pernah menduduki Kerajaan Gilingwesi. Prabu Siwalata kemudian tewas di tangan Raden Parikenan saat menyerang Kahyangan Suralaya, sedangkan Kerajaan Gilingwesi dapat direbut kembali oleh Prabu Brahmasatapa dengan bantuan bala tentara dari Kerajaan Medang Kamulan. Prabu Brahmasatapa masih ingat kalau yang menjaga Kerajaan Gilingwesi saat itu bernama Resi Swaladara, mewakili Prabu Siwalata.
Patih Swalacala pun bercerita bahwa Resi Swaladara memang orang yang ditugasi menjaga Kerajaan Gilingwesi saat Prabu Siwalata menyerang Kahyangan Suralaya. Resi Swaladara lalu melarikan diri saat Prabu Brahamasatapa datang merebut kembali Kerajaan Gilingwesi. Semenatara itu, Patih Swalacala juga melarikan diri dari Kahyangan Suralaya saat Prabu Siwalata tewas di tangan Raden Parikenan. Patih Swalacala dan Resi Swaladara lalu bertemu dan sepakat membangun kembali Kerajaan Medang Sindula yang ditinggal mati Prabu Siwalata. Akan tetapi, keduanya lalu berselisih tentang siapa yang berhak menjadi raja. Perselisihan itu akhirnya dimenangkan oleh Resi Swaladara, sehingga takhta Kerajaan Medang Sindula pun jatuh kepadanya. Sementara itu, Patih Swalacala harus rela tetap menduduki jabatan sebagai patih.
Kini, lima tahun telah berlalu sejak kejadian itu. Prabu Swaladara berniat mengubah permusuhan dengan Kerajaan Gilingwesi menjadi persaudaraan. Maka, Patih Swalacala pun diutus untuk mengantarkan surat lamaran, bahwa Prabu Swaladara ingin mempersunting Dewi Srini (saudari kembar Raden Parikenan) sebagai permaisuri.
Prabu Brahmasatapa sangat marah membaca surat tersebut dan langsung menolak lamaran terhadap putrinya itu. Patih Swalacala membalas dengan ancaman bahwa pasukan Medang Sindula akan datang menyerbu Kerajaan Gilingwesi dan merebut Dewi Srini secara paksa. Usai berkata demikian, ia lantas undur diri kembali ke perkemahan untuk melapor kepada Prabu Swaladara.
Maka, tidak lama kemudian pasukan Medang Sindula pun datang menyerbu. Prabu Brahmasatapa dan Patih Brahmasadana beserta para arya memimpin pasukan Gilingwesi menghadapi serangan tersebut. Pertempuran besar pun terjadi. Prabu Brahmasatapa tidak menyangka pihak Medang Sindula selama lima tahun ini ternyata berhasil menghimpun angkatan perang baru sehingga dapat mengimbangi kekuatan pihak Gilingwesi. Melihat para prajuritnya banyak yang tewas dibantai para raksasa secara ganas, Prabu Brahmasatapa akhirnya memerintahkan untuk mundur dan kemudian menutup rapat-rapat gerbang benteng Kerajaan Gilingwesi.
RADEN SUGANDA MENDAPATKAN PETUNJUK DARI BEGAWAN RUKMAWATI
Sementara itu, Raden Suganda yang mendapat tugas untuk menjemput pulang Raden Parikenan tidak tahu harus pergi ke mana. Ia pun memutuskan untuk meminta petunjuk kepada Begawan Rukmawati di Gunung Mahendra.
Begawan Rukmawati menerima kedatangan Raden Suganda dan segera mengheningkan cipta mencari tahu di mana keberadaan Raden Parikenan. Beberapa saat kemudian, ia pun mengatakan bahwa Raden Parikenan sedang bertapa di Hutan Tikbrasara demi untuk mendapatkan izin Batara Indra dalam hal memenuhi persyaratan pernikahan yang diajukan Prabu Basupati. Begawan Rukmawati mendapatkan gambaran bahwa Batara Indra telah berkenan mengabulkan permintaan tersebut, mengingat Raden Parikenan pernah berjasa mengalahkan musuh Kahyangan Suralaya, yaitu Prabu Siwalata.
