Kisah ini menceritakan Prabu Sindula putra Prabu Watugunung yang dikalahkan anaknya sendiri, bernama Prabu Cingkaradewa. Kisah dilanjutkan dengan usaha Prabu Cingkaradewa menguasai seluruh Tanah Jawa, yaitu dengan menewaskan Prabu Brahmanaraja dan Prabu Sri Mahapunggung, serta menaklukkan Prabu Basurata.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
RIWAYAT PRABU CINGKARADEWA PUTRA PRABU SINDULA
Prabu Sindula (putra Prabu Watugunung) di Kerajaan Medang Galungan dihadap Patih Sukapa dan para punggawa, antara lain Raja Wipara, Raja Dyapara, Raja Yogyapara, dan Raja Capala. Dalam pertemuan itu mereka sedang membicarakan selesainya pembangunan istana baru di bawah tanah, yang disebut Keraton Gotaka.
Tiba-tiba datanglah utusan dari Kerajaan Medang Kamulan yang bernama Arya Dwapara (adik Raja Capala). Adapun raja Medang Kamulan bernama Prabu Cingkaradewa, tidak lain adalah putra Prabu Sindula sendiri, yang dulu telah diusir dari Medang Galungan. Ia bernama asli Raden Sadewa.
Dari perkawinan Prabu Sindula dan Dewi Tulus (putri Begawan Sukra) telah lahir empat orang anak, yaitu Dewi Ratnadewi, Raden Sadewa, Raden Dewata, dan Raden Jawata. Beberapa tahun yang lalu, Prabu Sindula telah mengusir Raden Sadewa pergi dari Medang Galungan karena putra keduanya itu berkelakuan menyimpang, yaitu suka bersetubuh dengan sesama laki-laki.
Awal dari kisah tersebut ialah Raden Sadewa jatuh cinta kepada adik Raja Capala yang bernama Dewi Capadi. Karena Raden Sadewa adalah cucu Prabu Watugunung, sedangkan Dewi Capadi adalah putri Patih Suwelacala, itu berarti Raden Sadewa jatuh cinta kepada bibinya sendiri. Tentu saja Dewi Capadi menolak karena takut melanggar aturan agama. Akan tetapi, Raden Sadewa tidak peduli dan ia berniat memerkosa bibinya itu. Karena terus didesak, Dewi Capadi akhirnya nekat bunuh diri, membuat Raden Sadewa sangat berduka.
Kematian Dewi Capadi telah membuat Raden Sadewa membenci perempuan dan lebih mencintai laki-laki. Ia tidak mau menikah secara wajar dan lebih suka melakukan hubungan sejenis (homoseksual). Hal ini membuat Prabu Sindula sangat marah dan mengusir anak keduanya itu. Raden Sadewa pun pergi meninggalkan Medang Galungan dengan disertai tiga orang adik Dewi Capadi, yaitu Arya Dwapara, Arya Gandara, dan Arya Kumbina.
Kini, peristiwa itu telah lama berlalu. Arya Dwapara yang datang ke istana Medang Galungan bercerita bahwa, setelah Raden Sadewa diusir pergi, ia lantas berkelana sampai ke Tanah Pagelen, yaitu di bekas istana Medang Kamulan dulu (zaman Prabu Palindriya). Di tempat itu ia membangun kembali istana milik kakek buyutnya tersebut dan menjadi raja di sana, bergelar Prabu Cingkaradewa.
Pada suatu hari Prabu Cingkaradewa menemukan arca dari emas yang terpendam di dalam tanah. Arca itu berwujud Batara Guru duduk bersila, yang pada tempat duduknya bertuliskan kalimat: “Anak dan harta jika dipelihara dengan baik, akan menjadi baik. Jika tidak memiliki anak akan membuat hati kecil. Jika tidak mempunyai harta akan sulit mewujudkan cita-cita.”
