Kisah ini menceritakan Batara Ajisaka atau Empu Sangkala datang lagi ke Tanah Jawa sebagai Brahmana Wisaka yang berhasil mengakhiri kekuasaan Sri Maharaja Purwacandra tanpa menggunakan kekerasan. Ia kemudian naik takhta di Medang Kamulan, bergelar Sri Maharaja Wisaka serta memerdekakan Kerajaan Gilingwesi, Purwacarita, dan Wirata.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
SRI MAHARAJA PURWACANDRA INGIN PEMBARUAN WADYA SESELIRAN
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 14 Februari 2015
Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------
SRI MAHARAJA PURWACANDRA INGIN PEMBARUAN WADYA SESELIRAN
Sri Maharaja Purwacandra di Kerajaan Medang Kamulan dihadap Patih Sukapa beserta para punggawa utama, yaitu Raja Tinggara, Raja Patanggara, Raja Yogyapara, Raja Dyapara, dan Raja Capala. Hadir pula para raja bawahan, yaitu Prabu Brahmasatapa dari Gilingwesi, Prabu Sri Mahawan dari Purwacarita, dan Prabu Basupati dari Wirata. Ketiga raja bawahan ini melaporkan keadaan negeri masing-masing. Dalam kesempatan itu Prabu Brahmasatapa juga mengabarkan kelahiran cucu barunya, yang diberi nama Raden Paridarma (anak keempat Raden Parikenan dan Dewi Brahmaneki).
Sri Maharaja Purwacandra lalu membubarkan pertemuan, kecuali Prabu Sri Mahawan saja yang disuruhnya tetap tinggal. Sebagaimana yang sudah diketahui banyak orang, sejak muda Sri Maharaja Purwacandra menderita kelainan seksual, yaitu hanya menyukai hubungan sesama jenis dan tidak mau menikah dengan perempuan. Untuk melampiaskan nafsu birahinya, ia memiliki satu kelompok bernama Wadya Seseliran yang beranggotakan para pemuda tampan. Namun, saat ini Sri Maharaja Purwacandra merasa sudah bosan dengan mereka dan ingin dicarikan para pemuda tampan yang baru. Dulu ia pernah memerintahkan Prabu Brahmasatapa melakukan itu namun gagal. Kini, Sri Maharaja Purwacandra pun memerintahkan Prabu Sri Mahawan untuk mencarikan para pemuda tampan dari wilayah Kerajaan Purwacarita sebagai anggota Wadya Seseliran yang baru.
Prabu Sri Mahawan sebagai raja bawahan hanya bisa menyanggupi perintah tersebut, meskipun dalam hati merasa muak. Ia lalu mohon pamit berangkat meninggalkan istana Medang Kamulan.
PRABU BASUPATI MENIKAHI DEWI AWANTI
Sementara itu, Prabu Brahmasatapa dan Prabu Basupati diundang Raja Capala untuk singgah di rumahnya sebelum meraka kembali ke negeri masing-masing. Di tempat itu Prabu Basupati jatuh hati melihat putri Raja Capala yang bernama Dewi Awanti. Ia pun berterus terang mengajukan lamaran untuk menjadikan Dewi Awanti sebagai istri, di samping Dewi Wakiswari putri Arya Brahmanaradya.
Raja Capala menerima lamaran tersebut, namun dengan syarat Prabu Basupati harus membawa pula kedua putranya yang lain untuk tinggal di Kerajaan Wirata. Mereka adalah Raden Awama (kakak Dewi Awanti) dan Raden Awangga (adik Dewi Awanti). Rupanya Raja Capala merasa khawatir kalau kedua putranya itu dijadikan anggota Wadya Seseliran untuk memuaskan nafsu birahi Sri Maharaja Purwacandra.
Prabu Basupati menerima syarat tersebut. Maka, dilangsungkanlah upacara pernikahan antara dirinya dengan Dewi Awanti, yang disaksikan oleh Prabu Brahmasatapa. Pernikahan itu berlangsung sederhana saja. Esok harinya, Prabu Basupati dan Dewi Awanti mohon pamit berangkat ke Kerajaan Wirata dengan disertai Arya Awama dan Arya Awangga, sedangkan Prabu Brahmasatapa pamit pula kembali ke Kerajaan Gilingwesi.
MUNCULNYA BRAHMANA WISAKA
Sementara itu, Prabu Sri Mahawan disertai para pengawalnya masih menjalankan perintah Sri Maharaja Purwacandra untuk mengumpulkan para pemuda tampan sebagai Wadya Seseliran yang baru. Di sepanjang jalan apabila ada pemuda tampan yang bertemu mereka pasti segera ditangkap dan dimasukkan ke dalam kereta kurungan.
