Walaupun intinya sama, tapi terdapat beberapa perbedaan antara ritual kebo-keboan di kedua desa tersebut. Menurut budayawan Banyuwangi Hasnan Singodimayan, 79, meski sama-sama sebagai ritual kerbau jadi-jadian, apa yang terjadi di Desa Aliyan dan Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh agak sedikit berbeda.
Keboan dan Kebo-Keboan
Yang di Desa Aliyan itu namanya Keboan, bukan Kebo-keboan. Kata Hasnan, nama Kebo-keboan lebih dikenal di Alasmalang. "Masyarakat desa yang menjadi `manusia kerbau` di desa Aliyan tidak ditentukan oleh pemuka adat desa setempat. Melainkan arwah leluhur yang memilih siapa saja yang menjadi Keboan. Sedangkan di desa Alasmalang, pemeran Kebo-keboan dipilih oleh pemuka adat," kata Hasnan Singodimayan.
Meski namanya Keboan, ritual ini tidak menggunakan hewan kerbau sebagai sarana upacara. Kerbau yang digunakan adalah binatang jadi-jadian berupa manusia berdandan mirip kerbau, lalu beraksi layaknya kerbau di sawah.
Pelaku
Hampir semua pemain Keboan di desa Aliyan kesurupan roh leluhur. Semalam sebelum tampil, orang-orang yang menjadi pemeran kerbau bisa kesurupan roh leluhur. "Perangai orang yang kesurupan mirip kerbau. Hampir semua pemain Keboan di desa Aliyan kesurupan roh leluhur. Kalau di desa Alasmalang tidak semua kesurupan roh leluhur," katanya.Jumlah pemeran Kebo-keboan di Desa Alasmalang sekitar 18 orang. Sementara jumlah Keboan desa Aliyan tidak tentu. "Kadang banyak yang jadi `keboan` tahun ini, tahun berikutnya bisa jadi jumlahnya menyusut," papar Hasnan.
Para pemeran "kebo-keboan" dan Dewi Sri Desa Alasmalang dipilih oleh ketua adat setempat, sedangkan pemeran "keboan" dan Dewi Sri desa Aliyan dipilih oleh leluhur langsung.
Keboan Desa Aliyan
Menurut sejarahnya, Buyut Wongso Kenongo, pendiri cikal-bakal Desa Aliyan, sekitar abad-18 mendapat wangsit untuk melakukan ritual tolak bala ’keboan’ agar masyarakat desa terhindar dari malapetaka serta hasil panen melimpah.
Buyut Wongso Kenongo memiliki dua putra. Buyut Pekik menjadi leluhur masyarakat Desa Aliyan, sementara Buyut Turi menjadi leluhur Dusun Sukodono, Desa Aliyan.
Warga beda keturunan itu hingga sekarang tidak bisa akur dalam segala hal. Oleh karena itu, setelah diberi doa di Balai Desa Aliyan, "keboan" asal Sukodono bergerak ke Kedawung dan Sukodono, dan selanjutnya mampir ke makam Buyut Turi.
Sementara "keboan" asal Aliyan bergerak ke Aliyan Krajan, Timurjo, dan Cempokosari, dan kemudian mampir ke makam Buyut Pekik.
Dalam ritual ini, warga yang kerasukan roh leluhur desa bertindak seperti kerbau. Menyeruduk warga yang melihat. Kemudian mereka satu per satu mencemplungkan diri di dua kubangan lumpur dekat balai desa. Tak pelak, rambut dan celana pendek mereka menjadi basah.
Setiap manusia yang "dipilih" leluhur menjadi "keboan" tidak bisa mengelak. Sekali roh nenek moyang merasuki tubuh seorang warga desa, maka segala tindak-tanduk orang tersebut seperti kerbau.
Manusia yang menjadi "keboan" bergerak ke sana ke mari tanpa kenal lelah. Ada warga yang mengikuti pergerakan "keboan". Bila lelaki dewasa yang menjadi "keboan" maka pengiringnya adalah lelaki dewasa. Sebaliknya, bila yang menjadi "keboan" lelaki remaja, pengiringnya berusia sebaya.
Pengiring tidak bisa memaksa "keboan" untuk bergerak ke mana-mana. Hanya sebatas mengarahkan. Bahkan waktu acara ritual tolak bala kapan dibuka terserah kemauan leluhur.
Mereka terlihat saling melempar air selokan menggunakan timba. Tidak boleh marah bila terkena siraman air. Bila terkena, dipersilakan untuk mengambil air dari selokan, kemudian air itu disiramkan ke arah kerumunan orang.
Begitu juga bila warga ada yang ditarik oleh "keboan" ke dalam kubangan lumpur, juga tidak boleh marah. Semua warga membaur, saling siram air selokan, dan ada yang "dibanting" manusia "keboan" ke dalam kubangan lumpur. Lokasi dan ukuran kubangan lumpur ini ditentukan ’leluhur’.
Warga desa Aliyan menganggap benih padi yang dicuri bila ditanam di sawah, diyakini dapat membawa panen yang melimpah dan dijauhi hama.
Benih padi itulah yang diarak keliling desa menggunakan becak hias sebagai bagian dari ritual tolak bala di Desa Aliyan, Banyuwangi.
