-->

Ads 720 x 90

Tiban, Tradisi Adu Cambuk Minta Hujan Dari Blitar

Tiban Tradisi Adu Cambuk Minta Hujan Dari Blitar. Ada ritual unik yang dilakukan warga di Kabupaten Blitar ini untuk minta hujan. Mereka bukan melakukan salat Istisqo, seperti kebanyakan orang atau umat Islam, justru mereka bertanding dengan mengadu kekuatan di atas panggung. Namun, bukan senjata tajam yang dipakai mengetes kesaktiannya melainkan cambuk dari sapu lidi yang sudah dianyam.

Ritual minta hujan itu diberi nama tiban. Itu berlangsung di Dusun/Desa Bangle, Kecamatan Kanogoro, Kabupaten Blitar. Ritual yang diikuti puluhan peserta dari berbagai kota, mulai Blitar sendiri, Malang, Kediri, Trenggalek ini dimulai Jumat (21/9/2012), dan akan berlangsung 40 hari atau sampai turun hujan.

Namun, kalau sebelum 40 hari, hujan sudah turun dan menyegarkan tanaman mereka di tegalan, maka ritual yang saling adu gepuk dengan campuk ini akan dihentikan seketika.

Sistem bertandingnya memang agak unik atau tak ubahnya seperti sabung bebas atau pencak silat di kampung-kampung. Yakni, para sepertanya dengan tanpa dipanggil urutannya, bebas naik ke panggung untuk mencari lawan.

Panggung yang disediakan berukuran 6 x 6 meter dan dengan ketinggian dua meter. Selama di atas panggung, ia langsung memegang cambuk dan diputar-putar di atas kepalanya, untuk memancing lawannya agar naik ke panggung juga. Tentu saja, agar suasana tak sepi dan memberi semangat bagi penonton atau terutama pesertanya, itu diiringi dengan musik tradisional atau lebih dikenal jaranan.

Soal waktu tak ditentukan selama beradu. Namun, masing-masing peserta hanya boleh mencambuk tiga kali secara bergantian. Saat menerima cambukan itu, ia harus pintar-pintar mengeles atau bertahan. Pukulan tak boleh mengenai kepala, wajah namun hanya diarahkan ke tangan, dada dan punggung.

Tak heran, banyak peserta yang terluka, seperti Rizki, punggunya nyaris robek. Pertandingan ini tak ada kalah atau menang. Bagi mereka yang terluka, ia bisa membalas kekalahannya saat lawannya naik ke panggung lagi.

Sebab, setiap peserta tak dibatasi mau naik berapa kali, asal mau saja. Anehnya, meski banyak yang terluka atau kulitnya robek namun tak sampai ada jatuh korban. Sebab, lukanya itu segera akan sembuh bila sudah disentuh oleh sesepuh atau guru silatnya, yang berjaga-jaga di bawah panggung.

Yang boleh di atas panggung, selain dua petarung, panitia yang bertindak mengawasi pertandingan ini dan sekaligus melerai jika sampai pertarungan itu jadi liar. "Salah satu aturannya, umur kedua peserta tak boleh selisih jauh. Kalau penantangnya itu usianya 15 tahun misalnya, maka lawannya ya berkisar antara 16 tahunan lah," ujarnya.

Untuk menghindari sesuatu yang tak diinginkan, misalnya tawuran, petugas polsek setempat disiagakan mulai pagi hingga berakhir pertandingan. "Namun, bagaimana pun juga, kami masih menempatkan anggota di lokasi karena khawatir juga meski itu merupakan adat atau ritual," kata AKP Imran Subeckhi, Kapolsek Kanigoro.

Menurut para sesepuh, mereka tak tahu pasti kapan ritual tiban ini dimulai. Yang jelas, menurutnya, itu sudah berlangsung secara turun-temurun sejak nenek moyangnya dulu apalagi minta hujan, maka dilakukan ritual seperti ini. Selama berlangsung ritual ini, hanya boleh dilakukan orang laki-laki.

Semoga artikel Tiban, Tradisi Adu Cambuk Minta Hujan Dari Blitar bisa menambah wawasan bagi sobat mbudayajawa yang mampir kesini, kalau sobat mbudaya jawa mempunyai cerita tentang tradisi, kesenian, budaya yang terdapat di daerah sobat mbudayajawa bisa langsung di kirimkan ke mengenalbudayajawa@gmail.com

Jangan lupa klik tombol di bawah ini untuk share ke teman-teman dan bersama kita lestarikan budaya kita sendiri agar tidak hilang oleh jaman.

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter