Kisah ini menceritakan Raden Parikenan berhasil meruwat ibu tirinya, yaitu Dewi Rajatadi dari wujud buaya putih kembali menjadi manusia. Kisah dilanjutkan dengan kelahiran Raden Kanwa atau Raden Kaniyasa, yang kelak terkenal dengan nama Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa dan Kurawa, serta bagaimana Raden Kanwa diambil sebagai anak angkat Prabu Basupati raja Wirata.
Kisah ini disusun berdasarkan naskah Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
RADEN PARIKENAN DITANTANG BUAYA PUTIH
Prabu Brahmasatapa di Kerajaan Gilingwesi baru saja pulang dari Kerajaan Purwacarita untuk menjenguk kedua putrinya yang melahirkan. Dewi Srini yang menikah dengan Raden Wahnaya telah melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Sriwanda, sedangkan Dewi Satapi yang menikah dengan Arya Sadaskara juga melahirkan seorang putra, diberi nama Raden Darmaruci.
Saat ini menantu Prabu Brahmasatapa, yaitu Dewi Brahmaneki (istri Raden Parikenan) juga sedang mengandung untuk yang kedua kalinya. Adapun anak pertama mereka, yaitu Dewi Kaniraras telah berusia satu tahun.
Ketika Prabu Brahmasatapa sedang memimpin pertemuan dengan Raden Parikenan, Patih Brahmasadana, Arya Brahmanaradya, Arya Brahmastuti, Arya Brahmanakestu, dan para punggawa Kerajaan Gilingwesi lainnya, tiba-tiba datang menghadap seorang laki-laki yang mengaku sebagai kepala Desa Cita, bernama Buyut Sanggora. Ia melaporkan tentang warga desanya yang sering diganggu buaya putih ketika lewat di dekat Sungai Jamuna. Buaya putih itu bisa berbicara seperti manusia, dan ia menitip pesan ingin berkelahi melawan Raden Parikenan. Jika Raden Parikenan menolak datang ke Sungai Jamuna, maka buaya putih itu akan semakin banyak menyerang warga desa. Sampai saat ini si buaya putih hanya melukai dan menakut-nakuti, namun ia mengancam untuk selanjutnya akan membunuh dan memangsa siapa saja yang lewat di dekat Sungai Jamuna.
Raden Parikenan prihatin mendengar laporan Buyut Sanggora tersebut. Ia pun mohon restu kepada sang ayah untuk menghadapi tantangan buaya putih tersebut. Prabu Brahmasatapa tidak tega dan memerintahkan Arya Brahmanaradya untuk mengawal Raden Parikenan. Akan tetapi, Patih Brahmasadana menawarkan dirinya untuk menggantikan Arya Brahmanaradya mengawal sang pangeran. Rupanya dalam hati ia menduga kalau buaya putih tersebut tidak lain adalah penjelmaan kakaknya, yaitu Dewi Rajatadi yang setahun lalu mendapat kutukan dari Prabu Brahmasatapa.
Prabu Brahmasatapa memberikan izin kepada Patih Brahmasadana untuk mengawal Raden Parikenan. Maka, Raden Parikenan dan Patih Brahmasadana pun mohon pamit berangkat dengan dipandu Buyut Sanggora menuju ke Sungai Jamuna, tempat si buaya putih berada.
RADEN PARIKENAN MENGALAHKAN BUAYA PUTIH
Raden Parikenan dan Patih Brahmasadana bersama Buyut Sanggora telah sampai di tepi Sungai Jamuna tempat buaya putih sering mengganggu warga. Raden Parikenan lalu berteriak memanggil buaya putih itu agar keluar dari persembunyiannya. Tidak lama kemudian, si buaya putih pun muncul dari dalam sungai dan langsung menyerang Raden Parikenan. Terjadilah perkelahian sengit di antara mereka.
Patih Brahmasadana hanya menonton sambil berjaga-jaga. Ia kini sangat yakin kalau buaya putih tersebut adalah penjelmaan kakaknya. Saat itu Raden Parikenan tampak bergulat melawan si buaya putih dan perkelahian mereka pun berlanjut di dalam sungai. Patih Brahmasadana sangat khawatir dan berniat ikut mencebur. Akan tetapi, tiba-tiba Raden Parikenan keluar dari dalam sungai bersama Dewi Rajatadi yang kini telah kembali ke dalam wujud manusia.
Sesampainya di darat, Raden Parikenan bercerita bahwa di dalam air tadi ia bergulat melawan buaya putih. Ketika napasnya mulai sesak, Raden Parikenan pun menusukkan kerisnya ke dalam mulut buaya putih tersebut. Sungguh ajaib, si buaya putih tiba-tiba berubah wujud menjadi ibu tirinya, yaitu Dewi Rajatadi. Mendengar cerita itu Patih Brahmasadana merasa sangat gembira. Dewi Rajatadi juga sangat berterima kasih kepada Raden Parikenan yang telah meruwat dirinya hingga terbebas dari kutukan. Mereka pun bersama-sama kembali ke Kerajaan Gilingwesi untuk menghadap Prabu Brahmasatapa.
LAHIRNYA RADEN KANWA
Prabu Brahmasatapa menyambut gembira atas keberhasilan Raden Parikenan. Ia juga sangat bahagia melihat Dewi Rajatadi telah terbebas dari kutukan dan kembali menjadi manusia. Dewi Rajatadi memohon maaf atas segala dosa-dosanya dan berjanji akan menjadi istri yang baik di sisi Prabu Brahmasatapa. Suasana haru pun kini tampak menghiasi istana Kerajaan Gilingwesi.
Dewi Rajatadi lalu bercerita tentang pengalamannya selama setahun menjadi buaya putih di Sungai Jamuna. Awalnya ia sangat marah dan kecewa, namun kemudian menyesali segala kesalahannya. Siang dan malam ia bertapa memohon petunjuk dewata supaya terbebas dari kutukan dan bisa kembali menjadi manusia. Setelah sekian lama bertapa, tiba-tiba terdengar suara dewata berbisik bahwa yang bisa membebaskan dirinya dari kutukan adalah Raden Parikenan, yang dulu semasa bayi pernah dibuangnya ke hutan dan ditukar dengan bayi kambing.
Dewi Rajatadi sangat malu dan menyesal saat disinggung tentang perbuatan jahatnya di masa lalu tersebut. Ia lalu mengatur rencana bagaimana supaya Raden Parikenan datang ke Sungai Jamuna. Maka, setiap ada warga Desa Cita yang lewat di dekat Sungai Jamuna pun langsung diserangnya. Kepada mereka, ia menitip pesan supaya Raden Parikenan didatangkan di hadapannya.
Demikianlah, siasat Dewi Rajatadi akhirnya berhasil karena Buyut Sanggora telah mendatangkan Raden Parikenan ke Sungai Jamuna dan membebaskan dirinya dari wujud buaya putih, kembali menjadi manusia. Prabu Brahmasatapa terharu mendengar penuturan istrinya dan ia pun bersedia menerima kembali Dewi Rajatadi asalkan benar-benar menyesali perbuatannya di masa lalu.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul para dayang yang melaporkan bahwa Dewi Brahmaneki telah melahirkan bayi laki-laki, anak kedua Raden Parikenan. Prabu Brahmasatapa sangat gembira dan memberi nama cucunya itu, Raden Kanwa.
PRABU BASUPATI MENGUSIR PATIH SUNGGATA
Dua tahun kemudian di Kerajaan Wirata terjadi wabah penyakit yang menewaskan banyak penduduk. Prabu Basupati sangat sedih dan mengajak Patih Sunggata untuk memasang tumbal demi melenyapkan wabah penyakit tersebut. Patih Sunggata tidak setuju dan menyarankan agar Prabu Basupati menikah lagi. Patih Sunggata yakin bahwa musibah wabah penyakit tersebut adalah teguran dewata yang tidak senang melihat ada seorang raja menduda tanpa pendamping. Adapun istri Prabu Basupati, yaitu Dewi Indradi telah lama meninggal setelah melahirkan putra pertama mereka, yang diberi nama Raden Basumurti.
Mendengar usulan tersebut, Prabu Basupati sangat tersinggung dan menuduh Patih Sunggata bersikap lancang berani mencampuri urusan pribadinya. Ia mengatakan bahwa selain mendiang Dewi Indradi, tidak ada lagi wanita di dunia ini yang mampu memikat hatinya. Patih Sunggata pun diusir pergi dari istana beserta putranya yang bernama Arya Sarisungga.
Patih Sunggata dan Arya Sarisungga kemudian pergi ke Kerajaan Purwacarita untuk mengabdi kepada Prabu Sri Mahawan. Mendengar apa yang terjadi di Kerajaan Wirata, Prabu Sri Mahawan ikut merasa prihatin. Ia lalu menerima pengabdian ayah dan anak tersebut, di mana Patih Sunggata diangkat sebagai kepala pembuat senjata, sedangkan Arya Sarisungga dijadikan punggawa penjaga perbatasan.
PRABU BASUPATI MENGAMBIL RADEN KANWA SEBAGAI ANAK ANGKAT
Setelah mengusir Patih Sunggata dan Arya Sarisungga, Prabu Basupati masuk ke dalam sanggar pemujaan untuk bersamadi memohon petunjuk dewata demi membebaskan Kerajaan Wirata dari wabah penyakit yang sedang melanda. Dewata pun memberikan petunjuk supaya Prabu Basupati mengambil keponakannya sebagai anak angkat yang dipersaudarakan dengan Raden Basumurti, yaitu anak kedua Dewi Brahmaneki yang bernama Raden Kanwa.
Prabu Basupati lalu berkunjung ke Kerajaan Gilingwesi untuk mewujudkan petunjuk dewata tersebut. Raden Parikenan dan Dewi Brahmaneki sebenarnya keberatan untuk melepaskan Raden Kanwa yang masih berusia dua tahun, namun mereka juga prihatin mendengar musibah yang kini terjadi di Kerajaan Wirata. Akhirnya, Dewi Brahmaneki pun menyerahkan Raden Kanwa kepada sang kakak, namun dengan disertai seorang pengasuh, yaitu Dewi Wakiswari, putri Arya Brahmanaradya.
Singkat cerita, wabah penyakit yang melanda Kerajaan Wirata telah lenyap sejak Prabu Basupati membawa Raden Kanwa dan Dewi Wakiswari. Entah bagaimana Prabu Basupati tiba-tiba merasa tertarik kepada Dewi Wakiswari dan ingin menjadikannya istri. Maka, ia pun mengirim lamaran kepada Arya Brahmanaradya di Kerajaan Gilingwesi. Arya Brahmanaradya pun menerima lamaran tersebut dengan senang hati, lalu ia berangkat ke Kerajaan Wirata dengan disertai putra yang lain, bernama Raden Wakiswara.
Pada hari yang ditentukan, dilaksanakanlah upacara pernikahan antara Prabu Basupati dengan Dewi Wakiswari. Prabu Basupati merasa ini semua berkat kedatangan Raden Kanwa di Kerajaan Wirata, sehingga ia kembali memiliki rasa suka terhadap wanita. Oleh sebab itu, Raden Kanwa pun diganti namanya menjadi Raden Kaniyasa.
Prabu Basupati juga senang melihat kepandaian dan ketangkasan Raden Wakiswara. Maka, ia pun mengangkat adik iparnya itu menjadi patih Kerajaan Wirata yang baru, bergelar Patih Wakiswara, untuk menggantikan Patih Sunggata yang telah menetap di Purwacarita.
PRABU BRAHMASATAPA BERTEMU DEWI ADIYANA DAN DEWI ADIYANTI
Sementara itu di Kerajaan Gilingwesi, Prabu Brahmasatapa pada suatu hari memanggil pimpinan makhluk halus yang menjaga istananya, yaitu Pisacaraja Bahli. Rupanya Prabu Brahmasatapa ingin mencoba lagi khasiat Minyak Pranawa. Setelah mengoleskan minyak tersebut di pelupuk mata dan kedua telinganya, Prabu Brahmasatapa lalu berjalan-jalan di sekitar istana Gilingwesi, dengan ditemani Pisacaraja Bahli. Mereka pun melihat sebuah istana gaib berwarna kuning keemasan yang dihuni oleh dua orang wanita cantik. Pisacaraja Bahli memperkenalkan mereka adalah sepasang jin wanita yang masih terhitung nenek Prabu Brahmasatapa. Kedua jin tersebut tidak lain adalah Dewi Adiyana (istri Batara Brahma) dan Dewi Adiyati (istri Batara Wisnu).