Begawan Rukmawati lalu memberikan petunjuk lain kepada Raden Suganda supaya menikahi Ken Raketan, anak seorang tuwaburu di Kerajaan Wirata bernama Kyai Wrigu. Meskipun Ken Raketan hanya seorang gadis biasa dari Desa Wasutira, namun ia adalah titisan bidadari bernama Batari Daruni, sedangkan Raden Suganda sendiri adalah titisan Batara Daruna. Mereka sudah ditakdirkan berjodoh dan kelak akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa.
Raden Suganda mematuhi segala petunjuk Begawan Rukmawati lalu ia pun mohon diri meninggalkan Gunung Mahendra.
RADEN SUGANDA DAN RADEN PARIKENAN NAIK KE KAHYANGAN
Sesuai petunjuk tersebut, Raden Suganda berhasil menemukan Raden Parikenan sedang bertapa di tengah Hutan Tikbrasara. Ia pun membangunkan sepupunya itu dan menyampaikan pesan Begawan Rukmawati, bahwa Batara Indra telah mengabulkan permohonannya sebagai imbalan atas jasanya menumpas Prabu Siwalata lima tahun silam. Raden Parikenan gembira mendengarnya. Ia lalu mengajak Raden Suganda naik ke Kahyangan Suralaya untuk menghadap Batara Indra.
Batara Indra di Kahyangan Suralaya menerima kedatangan Raden Parikenan dan Raden Suganda dengan ramah. Mengenai persyaratan yang diajukan Prabu Basupati, segalanya akan dikabulkan oleh Batara Indra. Meskipun silsilah Raden Parikenan terhitung masih keponakan Dewi Brahmaneki, namun bukanlah keponakan kandung, sehingga pernikahan di antara mereka masih dapat dimaklumi. Batara Indra juga meramalkan bahwa perkawinan mereka kelak akan menurunkan manusia-manusia hebat yang terkenal sepanjang masa, antara lain para Pandawa dan Kurawa.
Akhirnya, Batara Indra pun berjanji akan mengutus para jawata untuk mengangkut pohon Jayandaru dan Dewandaru beserta Gamelan Lokananta ke Kerajaan Gilingwesi, sedangkan Raden Parikenan dan Raden Suganda diperintahkan untuk pulang lebih dulu, karena negeri mereka saat ini sedang dikepung musuh dari Kerajaan Medang Sindula.
Raden Parikenan berterima kasih atas kemurahan hati Batara Indra, lalu ia dan Raden Suganda pun mohon diri meninggalkan Kahyangan Suralaya.
RADEN PARIKENAN DAN RADEN SUGANDA MENUMPAS PARA RAKSASA
Raden Parikenan dan Raden Suganda telah sampai di perkemahan pasukan Medang Sindula yang terletak di luar benteng Kerajaan Gilingwesi. Mereka langsung menantang Prabu Swaladara dan Patih Swalacala untuk bertanding menentukan hidup dan mati, tanpa melibatkan pasukan. Tantangan tersebut diterima. Maka, diadakanlah perang tanding antara Raden Parikenan melawan Prabu Swaladara, serta Raden Suganda melawan Patih Swalacala.
Setelah memakan waktu cukup lama, perang tanding tersebut pun berakhir dengan kematian Prabu Swaladara dan Patih Swalacala. Pasukan raksasa Medang Sindula ketakutan melihat kedua pemimpin mereka tewas. Maka, mereka pun menyerah memohon ampun dan kemudian beramai-ramai pergi meninggalkan Kerajaan Gilingwesi.
Prabu Brahmasatapa sangat gembira mendengar putra dan keponakannya telah berhasil mengusir musuh. Tidak lama kemudian Batara Wrehaspati datang diiringi para jawata dan bidadari mengantarkan pohon Jayandaru, pohon Dewandaru, dan Gamelan Lokananta sebagai syarat pernikahan Raden Parikenan. Prabu Brahmasatapa bertambah gembira menerima kiriman dari Batara Indra tersebut.
PERKAWINAN RADEN PARIKENAN DAN DEWI BRAHMANEKI
Setelah segala persyaratan terpenuhi, Prabu Brahmasatapa pun memimpin rombongan pengantin pria berangkat menuju Kerajaan Wirata. Rombongan ini disambut baik oleh pihak mempelai wanita yang dipimpin Prabu Basupati. Upacara pernikahan Raden Parikenan dan Dewi Brahmaneki pun berlangsung khidmat, dengan diiringi suara tetabuhan Gamelan Lokananta yang berkumandang di angkasa.
Para tamu berdatangan dari segala penjuru, antara lain Sri Maharaja Purwacandra dari Kerajaan Medang Kamulan, serta Prabu Sri Mahawan dari Kerajaan Purwacarita untuk memberikan restu. Pada saat itulah Prabu Sri Mahawan tertarik melihat kecantikan Dewi Srini dan ingin menjadikannya sebagai menantu. Maka, Prabu Sri Mahawan pun menyampaikan niatnya kepada Prabu Brahmasatapa, yaitu ingin menikahkan Dewi Srini dengan Raden Wahnaya, putra keduanya. Prabu Brahmasatapa menerima lamaran tersebut dengan senang hati dan berharap hubungan kekeluargaan antara Kerajaan Gilingwesi dan Purwacarita bisa semakin bertambah erat.
RADEN SUGANDA MENIKAHI KEN RAKETAN
Setelah upacara pernikahan Raden Parikenan dan Dewi Brahmaneki berakhir, Raden Suganda menyampaikan kepada ayahnya (Arya Brahmanakestu) tentang petunjuk Begawan Rukmawati, bahwa jodohnya adalah seorang gadis dari Desa Wasutira bernama Ken Raketan, putri Kyai Wrigu. Karena Begawan Rukmawati sudah berpesan demikian, Arya Brahmanakestu tidak berani membantah. Ia pun mengajak Raden Suganda untuk berangkat melamar gadis tersebut.
Sesampainya di Desa Wasutira, Arya Brahmanakestu segera menemui Kyai Wrigu untuk melamar Ken Raketan sebagai istri Raden Suganda. Kyai Wrigu sangat terharu karena anaknya hanya seorang gadis desa biasa, namun diambil sebagai menantu oleh seorang pembesar Kerajaan Gilingwesi. Kyai Wrigu dan istrinya, yaitu Ken Sangki seketika teringat pesan Dewi Sri saat kelahiran Ken Raketan dulu, bahwa putri mereka adalah titisan Batari Daruni yang akan mendapatkan jodoh titisan Batara Daruna.
Beberapa waktu kemudian diadakanlah upacara pernikahan antara Raden Suganda dengan Ken Raketan di Desa Wasutira. Setelah satu pekan, Raden Suganda pun memboyong istrinya itu pindah ke Kerajaan Gilingwesi untuk hidup berumah tangga di sana.
kembali ke: daftar isi
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 04 Februari 2015
Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------
PRABU BRAHMASATAPA MEMBAHAS PERKAWINAN RADEN PARIKENAN
Prabu Brahmasatapa di Kerajaan Gilingwesi dihadap Patih Brahmasadana, Arya Brahmastuti, Arya Brahmayana, Arya Brahmanasidi, dan Arya Brahamanakestu. Mereka sedang membicarakan rencana pernikahan Raden Parikenan yang saat ini sudah berumur dua puluh tahun. Setahun yang lalu, Prabu Brahamasatapa berkunjung ke Kerajaan Wirata untuk melayat meninggalnya Begawan Wasubrata (Prabu Basurata). Pada saat itulah ia tertarik melihat adik Prabu Basupati, yaitu Dewi Brahmaneki dan berterus terang ingin mengambilnya sebagai menantu, yaitu dinikahkan dengan Raden Parikenan jika kelak masa berkabung telah usai. Akan tetapi, Prabu Basupati agak bimbang menanggapi lamaran tersebut. Jika ditinjau secara usia, Raden Parikenan dan Dewi Brahmaneki memang sebaya. Namun, jika ditinjau secara silsilah, Raden Parikenan masih terhitung keponakan Dewi Brahmaneki. Prabu Basupati takut mendapat murka para dewa, sehingga ia pun mengajukan syarat yaitu pihak pengantin pria harus dapat menghadirkan pohon Jayandaru dan Dewandaru dari Kahyangan Suralaya untuk memayungi kedua mempelai, serta upacara pernikahan mereka nanti harus diiringi tetabuhan Gamelan Lokananta milik Batara Indra. Jika Batara Indra bersedia meminjamkannya, itu berarti dewata telah merestui pernikahan antara bibi dan keponakan tersebut.