Kebo-Keboan Alas Malang
Munculnya ritual Kebo-keboan di Alasmalang berawal dari terjadinya musibah pagebluk. Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang tanaman. Banyak warga kelaparan dan mati akibat penyakit misterius. Dalam kondisi genting itu, sesepuh desa Mbah Karti melakukan meditasi di bukit. Selama meditasi, tokoh yang disegani ini mendapatkan wangsit. Isinya, warga disuruh menggelar ritual Kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai simbol keseburan dan kemakmuran. Keajaiban muncul ketika warga menggelar ritual Kebo-keboan. Warga yang sakit mendadak sembuh. Hama yang menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual Kebo-keboan dilestarikan. Mereka takut terkena musibah jika tidak melaksanakannya.
Upacara kebo-kebon di Dusun Krajan dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yang jatuh pada hari Minggu antara tanggal 1 sampai 10 Sura (tanpa melihat hari pasaran). Dipilihnya hari minggu sebagai hari penyelenggaraan dengan pertimbangan bahwa pada hari tersebut masyarakat sedang tidak bekerja (libur), sehingga dapat mengikuti jalannya upacara. Sedangkan, dipilihnya bulan Sura dengan pertimbangan bahwa Sura, menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, adalah bulan yang keramat. Satu minggu menjelang waktu upacara kebo-keboan tiba, warga masyarakat yang berada di Dusun Krajan mengadakan kegiatan gotong royong untuk membersihkan lingkungan rumah dan dusunnya. Selanjutnya, satu hari menjelang pelaksanaan upacara, para ibu bersama-sama mempersiapkan sesajen yang terdiri atas: tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, inkung ayam dan lain sebagainya. Selain itu, dipersiapkan pula berbagai perlengkapan upacara seperti para bungkil, singkal, pacul, pera, pitung tawar, beras, pisang, kelapa dan bibit tanaman padi. Seluruh sesajen tersebut selain untuk acara selamatan, nantinya juga akan ditempatkan di setiap perempatan jalan yang ada di Dusun Krajan.
Pada malam harinya para pemuda menyiapkan berbagai macam hasil tanaman palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gumantung, pala kependhem, pala kesimpar. Tanaman tersebut kemudian ditanam kembali di sepanjang jalan Dusun Krajan. Selain itu, mereka mempersiapkan pula bendungan yang nantinya akan digunakan untuk mengairi tanaman palawija yang ditanam. Pagi harinya, sekitar pukul 08.00, diadakan upacara di Petaunan yang dihadiri oleh panitia upacara, sesepuh dusun, modin, dan beberapa warga masyarakat Krajan. Pelaksanaan upacara di tempat ini berlangsung cukup sederhana, yaitu hanya berupa kata sambutan dari pihak panitia upacara, kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh modin dan diakhiri dengan makan bersama.
Selanjutnya, para peserta upacara yang terdiri dari para sesepuh dusun, seorang pawang, perangkat dusun, dua pasang kebo-keboan (setiap kebo-keboan berjumlah dua orang), para pembawa sesajen, pemain musik hadrah, pemain barongan dan warga Dusun Krajan akan melakukan pawai ider bumi mengeliling Dusun Krajan. Pawai ini dimulai di Petaunan kemudian menuju ke bendungan air yang berada di ujung jalan Dusun Krajan. Sesampainya di bendungan, jagatirta (petugas pengatur air) akan segera membuka bendungan sehingga air mengalir ke sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami tanaman palawija oleh para pemuda. Sementara, para peserta upacara segera menuju ke areal persawahan milik warga Dusun Krajan. Di persawahan inilah kebo-keboan tersebut memulai memperlihatkan perilakunya yang mirip seperti seekor kerbau yang sedang membajak atau berkubang di sawah. Pada saat kebo-keboan sedang berkubang, sebagian peserta upacara segera turun ke sawah untuk menanam benih padi.
Setelah benih tertanam, para peserta yang lain segera berebut untuk mengambil benih padi yang baru ditanam tersebut. Benih-benih yang baru ditanam itu dipercaya oleh warga masyarakat Dusun Krajan dapat dijadikan sebagai penolak bala, mendatangkan keberuntungan serta membawa berkah. Pada saat para peserta memperebutkan benih tersebut, para kebo-keboan yang sebelumnya telah dimantrai oleh pawang sehingga menjadi trance, akan segera mengejar para pengambil benih yang dianggap sebagai pengganggu. Namun, para kebo-keboan itu tidak sampai mencelakai para pengambil benih karena sang pawang selalu mengawasi setiap geraknya. Setelah dirasa cukup, maka sang pawang akan menyadarkan kebo-keboan dengan cara mengusapkan pitung tawar pada bagian kepalanya. Setelah itu, mereka kembali lagi ke Petaunan.
Sesampainya di Petaunan, peserta upacara kembali ke rumah masing-masing sambil membawa padi yang tadi mereka ambil di sawah untuk dijadikan sebagai penolak bala dan juga sekaligus pembawa berkah. Malam harinya, mereka kembali lagi ke Petaunan untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit dengan lakon Sri Mulih yang mengisahkan tentang Dewi Sri. Lakon tersebut dipentaskan dengan harapan agar warga Dusun Krajan mendapatkan hasil panen padi yang melimpah. Dan, dengan dipentaskannya kesenian wayang kulit di Petaunan itu, maka berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara kebo-keboan di Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi.
|o| bagus gan... hatur nuhun.. :-bd
BalasHapus