AMEMAYU HAYUNING BUWANA
Pepatah Jawa ini secara harfiah berati mempercantik kecantikan dunia. Pepatah ini menyarankan agar setiap insan manusia dapat menjadi agen bagi tujuan itu. Bukan hanya mempercantik atau membuat indah kondisi dunia dalam pengertian lahir batin, namun juga bisa membuat hayu dalam pengertian rahayu ’selamat’ dan sejahtera.
Dengan demikian pepatah ini sebenarnya ingin menyatakan bahwa alangkah indah, selamat, cantik, dan eloknya kehidupan di dunia ini jika manusia yang menghuninya bisa menjadi agen bagi hamemayu hayuning buwana itu. Untuk itu setiap manusia disarankan untuk tidak merusakkan dunia dengan perilaku-perilaku buruk dan busuk. Perilaku yang demikian ini akan berbalik pada si pelaku sendiri dan juga lingkungannya. Hal inilah yang merusakkan dunia. Untuk itu pengekangan diri untuk tidak berlaku jahat, licik, culas, curang, serakah, menang sendiri, benar sendiri, dan seterusnya perlu diwujudkan untuk mencapai hayuning buwana.
Tentu saja makna yang dimaksudkan oleh pepatah ini adalah makna dalam pengertian lahir batin. Keduanya harus seimbang. Tanpa itu apa yang dimaksud dari hamemayu hayuning buwana itu akan gagal. Sebab tindakan yang tidak didasari ketulusan dan kesucian hati hanya akan menumbuhkan pamrih di luar kewajaran atau tendensi yang barangkali justru menjadi bumerang bagi tujuan pepatah itu. Sebab hamemayu hayuning buwana mendasarkan diri pada niat yang suci atau tulus dalam mendarmabaktikan karya (kerjanya) bagi dunia.
WANI NGALAH LUHUR WEKASANE
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti berani mengalah akan mulia di kemudian hari.
Orang boleh saja mencemooh pepatah yang sekilas memperlihatkan makna tidak mau berkompetisi, pasrah, penakut, lemah, dan sebagainya. Namun bukan itu sesungguhnya yang dimaksudkan. Wani ngalah sesungguhnya dimaksudkan agar setiap terjadi persoalan yang menegangkan orang berani mengendorkan syarafnya sendiri atau bahkan undur diri. Lebih-lebih jika persoalan itu tidak berkenaan dengan persoalan yang sangat penting.
Pada persoalan yang sangat penting pun jika orang berani mengalah (sekalipun ia jelas-jelas berada pada posisi benar dan jujur), kelak di kemudian hari ia akan memperoleh kemuliaan itu. Bagaimana kok bisa begitu ? Ya, karena jika orang sudah mengetahui semua seluk beluk, putih-hitam, jahat-mulia, culas-jujur, maka orang akan dapat menilai siapa sesunggunya yang mulia itu dan siapa pula yang tercela itu. Orang akan dapat menilai, menimbang: mana loyang, mana emas.
Memang, tidak mudah bahkan teramat sulit dan nyaris mustahil untuk bersikap wani ngalah itu. Lebih-lebih di zaman yang semuanya diukur serba uang, serba material, hedonis, dan wadag semata seperti zaman ini. Namun jika kita berani memulai dari diri sendiri untuk bersikap seperti itu, dapat dipastikan kita akan beroleh kemuliaan di kemudian hari sekalipun sungguh-sungguh kita tidak mengharapkannya, karena kemuliaan itu sendiri tidak bisa diburu-buru atau diincar-incar seperti orang berburu burung. Kemuliaan didapatkan dengan laku serta keikhlasan. Jika kita mengharap-harapkannya, maka semuanya justru akan musnah. Kemuliaan itu sekalipun berasal dari diri kita sendiri namun orang lain lah yang menilainya. Bukan kita. Kita tidak pernah tahu apakah kita ini mulia atau tidak. Orang lain lah yang bisa menilai itu atas diri kita.