Kini, waktu setahun telah terlewati dan masa berkabung pun telah usai. Prabu Brahmasatapa merasa sudah tiba saatnya untuk menikahkan Raden Parikenan dengan Dewi Brahmaneki. Akan tetapi, saat ini Raden Parikenan sedang pergi meninggalkan istana entah ke mana. Oleh sebab itu, Prabu Brahmasatapa pun mengutus Raden Suganda putra Arya Brahmanakestu untuk berangkat mencarinya.
PASUKAN MEDANG SINDULA MENGEPUNG KERAJAAN GILINGWESI
Setelah Raden Suganda berangkat, tiba-tiba datang Patih Swalacala dari Kerajaan Medang Sindula menghadap Prabu Brahmasatapa untuk menyampaikan surat dari rajanya yang baru, yaitu Prabu Swaladara. Prabu Brahmasatapa teringat kalau Patih Swalacala ini adalah pengikut Prabu Siwalata, yaitu cucu Batara Kala yang dulu pernah menduduki Kerajaan Gilingwesi. Prabu Siwalata kemudian tewas di tangan Raden Parikenan saat menyerang Kahyangan Suralaya, sedangkan Kerajaan Gilingwesi dapat direbut kembali oleh Prabu Brahmasatapa dengan bantuan bala tentara dari Kerajaan Medang Kamulan. Prabu Brahmasatapa masih ingat kalau yang menjaga Kerajaan Gilingwesi saat itu bernama Resi Swaladara, mewakili Prabu Siwalata.
Patih Swalacala pun bercerita bahwa Resi Swaladara memang orang yang ditugasi menjaga Kerajaan Gilingwesi saat Prabu Siwalata menyerang Kahyangan Suralaya. Resi Swaladara lalu melarikan diri saat Prabu Brahamasatapa datang merebut kembali Kerajaan Gilingwesi. Semenatara itu, Patih Swalacala juga melarikan diri dari Kahyangan Suralaya saat Prabu Siwalata tewas di tangan Raden Parikenan. Patih Swalacala dan Resi Swaladara lalu bertemu dan sepakat membangun kembali Kerajaan Medang Sindula yang ditinggal mati Prabu Siwalata. Akan tetapi, keduanya lalu berselisih tentang siapa yang berhak menjadi raja. Perselisihan itu akhirnya dimenangkan oleh Resi Swaladara, sehingga takhta Kerajaan Medang Sindula pun jatuh kepadanya. Sementara itu, Patih Swalacala harus rela tetap menduduki jabatan sebagai patih.
Kini, lima tahun telah berlalu sejak kejadian itu. Prabu Swaladara berniat mengubah permusuhan dengan Kerajaan Gilingwesi menjadi persaudaraan. Maka, Patih Swalacala pun diutus untuk mengantarkan surat lamaran, bahwa Prabu Swaladara ingin mempersunting Dewi Srini (saudari kembar Raden Parikenan) sebagai permaisuri.
Prabu Brahmasatapa sangat marah membaca surat tersebut dan langsung menolak lamaran terhadap putrinya itu. Patih Swalacala membalas dengan ancaman bahwa pasukan Medang Sindula akan datang menyerbu Kerajaan Gilingwesi dan merebut Dewi Srini secara paksa. Usai berkata demikian, ia lantas undur diri kembali ke perkemahan untuk melapor kepada Prabu Swaladara.
Maka, tidak lama kemudian pasukan Medang Sindula pun datang menyerbu. Prabu Brahmasatapa dan Patih Brahmasadana beserta para arya memimpin pasukan Gilingwesi menghadapi serangan tersebut. Pertempuran besar pun terjadi. Prabu Brahmasatapa tidak menyangka pihak Medang Sindula selama lima tahun ini ternyata berhasil menghimpun angkatan perang baru sehingga dapat mengimbangi kekuatan pihak Gilingwesi. Melihat para prajuritnya banyak yang tewas dibantai para raksasa secara ganas, Prabu Brahmasatapa akhirnya memerintahkan untuk mundur dan kemudian menutup rapat-rapat gerbang benteng Kerajaan Gilingwesi.