Kedatangan Arya Dwapara ke Medang Galungan kali ini adalah diutus Prabu Cingkaradewa untuk mempersembahkan arca emas tersebut kepada Prabu Sindula sebagai tanda penyesalan. Akan tetapi, Prabu Sindula justru tersinggung karena merasa arca emas itu dimaksudkan untuk menyindir dirinya. Ia pun mengusir Arya Dwapara dan menyuruhnya membawa kembali arca emas tersebut. Prabu Sindula sama sekali tidak mau mengampuni putra keduanya yang berkelakuan menyimpang itu, bahkan ingin menjatuhkan hukuman mati kepadanya.
PRABU CINGKARADEWA MENDATANGI KERAJAAN MEDANG GALUNGAN
Arya Dwapara telah kembali ke Kerajaan Medang Kamulan menghadap Prabu Cingkaradewa. Setelah mendengar semua laporan, Prabu Cingkaradewa memutuskan untuk menyerahkan nyawa kepada sang ayah di istana Medang Galungan jika memang ia dikehendaki mati. Maka, raja Medang Kamulan itu pun berangkat dengan disertai pasukannya yang dipimpin Arya Dwapara, Arya Gandara, dan Arya Kumbina.
Sementara itu, Prabu Sindula justru salah paham mengira Prabu Cingkaradewa datang membawa pasukan untuk menyerang dirinya. Ia pun mengerahkan pasukan Medang Galungan untuk menghadapinya dengan dipimpin putra ketiga dan keempat, yaitu Raden Dewata dan Raden Jawata. Mendengar sesama putranya akan bertempur dan saling bunuh, sang permaisuri Dewi Tulus merasa sangat sedih. Ia lalu terjun ke dalam api, yang kemudian disusul putri sulungnya, yaitu Dewi Ratnadewi.
Prabu Sindula sangat menyesal mengetahui istri dan anak tertuanya telah mati bunuh diri. Namun, ia terlanjur mengeluarkan perintah, sedangkan Raden Dewata dan Raden Jawata juga telah berangkat ke medan perang.
AKHIR HIDUP PRABU SINDULA
Sementara itu, Raden Dewata dan Raden Jawata merasa bimbang melaksanakan perintah sang ayah karena harus bertempur melawan kakak sendiri. Mereka pun memutuskan pura-pura berperang saja, agar bisa bersikap aman pada kedua pihak. Maka, ketika pertempuran terjadi, kedua pangeran itu pun pura-pura tewas terkena senjata Prabu Cingkaradewa.
Akan tetapi, para prajurit Medang Galungan yang tidak tahu-menahu sandiwara itu mengira kedua pangeran benar-benar mati. Maka, mereka pun melaporkan hal itu kepada Prabu Sindula. Amarah Prabu Sindula kembali berkobar dibuatnya. Ia pun berangkat menuju ke medan perang. Meskipun Patih Sukapa, Raja Wipara, Raja Dyapara, Raja Yogyapara, dan Raja Capala berusaha menasihati bahwa itu semua hanyalah sandiwara, namun Prabu Sindula tidak peduli.
Prabu Sindula yang tiba di medan tempur segera disambut oleh sembah bakti Prabu Cingkaradewa. Ia juga melihat Raden Dewata dan Raden Jawata hidup kembali, karena mereka memang hanya pura-pura mati. Prabu Sindula menjadi sangat malu menyadari kesalahannya. Ia lalu kembali ke istana dan mengheningkan cipta melepaskan roh, memutus nyawa sendiri.
KERAJAAN MEDANG KAMULAN DIPINDAHKAN KE MEDANG GALUNGAN
Prabu Cingkaradewa, Raden Dewata, dan Raden Jawata sangat berduka mendengar kematian ayah mereka, juga kematian sang ibu dan kakak sulung. Sementara itu, Patih Sukapa dan para punggawa telah bermusyawarah dan sepakat mengangkat Prabu Cingkaradewa sebagai raja Medang Galungan yang baru.