Prabu Brahmasatapa menyembah memberi hormat kepada kedua neneknya itu. Dewi Adiyana dan Dewi Adiyati sangat terkesan kepadanya dan berkenan untuk memberikan anugerah. Dewi Adiyana menyerahkan sebatang tebu untuk dimakan Prabu Brahmasatapa. Ternyata Prabu Brahmasatapa hanya mampu menghabiskan empat ruas saja dan sudah merasa kenyang. Maka, Dewi Adiyana pun meramalkan bahwa Kerajaan Gilingwesi sejak Batara Brahma hanya akan dipimpin oleh empat turunan saja. Itu artinya cucu Prabu Brahmasatapa tidak bisa menjadi raja.
Prabu Brahmasatapa sangat sedih dan ia meminta supaya diperbolehkan menghabiskan sisa tebu tadi. Namun, Dewi Adiyana tidak mengizinkan karena sudah terlanjur dan tiada gunanya lagi. Dewi Adiyati lalu menyerahkan sekantong biji bercampur kecambah kepada Prabu Brahmasatapa untuk diambil segenggam. Prabu Brahmasatapa merogoh kantong tersebut dan mengambil segenggam isinya. Ternyata dalam genggaman itu hanya empat biji saja yang belum berkecambah. Dewi Adiyati pun menjelaskan bahwa hanya empat keturunan saja di bawah Prabu Brahmasatapa yang tidak menjadi raja. Itu artinya, keturunan kelima akan kembali menjadi raja, namun bukan di Kerajaan Gilingwesi.
Prabu Brahmasatapa sangat gembira mendengar ramalan Dewi Adiyati tersebut. Ia lalu mohon pamit kembali ke alam nyata. Dewi Adiyana dan Dewi Adiyati pun memberinya hadiah berupa permata Manikhara sebagai kenang-kenangan.
LAHIRNYA RADEN MANONBAWA DAN RADEN BASUKESTI
Sesampainya di istana Gilingwesi, Prabu Brahmasatapa mendapatkan berita bahagia, yaitu Dewi Brahmaneki kembali melahirkan seorang bayi laki-laki (anak ketiga Raden Parikenan). Karena Prabu Brahmasatapa baru saja melihat istana berwarna keemasan di alam gaib, maka ia pun memberi nama cucunya itu, Raden Manonbawa.
Beberapa bulan kemudian, Prabu Basupati di Kerajaan Wirata juga memperoleh seorang putra yang dilahirkan Dewi Wakiswari. Ia pun memberi nama putra keduanya itu, Raden Basukesti.
Kisah ini disusun berdasarkan naskah Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 10 Februari 2015
Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------
RADEN PARIKENAN DITANTANG BUAYA PUTIH
Prabu Brahmasatapa di Kerajaan Gilingwesi baru saja pulang dari Kerajaan Purwacarita untuk menjenguk kedua putrinya yang melahirkan. Dewi Srini yang menikah dengan Raden Wahnaya telah melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Sriwanda, sedangkan Dewi Satapi yang menikah dengan Arya Sadaskara juga melahirkan seorang putra, diberi nama Raden Darmaruci.
Saat ini menantu Prabu Brahmasatapa, yaitu Dewi Brahmaneki (istri Raden Parikenan) juga sedang mengandung untuk yang kedua kalinya. Adapun anak pertama mereka, yaitu Dewi Kaniraras telah berusia satu tahun.
Ketika Prabu Brahmasatapa sedang memimpin pertemuan dengan Raden Parikenan, Patih Brahmasadana, Arya Brahmanaradya, Arya Brahmastuti, Arya Brahmanakestu, dan para punggawa Kerajaan Gilingwesi lainnya, tiba-tiba datang menghadap seorang laki-laki yang mengaku sebagai kepala Desa Cita, bernama Buyut Sanggora. Ia melaporkan tentang warga desanya yang sering diganggu buaya putih ketika lewat di dekat Sungai Jamuna. Buaya putih itu bisa berbicara seperti manusia, dan ia menitip pesan ingin berkelahi melawan Raden Parikenan. Jika Raden Parikenan menolak datang ke Sungai Jamuna, maka buaya putih itu akan semakin banyak menyerang warga desa. Sampai saat ini si buaya putih hanya melukai dan menakut-nakuti, namun ia mengancam untuk selanjutnya akan membunuh dan memangsa siapa saja yang lewat di dekat Sungai Jamuna.