RADEN SUGANDA MENDAPATKAN PETUNJUK DARI BEGAWAN RUKMAWATI
Sementara itu, Raden Suganda yang mendapat tugas untuk menjemput pulang Raden Parikenan tidak tahu harus pergi ke mana. Ia pun memutuskan untuk meminta petunjuk kepada Begawan Rukmawati di Gunung Mahendra.
Begawan Rukmawati menerima kedatangan Raden Suganda dan segera mengheningkan cipta mencari tahu di mana keberadaan Raden Parikenan. Beberapa saat kemudian, ia pun mengatakan bahwa Raden Parikenan sedang bertapa di Hutan Tikbrasara demi untuk mendapatkan izin Batara Indra dalam hal memenuhi persyaratan pernikahan yang diajukan Prabu Basupati. Begawan Rukmawati mendapatkan gambaran bahwa Batara Indra telah berkenan mengabulkan permintaan tersebut, mengingat Raden Parikenan pernah berjasa mengalahkan musuh Kahyangan Suralaya, yaitu Prabu Siwalata.
Begawan Rukmawati lalu memberikan petunjuk lain kepada Raden Suganda supaya menikahi Ken Raketan, anak seorang tuwaburu di Kerajaan Wirata bernama Kyai Wrigu. Meskipun Ken Raketan hanya seorang gadis biasa dari Desa Wasutira, namun ia adalah titisan bidadari bernama Batari Daruni, sedangkan Raden Suganda sendiri adalah titisan Batara Daruna. Mereka sudah ditakdirkan berjodoh dan kelak akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa.
Raden Suganda mematuhi segala petunjuk Begawan Rukmawati lalu ia pun mohon diri meninggalkan Gunung Mahendra.
RADEN SUGANDA DAN RADEN PARIKENAN NAIK KE KAHYANGAN
Sesuai petunjuk tersebut, Raden Suganda berhasil menemukan Raden Parikenan sedang bertapa di tengah Hutan Tikbrasara. Ia pun membangunkan sepupunya itu dan menyampaikan pesan Begawan Rukmawati, bahwa Batara Indra telah mengabulkan permohonannya sebagai imbalan atas jasanya menumpas Prabu Siwalata lima tahun silam. Raden Parikenan gembira mendengarnya. Ia lalu mengajak Raden Suganda naik ke Kahyangan Suralaya untuk menghadap Batara Indra.
Batara Indra di Kahyangan Suralaya menerima kedatangan Raden Parikenan dan Raden Suganda dengan ramah. Mengenai persyaratan yang diajukan Prabu Basupati, segalanya akan dikabulkan oleh Batara Indra. Meskipun silsilah Raden Parikenan terhitung masih keponakan Dewi Brahmaneki, namun bukanlah keponakan kandung, sehingga pernikahan di antara mereka masih dapat dimaklumi. Batara Indra juga meramalkan bahwa perkawinan mereka kelak akan menurunkan manusia-manusia hebat yang terkenal sepanjang masa, antara lain para Pandawa dan Kurawa.
Akhirnya, Batara Indra pun berjanji akan mengutus para jawata untuk mengangkut pohon Jayandaru dan Dewandaru beserta Gamelan Lokananta ke Kerajaan Gilingwesi, sedangkan Raden Parikenan dan Raden Suganda diperintahkan untuk pulang lebih dulu, karena negeri mereka saat ini sedang dikepung musuh dari Kerajaan Medang Sindula.
Raden Parikenan berterima kasih atas kemurahan hati Batara Indra, lalu ia dan Raden Suganda pun mohon diri meninggalkan Kahyangan Suralaya.
RADEN PARIKENAN DAN RADEN SUGANDA MENUMPAS PARA RAKSASA
Raden Parikenan dan Raden Suganda telah sampai di perkemahan pasukan Medang Sindula yang terletak di luar benteng Kerajaan Gilingwesi. Mereka langsung menantang Prabu Swaladara dan Patih Swalacala untuk bertanding menentukan hidup dan mati, tanpa melibatkan pasukan. Tantangan tersebut diterima. Maka, diadakanlah perang tanding antara Raden Parikenan melawan Prabu Swaladara, serta Raden Suganda melawan Patih Swalacala.