Prabu Cingkaradewa menerima keputusan itu, namun ia kemudian mengubah nama Medang Galungan menjadi Medang Kamulan. Patih Sukapa tetap menduduki jabatannya, begitu pula para punggawa lainnya. Hanya saja, nama Arya Dwapara diganti menjadi Arya Caracapa supaya tidak mirip dengan Raja Dyapara.
PRABU CINGKARADEWA MENDAPAT PERINTAH MENAKLUKKAN TANAH JAWA
Pada suatu hari Prabu Cingkaradewa pergi berkelana didampingi Patih Sukapa dengan menyamar sebagai rakyat biasa untuk melihat secara langsung kehidupan masyarakat pedesaan. Setelah dirasa cukup, Patih Sukapa lalu mendampingi Prabu Cingkaradewa melakukan tapa kungkum, yaitu berendam di tengah sungai yang mengalir.
Setelah bertapa kungkum beberapa hari, Prabu Cingkaradewa didatangi arwah leluhurnya, yaitu Sri Maharaja Kanwa Pakukuhan yang memberikan perintah supaya ia menaklukkan Tanah Jawa. Sri Maharaja Kanwa ingin keturunannya itu menjadi maharaja penguasa Tanah Jawa seperti dirinya dulu semasa hidup. Sebagai senjata, Sri Maharaja Kanwa pun memberikan pusaka Pedang Candrahasa kepada Prabu Cingkaradewa.
KEMATIAN PRABU BRAHMANARAJA
Setelah mendapatkan perintah dari sang leluhur, Prabu Cingkaradewa dan Patih Sukapa segera kembali ke istana Medang Kamulan dan mulai mempersiapkan pasukan. Terhitung ada tiga kerajaan besar di Tanah Jawa yang harus ditaklukkan, yaitu Gilingwesi, Wirata, dan Purwacarita. Sebagai sasaran pertama, Prabu Cingkaradewa pun berangkat menyerbu Kerajaan Gilingwesi.
Prabu Brahmanaraja di Kerajaan Gilingwesi menerima surat tantangan dari cucu Prabu Watugunung tersebut. Ia pun memimpin pasukan untuk menyambut serangan. Maka, terjadilah pertempuran yang menewaskan banyak prajurit di kedua pihak. Prabu Cingkaradewa lalu menantang Prabu Brahmanaraja bertanding satu lawan satu. Pertarungan seru pun terjadi di antara mereka. Akhirnya, Prabu Brahmanaraja tewas terkena Pedang Candrahasa milik Prabu Cingkaradewa.
Prabu Cingkaradewa kemudian menawan semua anggota keluarga Prabu Brahmanaraja dan memasukkan mereka ke dalam penjara. Namun demikian, ada satu orang yang berhasil meloloskan diri, yaitu sang pangeran mahkota Raden Tritrusta.
KEMATIAN PRABU SRI MAHAPUNGGUNG
Setelah menaklukkan Kerajaan Gilingwesi, Prabu Cingkaradewa lalu menyerbu Kerajaan Wirata. Pertempuran kembali terjadi dan lagi-lagi dimenangkan oleh pihak Medang Kamulan. Prabu Basurata raja Wirata yang kalah perang melarikan diri bersama Patih Sunggata untuk meminta perlindungan kepada kakaknya, yaitu Prabu Sri Mahapunggung di Kerajaan Purwacarita.
Sementara itu, Prabu Sri Mahapunggung sedang berbahagia karena cucunya baru saja lahir, yaitu putra dari perkawinan Raden Wandu dan Dewi Laksmitawahni. Ia pun memberi nama cucunya itu Raden Wahnaya. Tidak lama kemudian Prabu Basurata datang melaporkan bahwa dirinya baru saja dikalahkan Prabu Cingkaradewa raja Medang Kamulan, yang juga telah menewaskan Prabu Brahmanaraja di Kerajaan Gilingwesi.