Raden Parikenan prihatin mendengar laporan Buyut Sanggora tersebut. Ia pun mohon restu kepada sang ayah untuk menghadapi tantangan buaya putih tersebut. Prabu Brahmasatapa tidak tega dan memerintahkan Arya Brahmanaradya untuk mengawal Raden Parikenan. Akan tetapi, Patih Brahmasadana menawarkan dirinya untuk menggantikan Arya Brahmanaradya mengawal sang pangeran. Rupanya dalam hati ia menduga kalau buaya putih tersebut tidak lain adalah penjelmaan kakaknya, yaitu Dewi Rajatadi yang setahun lalu mendapat kutukan dari Prabu Brahmasatapa.
Prabu Brahmasatapa memberikan izin kepada Patih Brahmasadana untuk mengawal Raden Parikenan. Maka, Raden Parikenan dan Patih Brahmasadana pun mohon pamit berangkat dengan dipandu Buyut Sanggora menuju ke Sungai Jamuna, tempat si buaya putih berada.
RADEN PARIKENAN MENGALAHKAN BUAYA PUTIH
Raden Parikenan dan Patih Brahmasadana bersama Buyut Sanggora telah sampai di tepi Sungai Jamuna tempat buaya putih sering mengganggu warga. Raden Parikenan lalu berteriak memanggil buaya putih itu agar keluar dari persembunyiannya. Tidak lama kemudian, si buaya putih pun muncul dari dalam sungai dan langsung menyerang Raden Parikenan. Terjadilah perkelahian sengit di antara mereka.
Patih Brahmasadana hanya menonton sambil berjaga-jaga. Ia kini sangat yakin kalau buaya putih tersebut adalah penjelmaan kakaknya. Saat itu Raden Parikenan tampak bergulat melawan si buaya putih dan perkelahian mereka pun berlanjut di dalam sungai. Patih Brahmasadana sangat khawatir dan berniat ikut mencebur. Akan tetapi, tiba-tiba Raden Parikenan keluar dari dalam sungai bersama Dewi Rajatadi yang kini telah kembali ke dalam wujud manusia.
Sesampainya di darat, Raden Parikenan bercerita bahwa di dalam air tadi ia bergulat melawan buaya putih. Ketika napasnya mulai sesak, Raden Parikenan pun menusukkan kerisnya ke dalam mulut buaya putih tersebut. Sungguh ajaib, si buaya putih tiba-tiba berubah wujud menjadi ibu tirinya, yaitu Dewi Rajatadi. Mendengar cerita itu Patih Brahmasadana merasa sangat gembira. Dewi Rajatadi juga sangat berterima kasih kepada Raden Parikenan yang telah meruwat dirinya hingga terbebas dari kutukan. Mereka pun bersama-sama kembali ke Kerajaan Gilingwesi untuk menghadap Prabu Brahmasatapa.
LAHIRNYA RADEN KANWA
Prabu Brahmasatapa menyambut gembira atas keberhasilan Raden Parikenan. Ia juga sangat bahagia melihat Dewi Rajatadi telah terbebas dari kutukan dan kembali menjadi manusia. Dewi Rajatadi memohon maaf atas segala dosa-dosanya dan berjanji akan menjadi istri yang baik di sisi Prabu Brahmasatapa. Suasana haru pun kini tampak menghiasi istana Kerajaan Gilingwesi.
Dewi Rajatadi lalu bercerita tentang pengalamannya selama setahun menjadi buaya putih di Sungai Jamuna. Awalnya ia sangat marah dan kecewa, namun kemudian menyesali segala kesalahannya. Siang dan malam ia bertapa memohon petunjuk dewata supaya terbebas dari kutukan dan bisa kembali menjadi manusia. Setelah sekian lama bertapa, tiba-tiba terdengar suara dewata berbisik bahwa yang bisa membebaskan dirinya dari kutukan adalah Raden Parikenan, yang dulu semasa bayi pernah dibuangnya ke hutan dan ditukar dengan bayi kambing.
Dewi Rajatadi sangat malu dan menyesal saat disinggung tentang perbuatan jahatnya di masa lalu tersebut. Ia lalu mengatur rencana bagaimana supaya Raden Parikenan datang ke Sungai Jamuna. Maka, setiap ada warga Desa Cita yang lewat di dekat Sungai Jamuna pun langsung diserangnya. Kepada mereka, ia menitip pesan supaya Raden Parikenan didatangkan di hadapannya.