Setelah memakan waktu cukup lama, perang tanding tersebut pun berakhir dengan kematian Prabu Swaladara dan Patih Swalacala. Pasukan raksasa Medang Sindula ketakutan melihat kedua pemimpin mereka tewas. Maka, mereka pun menyerah memohon ampun dan kemudian beramai-ramai pergi meninggalkan Kerajaan Gilingwesi.
Prabu Brahmasatapa sangat gembira mendengar putra dan keponakannya telah berhasil mengusir musuh. Tidak lama kemudian Batara Wrehaspati datang diiringi para jawata dan bidadari mengantarkan pohon Jayandaru, pohon Dewandaru, dan Gamelan Lokananta sebagai syarat pernikahan Raden Parikenan. Prabu Brahmasatapa bertambah gembira menerima kiriman dari Batara Indra tersebut.
PERKAWINAN RADEN PARIKENAN DAN DEWI BRAHMANEKI
Setelah segala persyaratan terpenuhi, Prabu Brahmasatapa pun memimpin rombongan pengantin pria berangkat menuju Kerajaan Wirata. Rombongan ini disambut baik oleh pihak mempelai wanita yang dipimpin Prabu Basupati. Upacara pernikahan Raden Parikenan dan Dewi Brahmaneki pun berlangsung khidmat, dengan diiringi suara tetabuhan Gamelan Lokananta yang berkumandang di angkasa.
Para tamu berdatangan dari segala penjuru, antara lain Sri Maharaja Purwacandra dari Kerajaan Medang Kamulan, serta Prabu Sri Mahawan dari Kerajaan Purwacarita untuk memberikan restu. Pada saat itulah Prabu Sri Mahawan tertarik melihat kecantikan Dewi Srini dan ingin menjadikannya sebagai menantu. Maka, Prabu Sri Mahawan pun menyampaikan niatnya kepada Prabu Brahmasatapa, yaitu ingin menikahkan Dewi Srini dengan Raden Wahnaya, putra keduanya. Prabu Brahmasatapa menerima lamaran tersebut dengan senang hati dan berharap hubungan kekeluargaan antara Kerajaan Gilingwesi dan Purwacarita bisa semakin bertambah erat.
RADEN SUGANDA MENIKAHI KEN RAKETAN
Setelah upacara pernikahan Raden Parikenan dan Dewi Brahmaneki berakhir, Raden Suganda menyampaikan kepada ayahnya (Arya Brahmanakestu) tentang petunjuk Begawan Rukmawati, bahwa jodohnya adalah seorang gadis dari Desa Wasutira bernama Ken Raketan, putri Kyai Wrigu. Karena Begawan Rukmawati sudah berpesan demikian, Arya Brahmanakestu tidak berani membantah. Ia pun mengajak Raden Suganda untuk berangkat melamar gadis tersebut.
Sesampainya di Desa Wasutira, Arya Brahmanakestu segera menemui Kyai Wrigu untuk melamar Ken Raketan sebagai istri Raden Suganda. Kyai Wrigu sangat terharu karena anaknya hanya seorang gadis desa biasa, namun diambil sebagai menantu oleh seorang pembesar Kerajaan Gilingwesi. Kyai Wrigu dan istrinya, yaitu Ken Sangki seketika teringat pesan Dewi Sri saat kelahiran Ken Raketan dulu, bahwa putri mereka adalah titisan Batari Daruni yang akan mendapatkan jodoh titisan Batara Daruna.
Beberapa waktu kemudian diadakanlah upacara pernikahan antara Raden Suganda dengan Ken Raketan di Desa Wasutira. Setelah satu pekan, Raden Suganda pun memboyong istrinya itu pindah ke Kerajaan Gilingwesi untuk hidup berumah tangga di sana.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
kembali ke: daftar isi
Posting Komentar
Posting Komentar
- Tuangkan saran maupun kritik dan jangan meninggalkan Spam.
- Berkomentarlah dengan bijak sesuai dengan konten yang tersedia.
- Tidak Boleh Promosi