Prabu Sri Mahapunggung sangat marah mendengar laporan adiknya itu. Ia pun memimpin langsung pasukan Purwacarita menghadapi kedatangan pihak Medang Kamulan. Perang kembali terjadi. Untuk mengurangi jatuhnya banyak korban, Prabu Cingkaradewa menantang Prabu Sri Mahapunggung bertanding satu lawan satu. Terjadilah pertarungan seru di antara mereka. Prabu Sri Mahapunggung mengerahkan segenap kesaktiannya. Namun, karena usianya yang sudah cukup tua, ia akhirnya kehabisan tenaga dan meninggal dunia.
PRABU BASURATA MENGUNGSI KE GUNUNG MAHENDRA
Setelah kakaknya tewas, Prabu Basurata kehilangan semangat dan ingin bunuh diri. Namun, Patih Mudabatara mencegahnya. Raja Wirata itu kemudian diajak pergi mengungsi ke Gunung Mahendra untuk meminta perlindungan Begawan Rukmawati. Maka, berangkatlah Prabu Basurata disertai Patih Mudabatara dan Patih Sunggata menuju ke sana.
Begawan Rukmawati di Gunung Mahendra menyambut kedatangan mereka. Setelah mendengarkan apa yang terjadi, Begawan Rukmawati lalu mengheningkan cipta untuk mencari petunjuk apa yang seharusnya dilakukan Prabu Basurata. Ternyata petunjuk yang ia terima adalah Prabu Basurata harus menyerahkan diri kepada Prabu Cingkaradewa, karena kelak akan ada pihak lain dari tanah seberang yang akan mengalahkan raja Medang Kamulan tersebut.
Prabu Basurata merasa kecewa terhadap petunjuk itu namun tidak berani membantah. Ia lalu mohon pamit meninggalkan Gunung Mahendra untuk kembali ke Kerajaan Purwacarita. Di tengah jalan rombongan tersebut bertemu Raja Capala yang mengaku diutus Prabu Cingkaradewa untuk menjemput mereka.
PRABU CINGKARADEWA MENJADI SRI MAHARAJA PURWACANDRA
Prabu Cingkaradewa yang masih menduduki Kerajaan Purwacarita menyambut kedatangan Prabu Basurata beserta rombongan. Tak disangka, Prabu Cingkaradewa yang kemarin bersikap kejam ternyata kini berubah sangat ramah dan memanggil “paman” kepada Prabu Basurata.
Rupanya saat menduduki Kerajaan Purwacarita, Prabu Cingkaradewa menemukan kitab yang berisi silsilah keluarga Prabu Sri Mahapunggung dan Prabu Basurata. Di kitab itu tertulis bahwa kedua raja tersebut adalah putra Batara Wisnu yang lahir dari Dewi Sriyuwati, sedangkan Dewi Sriyuwati adalah adik tiri Prabu Watugunung, sesama putra Prabu Palindriya. Setelah membaca kitab silsilah tersebut, Prabu Cingkaradewa merasa sangat menyesal karena telah menyebabkan tewasnya Prabu Sri Mahapunggung yang masih terhitung paman baginya.
Maka, Prabu Cingkaradewa pun mengizinkan Prabu Basurata kembali menjadi raja di Wirata, sedangkan Kerajaan Purwacarita diserahkan kepada putra Prabu Sri Mahapunggung, yaitu Raden Wandu, bergelar Prabu Sri Mahawan. Kedua raja itu diperbolehkan mengatur kerajaan masing-masing, namun setiap tahun harus melapor kepada Prabu Cingkaradewa di Kerajaan Medang Kamulan. Prabu Basurata dan Prabu Sri Mahawan pun menyatakan tunduk dan bersumpah setia kepada Prabu Cingkaradewa.