Demikianlah, siasat Dewi Rajatadi akhirnya berhasil karena Buyut Sanggora telah mendatangkan Raden Parikenan ke Sungai Jamuna dan membebaskan dirinya dari wujud buaya putih, kembali menjadi manusia. Prabu Brahmasatapa terharu mendengar penuturan istrinya dan ia pun bersedia menerima kembali Dewi Rajatadi asalkan benar-benar menyesali perbuatannya di masa lalu.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul para dayang yang melaporkan bahwa Dewi Brahmaneki telah melahirkan bayi laki-laki, anak kedua Raden Parikenan. Prabu Brahmasatapa sangat gembira dan memberi nama cucunya itu, Raden Kanwa.
PRABU BASUPATI MENGUSIR PATIH SUNGGATA
Dua tahun kemudian di Kerajaan Wirata terjadi wabah penyakit yang menewaskan banyak penduduk. Prabu Basupati sangat sedih dan mengajak Patih Sunggata untuk memasang tumbal demi melenyapkan wabah penyakit tersebut. Patih Sunggata tidak setuju dan menyarankan agar Prabu Basupati menikah lagi. Patih Sunggata yakin bahwa musibah wabah penyakit tersebut adalah teguran dewata yang tidak senang melihat ada seorang raja menduda tanpa pendamping. Adapun istri Prabu Basupati, yaitu Dewi Indradi telah lama meninggal setelah melahirkan putra pertama mereka, yang diberi nama Raden Basumurti.
Mendengar usulan tersebut, Prabu Basupati sangat tersinggung dan menuduh Patih Sunggata bersikap lancang berani mencampuri urusan pribadinya. Ia mengatakan bahwa selain mendiang Dewi Indradi, tidak ada lagi wanita di dunia ini yang mampu memikat hatinya. Patih Sunggata pun diusir pergi dari istana beserta putranya yang bernama Arya Sarisungga.
Patih Sunggata dan Arya Sarisungga kemudian pergi ke Kerajaan Purwacarita untuk mengabdi kepada Prabu Sri Mahawan. Mendengar apa yang terjadi di Kerajaan Wirata, Prabu Sri Mahawan ikut merasa prihatin. Ia lalu menerima pengabdian ayah dan anak tersebut, di mana Patih Sunggata diangkat sebagai kepala pembuat senjata, sedangkan Arya Sarisungga dijadikan punggawa penjaga perbatasan.
PRABU BASUPATI MENGAMBIL RADEN KANWA SEBAGAI ANAK ANGKAT
Setelah mengusir Patih Sunggata dan Arya Sarisungga, Prabu Basupati masuk ke dalam sanggar pemujaan untuk bersamadi memohon petunjuk dewata demi membebaskan Kerajaan Wirata dari wabah penyakit yang sedang melanda. Dewata pun memberikan petunjuk supaya Prabu Basupati mengambil keponakannya sebagai anak angkat yang dipersaudarakan dengan Raden Basumurti, yaitu anak kedua Dewi Brahmaneki yang bernama Raden Kanwa.
Prabu Basupati lalu berkunjung ke Kerajaan Gilingwesi untuk mewujudkan petunjuk dewata tersebut. Raden Parikenan dan Dewi Brahmaneki sebenarnya keberatan untuk melepaskan Raden Kanwa yang masih berusia dua tahun, namun mereka juga prihatin mendengar musibah yang kini terjadi di Kerajaan Wirata. Akhirnya, Dewi Brahmaneki pun menyerahkan Raden Kanwa kepada sang kakak, namun dengan disertai seorang pengasuh, yaitu Dewi Wakiswari, putri Arya Brahmanaradya.
Singkat cerita, wabah penyakit yang melanda Kerajaan Wirata telah lenyap sejak Prabu Basupati membawa Raden Kanwa dan Dewi Wakiswari. Entah bagaimana Prabu Basupati tiba-tiba merasa tertarik kepada Dewi Wakiswari dan ingin menjadikannya istri. Maka, ia pun mengirim lamaran kepada Arya Brahmanaradya di Kerajaan Gilingwesi. Arya Brahmanaradya pun menerima lamaran tersebut dengan senang hati, lalu ia berangkat ke Kerajaan Wirata dengan disertai putra yang lain, bernama Raden Wakiswara.
Pada hari yang ditentukan, dilaksanakanlah upacara pernikahan antara Prabu Basupati dengan Dewi Wakiswari. Prabu Basupati merasa ini semua berkat kedatangan Raden Kanwa di Kerajaan Wirata, sehingga ia kembali memiliki rasa suka terhadap wanita. Oleh sebab itu, Raden Kanwa pun diganti namanya menjadi Raden Kaniyasa.