Perjalanan Prabu Sri Mahawan dan pasukannya akhirnya sampai di Gunung Kanda, di mana hidup seorang guru bernama Danghyang Salikoswa bersama putranya yang tampan, bernama Bambang Kusalya. Prabu Sri Mahawan pun meminta Danghyang Salikoswa untuk menyerahkan Bambang Kusalya sebagai anggota Wadya Seseliran. Danghyang Salikoswa merasa ketakutan dan hanya bisa pasrah, tetapi Bambang Kusalya menolak mentah-mentah. Pemuda itu mencela kelakuan Sri Maharaja Purwacandra sebagai raja tertinggi di Pulau Jawa tetapi tidak melindungi rakyatnya, justru menyebar ketakutan. Meskipun seluruh Tanah Jawa makmur, tetapi rakyat dilanda kekhawatiran, takut dijadikan pemuas birahi Sang Maharaja.
Prabu Sri Mahawan dalam hati membenarkan ucapan Bambang Kusalya, namun di sisi lain ia juga takut kepada Sri Maharaja Purwacandra. Maka, ia terpaksa menggunakan kekerasan untuk memaksa pemuda itu ikut dengannya. Bambang Kusalya pun berusaha melarikan diri menghindari penangkapan tersebut.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul serombongan pria tampan dari Tanah Hindustan. Pemimpin mereka bernama Brahmana Wisaka, sedangkan anggotanya adalah murid-muridnya yang berjumlah tujuh puluh orang. Brahmana Wisaka menanyakan ada permasalahan apa, dan setelah mengetahui jawabannya, ia pun menawarkan diri kepada Prabu Sri Mahawan untuk dijadikan Wadya Seseliran beserta seluruh muridnya, tetapi Bambang Kusalya dan para pemuda lainnya dibebaskan. Melihat wajah Brahmana Wisaka dan murid-muridnya tiada yang jelek, Prabu Sri Mahawan pun setuju. Ia lalu kembali ke istana Medang Kamulan dengan membawa mereka semua.
BRAHMANA WISAKA ADU KEPANDAIAN MELAWAN SRI MAHARAJA PURWACANDRA
Sesampainya di istana, Prabu Sri Mahawan menghadapkan rombongan Brahmana Wisaka itu kepada Sri Maharaja Purwacandra. Melihat ada tujuh puluh satu laki-laki tampan di hadapannya, Sri Maharaja Purwacandra merasa sangat senang dan memuji keberhasilan Prabu Sri Mahawan.
Akan tetapi, Brahmana Wisaka tidak mau dijadikan anggota Wadya Seseliran begitu saja apabila tantangannya tidak diterima oleh Sri Maharaja Purwacandra, yaitu adu kepandaian berhitung. Sri Maharaja Purwacandra merasa tertantang dan mengabulkannya. Bahkan, ia juga berjanji apabila dirinya kalah, maka Kerajaan Medang Kamulan akan diserahkan kepada Brahmana Wisaka. Sebaliknya, jika ia yang menang, maka brahmana tampan itu harus menjadi anggota Wadya Seseliran pemuas birahinya.
Maka, dimulailah adu kepandaian berhitung antara Sri Maharaja Purwacandra melawan Brahmana Wisaka. Setelah melewati beberapa babak, Sri Maharaja Purwacandra akhirnya mengakui kepandaian Brahmana Wisaka berada di atasnya. Dengan sikap kesatria, ia lalu masuk ke dalam sanggar pemujaan disertai kedua adiknya, yaitu Raja Tinggara dan Raja Patanggara, kemudian mereka bersama-sama mengheningkan cipta melepaskan roh masing-masing.
Melihat Sang Maharaja telah meninggal, Patih Sukapa, Raja Yogyapara, Raja Dyapara, Raja Wigara, beserta para punggawa lainnya pun bersama-sama masuk ke sanggar pemujaan untuk ikut melepas roh pula. Yang tersisa kini hanyalah Raja Capala dan adik-adiknya, yaitu Arya Caracapa, Arya Gandara, dan Arya Kumbina. Mereka berempat kemudian menyatakan tunduk kepada Brahmana Wisaka.
BRAHMANA WISAKA MENJADI RAJA MEDANG KAMULAN
Prabu Sri Mahawan sangat terkesan melihat kepandaian Brahmana Wisaka yang berhasil mengalahkan Sri Maharaja Purwacandra tanpa kekerasan sedikit pun. Ternyata Brahmana Wisaka ini tidak lain adalah penjelmaan Batara Ajisaka atau Empu Sangkala yang dahulu kala pernah datang ke Pulau Jawa memasang tumbal supaya dapat dihuni manusia. Kini ia datang kembali atas perintah Batara Guru untuk mengakhiri perbuatan menyimpang Sri Maharaja Purwacandra yang banyak meresahkan rakyatnya itu, serta untuk mengajarkan bahasa Sanskerta dan aksara Dewanagari kepada masyarakat Jawa.