Kini, Prabu Cingkaradewa telah menjadi penguasa tertinggi di seluruh Tanah Jawa sebagaimana yang dikehendaki arwah Sri Maharaja Kanwa Pakukuhan. Sebagai raja agung, Prabu Cingkaradewa pun mengganti gelarnya menjadi Sri Maharaja Purwacandra.
kembali ke: daftar isi
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 20 Januari 2015
Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------
RIWAYAT PRABU CINGKARADEWA PUTRA PRABU SINDULA
Prabu Sindula (putra Prabu Watugunung) di Kerajaan Medang Galungan dihadap Patih Sukapa dan para punggawa, antara lain Raja Wipara, Raja Dyapara, Raja Yogyapara, dan Raja Capala. Dalam pertemuan itu mereka sedang membicarakan selesainya pembangunan istana baru di bawah tanah, yang disebut Keraton Gotaka.
Tiba-tiba datanglah utusan dari Kerajaan Medang Kamulan yang bernama Arya Dwapara (adik Raja Capala). Adapun raja Medang Kamulan bernama Prabu Cingkaradewa, tidak lain adalah putra Prabu Sindula sendiri, yang dulu telah diusir dari Medang Galungan. Ia bernama asli Raden Sadewa.
Dari perkawinan Prabu Sindula dan Dewi Tulus (putri Begawan Sukra) telah lahir empat orang anak, yaitu Dewi Ratnadewi, Raden Sadewa, Raden Dewata, dan Raden Jawata. Beberapa tahun yang lalu, Prabu Sindula telah mengusir Raden Sadewa pergi dari Medang Galungan karena putra keduanya itu berkelakuan menyimpang, yaitu suka bersetubuh dengan sesama laki-laki.
Awal dari kisah tersebut ialah Raden Sadewa jatuh cinta kepada adik Raja Capala yang bernama Dewi Capadi. Karena Raden Sadewa adalah cucu Prabu Watugunung, sedangkan Dewi Capadi adalah putri Patih Suwelacala, itu berarti Raden Sadewa jatuh cinta kepada bibinya sendiri. Tentu saja Dewi Capadi menolak karena takut melanggar aturan agama. Akan tetapi, Raden Sadewa tidak peduli dan ia berniat memerkosa bibinya itu. Karena terus didesak, Dewi Capadi akhirnya nekat bunuh diri, membuat Raden Sadewa sangat berduka.
Kematian Dewi Capadi telah membuat Raden Sadewa membenci perempuan dan lebih mencintai laki-laki. Ia tidak mau menikah secara wajar dan lebih suka melakukan hubungan sejenis (homoseksual). Hal ini membuat Prabu Sindula sangat marah dan mengusir anak keduanya itu. Raden Sadewa pun pergi meninggalkan Medang Galungan dengan disertai tiga orang adik Dewi Capadi, yaitu Arya Dwapara, Arya Gandara, dan Arya Kumbina.
Kini, peristiwa itu telah lama berlalu. Arya Dwapara yang datang ke istana Medang Galungan bercerita bahwa, setelah Raden Sadewa diusir pergi, ia lantas berkelana sampai ke Tanah Pagelen, yaitu di bekas istana Medang Kamulan dulu (zaman Prabu Palindriya). Di tempat itu ia membangun kembali istana milik kakek buyutnya tersebut dan menjadi raja di sana, bergelar Prabu Cingkaradewa.
Pada suatu hari Prabu Cingkaradewa menemukan arca dari emas yang terpendam di dalam tanah. Arca itu berwujud Batara Guru duduk bersila, yang pada tempat duduknya bertuliskan kalimat: “Anak dan harta jika dipelihara dengan baik, akan menjadi baik. Jika tidak memiliki anak akan membuat hati kecil. Jika tidak mempunyai harta akan sulit mewujudkan cita-cita.”
Kedatangan Arya Dwapara ke Medang Galungan kali ini adalah diutus Prabu Cingkaradewa untuk mempersembahkan arca emas tersebut kepada Prabu Sindula sebagai tanda penyesalan. Akan tetapi, Prabu Sindula justru tersinggung karena merasa arca emas itu dimaksudkan untuk menyindir dirinya. Ia pun mengusir Arya Dwapara dan menyuruhnya membawa kembali arca emas tersebut. Prabu Sindula sama sekali tidak mau mengampuni putra keduanya yang berkelakuan menyimpang itu, bahkan ingin menjatuhkan hukuman mati kepadanya.