Prabu Basupati juga senang melihat kepandaian dan ketangkasan Raden Wakiswara. Maka, ia pun mengangkat adik iparnya itu menjadi patih Kerajaan Wirata yang baru, bergelar Patih Wakiswara, untuk menggantikan Patih Sunggata yang telah menetap di Purwacarita.
PRABU BRAHMASATAPA BERTEMU DEWI ADIYANA DAN DEWI ADIYANTI
Sementara itu di Kerajaan Gilingwesi, Prabu Brahmasatapa pada suatu hari memanggil pimpinan makhluk halus yang menjaga istananya, yaitu Pisacaraja Bahli. Rupanya Prabu Brahmasatapa ingin mencoba lagi khasiat Minyak Pranawa. Setelah mengoleskan minyak tersebut di pelupuk mata dan kedua telinganya, Prabu Brahmasatapa lalu berjalan-jalan di sekitar istana Gilingwesi, dengan ditemani Pisacaraja Bahli. Mereka pun melihat sebuah istana gaib berwarna kuning keemasan yang dihuni oleh dua orang wanita cantik. Pisacaraja Bahli memperkenalkan mereka adalah sepasang jin wanita yang masih terhitung nenek Prabu Brahmasatapa. Kedua jin tersebut tidak lain adalah Dewi Adiyana (istri Batara Brahma) dan Dewi Adiyati (istri Batara Wisnu).
Prabu Brahmasatapa menyembah memberi hormat kepada kedua neneknya itu. Dewi Adiyana dan Dewi Adiyati sangat terkesan kepadanya dan berkenan untuk memberikan anugerah. Dewi Adiyana menyerahkan sebatang tebu untuk dimakan Prabu Brahmasatapa. Ternyata Prabu Brahmasatapa hanya mampu menghabiskan empat ruas saja dan sudah merasa kenyang. Maka, Dewi Adiyana pun meramalkan bahwa Kerajaan Gilingwesi sejak Batara Brahma hanya akan dipimpin oleh empat turunan saja. Itu artinya cucu Prabu Brahmasatapa tidak bisa menjadi raja.
Prabu Brahmasatapa sangat sedih dan ia meminta supaya diperbolehkan menghabiskan sisa tebu tadi. Namun, Dewi Adiyana tidak mengizinkan karena sudah terlanjur dan tiada gunanya lagi. Dewi Adiyati lalu menyerahkan sekantong biji bercampur kecambah kepada Prabu Brahmasatapa untuk diambil segenggam. Prabu Brahmasatapa merogoh kantong tersebut dan mengambil segenggam isinya. Ternyata dalam genggaman itu hanya empat biji saja yang belum berkecambah. Dewi Adiyati pun menjelaskan bahwa hanya empat keturunan saja di bawah Prabu Brahmasatapa yang tidak menjadi raja. Itu artinya, keturunan kelima akan kembali menjadi raja, namun bukan di Kerajaan Gilingwesi.
Prabu Brahmasatapa sangat gembira mendengar ramalan Dewi Adiyati tersebut. Ia lalu mohon pamit kembali ke alam nyata. Dewi Adiyana dan Dewi Adiyati pun memberinya hadiah berupa permata Manikhara sebagai kenang-kenangan.
LAHIRNYA RADEN MANONBAWA DAN RADEN BASUKESTI
Sesampainya di istana Gilingwesi, Prabu Brahmasatapa mendapatkan berita bahagia, yaitu Dewi Brahmaneki kembali melahirkan seorang bayi laki-laki (anak ketiga Raden Parikenan). Karena Prabu Brahmasatapa baru saja melihat istana berwarna keemasan di alam gaib, maka ia pun memberi nama cucunya itu, Raden Manonbawa.
Beberapa bulan kemudian, Prabu Basupati di Kerajaan Wirata juga memperoleh seorang putra yang dilahirkan Dewi Wakiswari. Ia pun memberi nama putra keduanya itu, Raden Basukesti.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
kembali ke: daftar isi
Posting Komentar
Posting Komentar
- Tuangkan saran maupun kritik dan jangan meninggalkan Spam.
- Berkomentarlah dengan bijak sesuai dengan konten yang tersedia.
- Tidak Boleh Promosi