Sejarah Wayang Kulit
Wayang kulit diperkirakan telah ada sejak abad ke-9 Masehi, berdasarkan prasasti dan relief di Candi Prambanan dan Borobudur yang menggambarkan pertunjukan wayang. Awalnya, wayang digunakan sebagai media penyebaran agama Hindu dan Buddha di Jawa. Seiring waktu, wayang kulit diadaptasi oleh Wali Songo (para penyebar Islam di Jawa) sebagai sarana dakwah dengan memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam ceritanya.
Proses Pembuatan Wayang Kulit
Wayang kulit terbuat dari kulit kerbau atau kambing yang dikeringkan dan dipahat dengan sangat detail. Proses pembuatannya meliputi:
Pemilihan Kulit – Kulit hewan dipilih yang berkualitas, tebal, dan lentur.
Pembersihan dan Pengeringan – Kulit dibersihkan lalu dikeringkan di bawah sinar matahari.
Pemotongan Pola – Pola wayang digambar di atas kulit lalu dipotong sesuai bentuk.
Pahatan dan Pewarnaan – Wayang diukir menggunakan pisau kecil (tatah) lalu diberi warna alami.
Penyempurnaan – Wayang diberi tangkai dari tanduk kerbau agar mudah digerakkan.
Pertunjukan Wayang Kulit
Sebuah pertunjukan wayang kulit (lakon) biasanya berlangsung semalam suntuk (sekitar 8 jam) dan dibagi menjadi beberapa babak:
Janturan/Kandha – Pembukaan dengan narasi oleh dalang.
Jejer – Memperkenalkan tokoh dan latar cerita.
Paseban – Adegan peperangan atau konflik.
Gara-gara – Hiburan dengan adegan lucu oleh punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong).
Penyelesaian – Klimaks cerita dan pesan moral.
Musik pengiringnya berasal dari gamelan Jawa, seperti kendang, saron, gong, dan rebab, serta vokal dari sinden (penyanyi latar).
Nilai Filosofis dan Fungsi Sosial
Wayang kulit bukan sekadar hiburan, tetapi juga mengandung ajaran hidup, seperti:
Kebaikan vs Kejahatan – Tokoh Pandawa melawan Kurawa melambangkan perjuangan antara kebenaran dan keserakahan.
Kepemimpinan – Karakter Yudhistira menggambarkan pemimpin yang adil dan bijaksana.
Kritik Sosial – Melalui tokoh punakawan, dalang menyampaikan sindiran halus tentang masalah sosial.
Selain itu, wayang kulit berfungsi sebagai sarana edukasi, pelestarian bahasa Jawa, dan media pemersatu masyarakat.
Perkembangan Wayang Kulit di Era Modern
Meskipun budaya populer semakin mendominasi, wayang kulit tetap bertahan dengan inovasi seperti:
Wayang Digital – Pertunjukan menggunakan teknologi proyeksi.
Wayang untuk Pendidikan – Digunakan sebagai media pembelajaran sejarah dan moral.
Festival Wayang – Event seperti Festival Wayang Internasional di Solo menarik minat generasi muda.
Wayang kulit adalah mahakarya budaya Jawa Tengah yang kaya akan makna dan nilai seni. Pelestariannya memerlukan dukungan dari pemerintah, seniman, dan masyarakat agar tetap hidup di tengah arus modernisasi.
Referensi
UNESCO. (2003). Wayang Puppet Theatre. Diambil dari https://ich.unesco.org
Sedyawati, E. (1999). Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Mulyono, S. (1983). Wayang: Asal-Usul, Filsafat, dan Masa Depannya. Jakarta: Gunung Agung.
Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Tengah. (2020). Sejarah dan Perkembangan Wayang Kulit.
Posting Komentar
Posting Komentar
- Tuangkan saran maupun kritik dan jangan meninggalkan Spam.
- Berkomentarlah dengan bijak sesuai dengan konten yang tersedia.
- Tidak Boleh Promosi