PRABU CINGKARADEWA MENDATANGI KERAJAAN MEDANG GALUNGAN
Arya Dwapara telah kembali ke Kerajaan Medang Kamulan menghadap Prabu Cingkaradewa. Setelah mendengar semua laporan, Prabu Cingkaradewa memutuskan untuk menyerahkan nyawa kepada sang ayah di istana Medang Galungan jika memang ia dikehendaki mati. Maka, raja Medang Kamulan itu pun berangkat dengan disertai pasukannya yang dipimpin Arya Dwapara, Arya Gandara, dan Arya Kumbina.
Sementara itu, Prabu Sindula justru salah paham mengira Prabu Cingkaradewa datang membawa pasukan untuk menyerang dirinya. Ia pun mengerahkan pasukan Medang Galungan untuk menghadapinya dengan dipimpin putra ketiga dan keempat, yaitu Raden Dewata dan Raden Jawata. Mendengar sesama putranya akan bertempur dan saling bunuh, sang permaisuri Dewi Tulus merasa sangat sedih. Ia lalu terjun ke dalam api, yang kemudian disusul putri sulungnya, yaitu Dewi Ratnadewi.
Prabu Sindula sangat menyesal mengetahui istri dan anak tertuanya telah mati bunuh diri. Namun, ia terlanjur mengeluarkan perintah, sedangkan Raden Dewata dan Raden Jawata juga telah berangkat ke medan perang.
AKHIR HIDUP PRABU SINDULA
Sementara itu, Raden Dewata dan Raden Jawata merasa bimbang melaksanakan perintah sang ayah karena harus bertempur melawan kakak sendiri. Mereka pun memutuskan pura-pura berperang saja, agar bisa bersikap aman pada kedua pihak. Maka, ketika pertempuran terjadi, kedua pangeran itu pun pura-pura tewas terkena senjata Prabu Cingkaradewa.
Akan tetapi, para prajurit Medang Galungan yang tidak tahu-menahu sandiwara itu mengira kedua pangeran benar-benar mati. Maka, mereka pun melaporkan hal itu kepada Prabu Sindula. Amarah Prabu Sindula kembali berkobar dibuatnya. Ia pun berangkat menuju ke medan perang. Meskipun Patih Sukapa, Raja Wipara, Raja Dyapara, Raja Yogyapara, dan Raja Capala berusaha menasihati bahwa itu semua hanyalah sandiwara, namun Prabu Sindula tidak peduli.
Prabu Sindula yang tiba di medan tempur segera disambut oleh sembah bakti Prabu Cingkaradewa. Ia juga melihat Raden Dewata dan Raden Jawata hidup kembali, karena mereka memang hanya pura-pura mati. Prabu Sindula menjadi sangat malu menyadari kesalahannya. Ia lalu kembali ke istana dan mengheningkan cipta melepaskan roh, memutus nyawa sendiri.
KERAJAAN MEDANG KAMULAN DIPINDAHKAN KE MEDANG GALUNGAN
Prabu Cingkaradewa, Raden Dewata, dan Raden Jawata sangat berduka mendengar kematian ayah mereka, juga kematian sang ibu dan kakak sulung. Sementara itu, Patih Sukapa dan para punggawa telah bermusyawarah dan sepakat mengangkat Prabu Cingkaradewa sebagai raja Medang Galungan yang baru.
Prabu Cingkaradewa menerima keputusan itu, namun ia kemudian mengubah nama Medang Galungan menjadi Medang Kamulan. Patih Sukapa tetap menduduki jabatannya, begitu pula para punggawa lainnya. Hanya saja, nama Arya Dwapara diganti menjadi Arya Caracapa supaya tidak mirip dengan Raja Dyapara.