Pepatah Jawa ini secara harfiah berati mempercantik kecantikan dunia. Pepatah ini menyarankan agar setiap insan manusia dapat menjadi agen bagi tujuan itu. Bukan hanya mempercantik atau membuat indah kondisi dunia dalam pengertian lahir batin, namun juga bisa membuat hayu dalam pengertian rahayu ’selamat’ dan sejahtera.
Dengan demikian pepatah ini sebenarnya ingin menyatakan bahwa alangkah indah, selamat, cantik, dan eloknya kehidupan di dunia ini jika manusia yang menghuninya bisa menjadi agen bagi hamemayu hayuning buwana itu. Untuk itu setiap manusia disarankan untuk tidak merusakkan dunia dengan perilaku-perilaku buruk dan busuk. Perilaku yang demikian ini akan berbalik pada si pelaku sendiri dan juga lingkungannya. Hal inilah yang merusakkan dunia. Untuk itu pengekangan diri untuk tidak berlaku jahat, licik, culas, curang, serakah, menang sendiri, benar sendiri, dan seterusnya perlu diwujudkan untuk mencapai hayuning buwana.
Tentu saja makna yang dimaksudkan oleh pepatah ini adalah makna dalam pengertian lahir batin. Keduanya harus seimbang. Tanpa itu apa yang dimaksud dari hamemayu hayuning buwana itu akan gagal. Sebab tindakan yang tidak didasari ketulusan dan kesucian hati hanya akan menumbuhkan pamrih di luar kewajaran atau tendensi yang barangkali justru menjadi bumerang bagi tujuan pepatah itu. Sebab hamemayu hayuning buwana mendasarkan diri pada niat yang suci atau tulus dalam mendarmabaktikan karya (kerjanya) bagi dunia.
WANI NGALAH LUHUR WEKASANE
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti berani mengalah akan mulia di kemudian hari.
Orang boleh saja mencemooh pepatah yang sekilas memperlihatkan makna tidak mau berkompetisi, pasrah, penakut, lemah, dan sebagainya. Namun bukan itu sesungguhnya yang dimaksudkan. Wani ngalah sesungguhnya dimaksudkan agar setiap terjadi persoalan yang menegangkan orang berani mengendorkan syarafnya sendiri atau bahkan undur diri. Lebih-lebih jika persoalan itu tidak berkenaan dengan persoalan yang sangat penting.
Pada persoalan yang sangat penting pun jika orang berani mengalah (sekalipun ia jelas-jelas berada pada posisi benar dan jujur), kelak di kemudian hari ia akan memperoleh kemuliaan itu. Bagaimana kok bisa begitu ? Ya, karena jika orang sudah mengetahui semua seluk beluk, putih-hitam, jahat-mulia, culas-jujur, maka orang akan dapat menilai siapa sesunggunya yang mulia itu dan siapa pula yang tercela itu. Orang akan dapat menilai, menimbang: mana loyang, mana emas.
Memang, tidak mudah bahkan teramat sulit dan nyaris mustahil untuk bersikap wani ngalah itu. Lebih-lebih di zaman yang semuanya diukur serba uang, serba material, hedonis, dan wadag semata seperti zaman ini. Namun jika kita berani memulai dari diri sendiri untuk bersikap seperti itu, dapat dipastikan kita akan beroleh kemuliaan di kemudian hari sekalipun sungguh-sungguh kita tidak mengharapkannya, karena kemuliaan itu sendiri tidak bisa diburu-buru atau diincar-incar seperti orang berburu burung. Kemuliaan didapatkan dengan laku serta keikhlasan. Jika kita mengharap-harapkannya, maka semuanya justru akan musnah. Kemuliaan itu sekalipun berasal dari diri kita sendiri namun orang lain lah yang menilainya. Bukan kita. Kita tidak pernah tahu apakah kita ini mulia atau tidak. Orang lain lah yang bisa menilai itu atas diri kita.
Posting Komentar
Posting Komentar
- Tuangkan saran maupun kritik dan jangan meninggalkan Spam.
- Berkomentarlah dengan bijak sesuai dengan konten yang tersedia.
- Tidak Boleh Promosi