Sesuai perjanjian, Brahmana Wisaka pun menjadi raja Medang Kamulan yang baru, bergelar Sri Maharaja Wisaka. Meskipun memakai gelar maharaja, namun ia tidak ingin menjadi penguasa tunggal di Pulau Jawa. Ia pun mengumumkan bahwa Kerajaan Purwacarita, Gilingwesi, dan Wirata mulai saat ini kembali menjadi negeri merdeka dan tidak lagi berada di bawah kekuasaan Medang Kamulan.
Sebagai orang asing yang tiba-tiba menjadi raja, Sri Maharaja Wisaka merasa tidak leluasa memerintah. Ia lalu mengajak Raja Capala dan ketiga adiknya untuk memimpin Medang Kamulan bersama-sama, sehingga mereka berlima pun disebut sebagai Raja Palima. Adapun yang diangkat sebagai menteri utama adalah Bambang Kusalya, bergelar Patih Kusalya. Sementara ayahnya, yaitu Danghyang Salikoswa diangkat sebagai pandita kerajaan, bergelar Brahmana Salikoswa.
KETIGA RAJA BERGURU KEPADA SRI MAHARAJA WISAKA
Prabu Sri Mahawan yang menyaksikan perubahan besar tersebut segera pergi ke Kerajaan Gilingwesi untuk menemui Prabu Brahmasatapa. Ia mengabarkan berita kematian Sri Maharaja Purwacandra dan kini Kerajaan Medang Kamulan diperintah oleh Sri Maharaja Wisaka yang sangat bijaksana. Prabu Brahmasatapa terkejut sekaligus gembira karena dalam hati ia masih menyimpan sakit hati atas kematian ayahnya dulu, yaitu Prabu Brahmanaraja yang tewas di tangan Sri Maharaja Purwacandra (saat masih bernama Prabu Cingkaradewa).
Prabu Sri Mahawan dan Prabu Brahmasatapa lalu pergi ke Kerajaan Wirata menemui Prabu Basupati untuk menyampaikan berita tersebut. Prabu Basupati sangat terkejut pula dan sekaligus gembira karena Kerajaan Wirata kini telah kembali menjadi negeri merdeka. Mereka bertiga lalu berunding dan akhirnya sepakat untuk berguru kepada Sri Maharaja Wisaka. Maka, berangkatlah ketiga raja itu menuju Kerajaan Medang Kamulan.
Sri Maharaja Wisaka pun menerima mereka sebagai murid. Ia lalu mengajarkan aksara Dewanagari, bahasa Sanskerta, ilmu kesaktian, ilmu berhitung, dan ilmu kesempurnaan kepada ketiga raja tersebut. Beberapa hari kemudian, putra sulung Prabu Sri Mahawan, yaitu Raden Wandawa (yang lahir dari Dewi Panitra) datang menyusul untuk ikut berguru pula. Sri Maharaja Wisaka sangat senang melihat kecerdasannya. Ia lalu menjadikan Raden Wandawa sebagai anak angkat dan menyuruhnya untuk tinggal menetap di Medang Kamulan.
Setelah beberapa bulan terlewati, tiba-tiba datang Arya Awangga dari Kerajaan Wirata yang membawa kabar gembira bahwa kakaknya, yaitu Dewi Awanti telah melahirkan seorang putra. Prabu Basupati sangat gembira atas kelahiran putra ketiganya itu dan mohon untuk diizinkan pulang. Sri Maharaja Wisaka merasa ikut senang dan ia pun mengajak Raja Capala, Prabu Brahmasatapa, dan Prabu Sri Mahawan untuk menyertai Prabu Basupati kembali ke Wirata.
Sesampainya di istana Wirata, Prabu Basupati segera menggendong putra ketiganya itu dan memberinya nama, Raden Basunanda.
RADEN WANDAWA MENJADI RAJA MEDANG KAMULAN
Setelah dua tahun menjadi raja di Medang Kamulan, Sri Maharaja Wisaka akhirnya menyatakan turun takhta untuk melanjutkan perjalanannya mengajarkan baca tulis kepada masyarakat Jawa. Apabila terus-menerus dirinya tinggal di istana, tentu hanya akan menciptakan kesenjangan belaka. Maka, Sri Maharaja Wisaka pun kembali menjadi Brahmana Wisaka dan menyerahkan takhta kepada putra angkatnya, yaitu Raden Wandawa.
Pada hari yang ditentukan, Raden Wandawa dilantik sebagai raja Medang Kamulan yang baru, bergelar Prabu Sriwahana. Esok harinya, ia melepas keberangkatan Brahmana Wisaka dengan perasaan haru. Brahmana Wisaka pun melanjutkan perjalanannya mengajarkan ilmu baca tulis kepada masyarakat Jawa. Setelah dirasa cukup, ia lalu kembali ke Tanah Hindustan sebagai Batara Ajisaka.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
kembali ke: daftar isi
Posting Komentar
Posting Komentar
- Tuangkan saran maupun kritik dan jangan meninggalkan Spam.
- Berkomentarlah dengan bijak sesuai dengan konten yang tersedia.
- Tidak Boleh Promosi