PRABU CINGKARADEWA MENDAPAT PERINTAH MENAKLUKKAN TANAH JAWA
Pada suatu hari Prabu Cingkaradewa pergi berkelana didampingi Patih Sukapa dengan menyamar sebagai rakyat biasa untuk melihat secara langsung kehidupan masyarakat pedesaan. Setelah dirasa cukup, Patih Sukapa lalu mendampingi Prabu Cingkaradewa melakukan tapa kungkum, yaitu berendam di tengah sungai yang mengalir.
Setelah bertapa kungkum beberapa hari, Prabu Cingkaradewa didatangi arwah leluhurnya, yaitu Sri Maharaja Kanwa Pakukuhan yang memberikan perintah supaya ia menaklukkan Tanah Jawa. Sri Maharaja Kanwa ingin keturunannya itu menjadi maharaja penguasa Tanah Jawa seperti dirinya dulu semasa hidup. Sebagai senjata, Sri Maharaja Kanwa pun memberikan pusaka Pedang Candrahasa kepada Prabu Cingkaradewa.
KEMATIAN PRABU BRAHMANARAJA
Setelah mendapatkan perintah dari sang leluhur, Prabu Cingkaradewa dan Patih Sukapa segera kembali ke istana Medang Kamulan dan mulai mempersiapkan pasukan. Terhitung ada tiga kerajaan besar di Tanah Jawa yang harus ditaklukkan, yaitu Gilingwesi, Wirata, dan Purwacarita. Sebagai sasaran pertama, Prabu Cingkaradewa pun berangkat menyerbu Kerajaan Gilingwesi.
Prabu Brahmanaraja di Kerajaan Gilingwesi menerima surat tantangan dari cucu Prabu Watugunung tersebut. Ia pun memimpin pasukan untuk menyambut serangan. Maka, terjadilah pertempuran yang menewaskan banyak prajurit di kedua pihak. Prabu Cingkaradewa lalu menantang Prabu Brahmanaraja bertanding satu lawan satu. Pertarungan seru pun terjadi di antara mereka. Akhirnya, Prabu Brahmanaraja tewas terkena Pedang Candrahasa milik Prabu Cingkaradewa.
Prabu Cingkaradewa kemudian menawan semua anggota keluarga Prabu Brahmanaraja dan memasukkan mereka ke dalam penjara. Namun demikian, ada satu orang yang berhasil meloloskan diri, yaitu sang pangeran mahkota Raden Tritrusta.
KEMATIAN PRABU SRI MAHAPUNGGUNG
Setelah menaklukkan Kerajaan Gilingwesi, Prabu Cingkaradewa lalu menyerbu Kerajaan Wirata. Pertempuran kembali terjadi dan lagi-lagi dimenangkan oleh pihak Medang Kamulan. Prabu Basurata raja Wirata yang kalah perang melarikan diri bersama Patih Sunggata untuk meminta perlindungan kepada kakaknya, yaitu Prabu Sri Mahapunggung di Kerajaan Purwacarita.
Sementara itu, Prabu Sri Mahapunggung sedang berbahagia karena cucunya baru saja lahir, yaitu putra dari perkawinan Raden Wandu dan Dewi Laksmitawahni. Ia pun memberi nama cucunya itu Raden Wahnaya. Tidak lama kemudian Prabu Basurata datang melaporkan bahwa dirinya baru saja dikalahkan Prabu Cingkaradewa raja Medang Kamulan, yang juga telah menewaskan Prabu Brahmanaraja di Kerajaan Gilingwesi.
Prabu Sri Mahapunggung sangat marah mendengar laporan adiknya itu. Ia pun memimpin langsung pasukan Purwacarita menghadapi kedatangan pihak Medang Kamulan. Perang kembali terjadi. Untuk mengurangi jatuhnya banyak korban, Prabu Cingkaradewa menantang Prabu Sri Mahapunggung bertanding satu lawan satu. Terjadilah pertarungan seru di antara mereka. Prabu Sri Mahapunggung mengerahkan segenap kesaktiannya. Namun, karena usianya yang sudah cukup tua, ia akhirnya kehabisan tenaga dan meninggal dunia.
PRABU BASURATA MENGUNGSI KE GUNUNG MAHENDRA
Setelah kakaknya tewas, Prabu Basurata kehilangan semangat dan ingin bunuh diri. Namun, Patih Mudabatara mencegahnya. Raja Wirata itu kemudian diajak pergi mengungsi ke Gunung Mahendra untuk meminta perlindungan Begawan Rukmawati. Maka, berangkatlah Prabu Basurata disertai Patih Mudabatara dan Patih Sunggata menuju ke sana.
Begawan Rukmawati di Gunung Mahendra menyambut kedatangan mereka. Setelah mendengarkan apa yang terjadi, Begawan Rukmawati lalu mengheningkan cipta untuk mencari petunjuk apa yang seharusnya dilakukan Prabu Basurata. Ternyata petunjuk yang ia terima adalah Prabu Basurata harus menyerahkan diri kepada Prabu Cingkaradewa, karena kelak akan ada pihak lain dari tanah seberang yang akan mengalahkan raja Medang Kamulan tersebut.
Prabu Basurata merasa kecewa terhadap petunjuk itu namun tidak berani membantah. Ia lalu mohon pamit meninggalkan Gunung Mahendra untuk kembali ke Kerajaan Purwacarita. Di tengah jalan rombongan tersebut bertemu Raja Capala yang mengaku diutus Prabu Cingkaradewa untuk menjemput mereka.
PRABU CINGKARADEWA MENJADI SRI MAHARAJA PURWACANDRA
Prabu Cingkaradewa yang masih menduduki Kerajaan Purwacarita menyambut kedatangan Prabu Basurata beserta rombongan. Tak disangka, Prabu Cingkaradewa yang kemarin bersikap kejam ternyata kini berubah sangat ramah dan memanggil “paman” kepada Prabu Basurata.
Rupanya saat menduduki Kerajaan Purwacarita, Prabu Cingkaradewa menemukan kitab yang berisi silsilah keluarga Prabu Sri Mahapunggung dan Prabu Basurata. Di kitab itu tertulis bahwa kedua raja tersebut adalah putra Batara Wisnu yang lahir dari Dewi Sriyuwati, sedangkan Dewi Sriyuwati adalah adik tiri Prabu Watugunung, sesama putra Prabu Palindriya. Setelah membaca kitab silsilah tersebut, Prabu Cingkaradewa merasa sangat menyesal karena telah menyebabkan tewasnya Prabu Sri Mahapunggung yang masih terhitung paman baginya.
Maka, Prabu Cingkaradewa pun mengizinkan Prabu Basurata kembali menjadi raja di Wirata, sedangkan Kerajaan Purwacarita diserahkan kepada putra Prabu Sri Mahapunggung, yaitu Raden Wandu, bergelar Prabu Sri Mahawan. Kedua raja itu diperbolehkan mengatur kerajaan masing-masing, namun setiap tahun harus melapor kepada Prabu Cingkaradewa di Kerajaan Medang Kamulan. Prabu Basurata dan Prabu Sri Mahawan pun menyatakan tunduk dan bersumpah setia kepada Prabu Cingkaradewa.
Kini, Prabu Cingkaradewa telah menjadi penguasa tertinggi di seluruh Tanah Jawa sebagaimana yang dikehendaki arwah Sri Maharaja Kanwa Pakukuhan. Sebagai raja agung, Prabu Cingkaradewa pun mengganti gelarnya menjadi Sri Maharaja Purwacandra.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
kembali ke: daftar isi
Posting Komentar
Posting Komentar
- Tuangkan saran maupun kritik dan jangan meninggalkan Spam.
- Berkomentarlah dengan bijak sesuai dengan konten yang tersedia.
- Tidak Boleh Promosi